Gugatan Perpanjangan Kepengurusan PDIP Sesat Logika
JAKARTA, NusaBali - PDI Perjuangan (PDIP) memperpanjang kepengurusan 2019-2024 hingga 2025 mendatang. Bahkan, sejumlah nama masuk menjadi pengurus DPP PDIP. SK kepengurusan itu pun, digugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Ketua DPP PDIP Deddy Yevry Sitorus menilai, gugatan tersebut sesat logika.
“Maka sesat logika ini harus dihentikan dan tidak boleh difasilitasi, apalagi kalau motivasinya adalah politik. Saya sarankan agar para otak kotor atau mastermind dan dalang dari upaya sabotase PDI Perjuangan ini, untuk berpikir panjang dan tidak usah cari masalah,” ujar Deddy, Selasa (10/9).
Menurut Deddy, soal SK perpanjangan kepengurusan PDIP yang digugat ke PTUN adalah sebuah langkah politik yang keterlaluan, bukan upaya hukum murni. Terlebih, tidak ada kerugian apapun, baik moril maupun materil bagi penggugat. Gugatan itu, lebih kelihatan sebagai upaya ‘penyerangan’ terhadap PDIP.
“Dan yang aneh, beberapa pengacara penggugatnya, menurut informasi terlihat berafiliasi dengan satu partai tertentu. Jadi menurut saya, aroma politiknya sangat terasa,” kata Deddy.
Deddy menegaskan, proses perpanjangan kepengurusan DPP PDIP sudah dikaji dengan sangat mendalam terhadap aturan dan konstitusi partai. Perpanjangan kepengurusan juga sudah melalui proses pembahasan dan pengkajian hukum di Kemenkumham. “Kalau logika mereka para penggugat ini diikuti, maka seluruh produk dan konsekuensi hukumnya sangat besar,” ucap pria yang juga Anggota Komisi VI DPR RI ini.
Karena tahun 2019, lanjut Deddy, PDIP mempercepat Kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional pada saat itu. “Jika memakai logika penggugat, maka SKK DPP PDI Perjuangan yang dikeluarkan paska percepatan kongres itu jadi tidak sah,” tegas Deddy
Termasuk keputusan DPP PDIP menyangkut pemilihan kepala daerah saat itu. “Contoh, Gibran Rakabuming itu jadi Walikota Solo dengan menggunakan SK DPP PDI Perjuangan yang dipercepat Kongresnya. Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, jadi Gibran adalah produk cacat hukum,” papar Deddy.
Artinya, kata Deddy, dia harus dianulir sebagai Cawapres terpilih di 2024. Karena untuk menjadi Cawapres, dia harus memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. “Kalau keputusan PDIP usai percepatan kongres tak sah, maka Gibran pun tak sah. Demikian pula dengan seluruh produk hukum Pilkada 2020 di seluruh Indonesia,” jelas Deddy. k22
1
Komentar