Mitigasi Krisis Iklim untuk Menjaga Kesehatan PDB
JAKARTA, (ANTARA) - Melokalisasi krisis iklim hanya pada sekadar isu lingkungan tidak lagi relevan saat ini. Sebab, nyatanya krisis tersebut justru telah berubah. Ibarat monster, mengancam stabilitas ekonomi global cukup serius.
Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam ajang Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 10 persen pada 2025, bukan isapan jempol belaka.
Beberapa studi terbaru telah mengonfirmasi dampak ekonomi dari perubahan iklim. Misalnya, sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change pada tahun 2021 memperkirakan bahwa perubahan iklim dapat mengurangi PDB global sebesar 13 persen pada akhir abad ini jika tidak ada tindakan mitigasi yang signifikan.
Krisis iklim secara sistematis mampu menurunkan PDB dari dampak nyatanya yang menimbulkan bencana alam parah, seperti naiknya permukaan air laut, gelombang panas ekstrem, badai, kekeringan yang semakin sering dan intens menyebabkan kerusakan infrastruktur, gangguan rantai pasok, serta kerugian ekonomi yang signifikan.
Lebih lanjut, sektor pertanian menjadi terancam. Perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu.dan hama penyakit baru mengancam produksi pangan, menyebabkan harga pangan melambung, dan berdampak pada ketahanan pangan nasional.
Efek lanjutannya adalah kesehatan masyarakat terganggu. Gelombang panas, polusi udara, dan penyakit menular baru yang muncul akibat perubahan iklim meningkatkan beban pengeluaran kesehatan, menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pada akhirnya terjadi migrasi massal dimana kenaikan permukaan air laut dan peristiwa ekstrem memaksa jutaan orang untuk mengungsi, menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi di daerah tujuan migrasi.
Komentar