nusabali

Nyengker Setra, Desa Adat Kapal Tiadakan Upacara Pangabenan Selama 32 Hari

  • www.nusabali.com-nyengker-setra-desa-adat-kapal-tiadakan-upacara-pangabenan-selama-32-hari

MANGUPURA, NusaBali.com - Serangkaian karya Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa dan Mapahayu Nini, Desa Adat Kapal melaksanakan upacara nyengker setra pada Buda Umanis Julungwangi, Rabu (11/9/2024) ini.

Nyengker setra, jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia bermakna memagari setra. Dalam praktiknya tidak ada aktivitas membuat pagar mengelilingi setra, tapi ada prosesi untuk mengadakan pagar secara niskala.

Kelihan Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung I Ketut Sudarsana menuturkan, sejak diberlakukan nyengker setra, warga adat tidak diperkenankan melaksanakan upacara pangabenan. Ini termasuk pangabenan seperti biasa atau 'ngaben kremasi' yang sedang naik daun.

"Hal ini (nyengker setra) tidak sedangkal tidak boleh ngaben di setra tetapi bentuk upacara pangabenannya itu yang tidak diperkenankan," tutur Sudarsana, ditemui NusaBali.com, Minggu (8/9/2024) di sela persiapan karya agung di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal.

Peniadaan upacara pangabenan ini berlaku selama 32 hari. Dimulai saat upacara nyengker setra, Rabu pukul 09.00 WITA sampai hari terakhir Ida Bhatara nyejer yakni nyineb serangkaian Ngenteg Linggih di Pura Desa lan Puseh dan Ngusabha Desa lan Mapahayu Nini untuk seluruh pura se-Desa Adat Kapal

Puncak karya agung setiap 20-50 tahun sekali ini jatuh pada Anggara Umanis Kuningan, Selasa (1/10/2024) kemudian Ida Bhatara nyejer selama 11 hari. Rangkaian nyejer berakhir/nyineb pada Saniscara Pahing Langkir, Sabtu (12/10/2024) dan berakhir pula masa nyengker setra.

"Kalau misalkan ada warga yang meninggal setelah dilakukan nyengker setra maka warga boleh melakukan prosesi yang disebut nyilib atau mamaling," imbuh Sudarsana.

Nyilib ini dilakukan tanpa proses pembakaran jenazah seperti ngaben pada umumnya, melainkan makutang yakni mengubur. Prosesi ini berlangsung pada waktu sandikala (pertemuan sore-malam) tanpa membunyikan kulkul adat dan tanpa melibatkan warga banjar adat.

Sudarsana memaparkan, peniadaan upacara pangabenan ini sesuai petunjuk yasakirthi. 'Tat kala karya ngenteg linggih maring kahyangan, i krama desa tan wenang atiwa tiwa,' artinya saat ada karya Ngenteg Linggih di Pura Kahyangan, warga desa tidak boleh melaksanakan upacara pangabenan.

Upacara nyengker setra ini dilakukan juga di desa adat lain ketika hendak menyambut karya agung sebesar Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa dan MapahayuNini. Hanya saja, sebutan dan praktiknya berbeda sesuai tradisi di masing-masing wilayah.

Di Desa Adat Kapal, desa adat tua di Badung yang sudah ada sejak abad ke-8 Masehi, praktik 'sterilisasi' setra dari pelaksanaan pitra yadnya ini disebut nyengker setra. Prosesinya dipimpin sulinggih dan ritual awalannya dilaksanakan di pura yang melaksanakan karya agung.

Desa Adat Kapal yang dulu dikenal dengan sebutan Jom Karem ini memiliki empat Pura Kahyangan Dalem. Dari empat Pura Kahyangan Dalem ini, terdapat lima setra di Desa Adat Kapal. Kelima setra inilah yang di-sengker.

"Harusnya nyengker setra ini sudah dilakukan sejak rangkaian pertama karya agung. Mengingat krama kami besar yaitu sekitar 2.500 kepala keluarga, kami undur ke 11 September ini," beber Sudarsana. *rat

Komentar