Bendesa Berawa Dituntut 6 Tahun
DENPASAR, NusaBali - Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana,54, dituntut selama 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bali dalam sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis (5/9). Riana didakwa atas kasus dugaan pemerasan kepada investor.
Di hadapan Majelis Hakim Pimpinan Gede Putra Astawa, JPU Oka Adikarini dkk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemerasan secara berlanjut sesuai dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 18 dan Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atas kesalahannya dengan pidana penjara selama 6 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, serta menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 200 juta dengan subsidair 3 bulan kurungan,” tegas JPU. Terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 50 juta dengan ketentuan jika tidak mampu membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. “Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun,” lanjut JPU.
Selain itu, JPU juga mengungkapkan hal-hal yang menjadi pertimbangan memberatkan tuntutan, yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan terhadap segala jenis tindak pidana korupsi, terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya, dan berbelit-belit dalam persidangan. Sementara dalam pertimbangan yang meringankan, JPU menyebutkan bahwa terdakwa belum pernah dihukum dan terdakwa sopan dalam persidangan.
Dalam tuntutan itu, JPU menyampaikan beberapa unsur telah terpenuhi dalam perkara tersebut, mulai dari unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara, yakni terdakwa setiap bulan mendapatkan penghasilan bersumber dari APBD Badung dan menerima penghasilan dari Pemprov Bali dalam bentuk insentif. Lalu, unsur lain terpenuhi, yakni unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan unsur secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya.
Jaksa menilai permintaan uang Rp10 miliar dari terdakwa terhadap saksi Andianto tanpa menyampaikan ke perangkat desa lainnya atau masyarakat dianggap menyalahgunakan kekuasaan sebagai Bendesa Adat. Demikian pula unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, serta unsur perbuatan yang berlanjut.
Maka dari itu, JPU berkesimpulan perbuatan Ketut Riana dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemerasan dalam jabatan secara berlanjut. Setelah mendengar tuntutan tersebut, Ketut Riana dan penasihat hukumnya Komang Nila Adnyani mengatakan tuntutan JPU itu cukup berat.
Nila pun membandingkan kasus ini dengan kasus pungli fast track Imigrasi yang justru mandek. Kasus tersebut juga sama operasi tangkap tangan oleh Kejati Bali. "Ini tidak terduga bagi kami, semoga majelis hakim memutuskan yang seadil-adilnya," katanya. Kasus yang melibatkan terdakwa Ketut Riana tersebut bermula ketika PT Berawa Bali Utama berencana melakukan investasi berupa pembangunan apartemen dan resort di Desa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Kabupaten Badung.
Kemudian, perusahaan itu menunjuk PT Bali Grace Efata dengan direkturnya saksi Andianto Nahak T. Moruk (AN) untuk mengurus perizinannya, dengan nilai kontrak sebesar Rp3,6 miliar. Dalam dakwaan Jaksa disebutkan terdakwa beberapa kali meminta uang kepada saksi dengan dalih dana sumbangan (dana punia) sebesar Rp10 miliar.
Hingga pada November 2023, terdakwa meminta uang sebesar Rp50 juta untuk bayar utang kepada warga Berawa dan imunisasi cucunya. Permintaan itu dipenuhi oleh saksi dan uang diserahkan di Starbucks Simpang Dewi Sri, Jalan Sunset Road Legian, Kuta, tanpa kuitansi. Kedua, pada 1 Mei 2024, terdakwa meminta uang Rp10 miliar, namun saksi hanya menyanggupi Rp100 juta. Saat penyerahan uang Rp100 juta itu di Caffe Casa Bunga, Renon, Denpasar, penyidik Kejati Bali menangkap terdakwa dan barang bukti uang. 7 cr79
Komentar