Tingkatkan Produksi, Buleleng Kembangkan Padi Hibrida
Upaya Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam meningkatkan produksi pertanian khususnya di komoditas padi terus digalakkan.
SINGARAJA, NusaBali
Sejak tahun 2016, melalui Dinas Pertanian Buleleng, mensosialisasikan tanaman padi hibrida di salah satu lahan percontohan yang ada di Banjar Dinas Celuk Buluh, Desa Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Kepala Dinas Pertanian Buleleng, I Nyoman Swatantra ditemui Jumat (18/8) kemarin memaparkan bahwa sosialisasi penanaman padi hibrida yang baru berkembang dua tahun terakhir dilaksanakan secara bertahap. Tahun ini percontohan padi hibrida dilakukan di lahan seluas 10 hektare di Banjar Dinas Celuk Buluh, Desa Anturan.
Dalam program tersebut juga ditanam secara berdampingan padi inhibrida seluas 5 hektare untuk membandingkan hasil produksinya. “Percontohannya sudah kami lakukan dua kali panen dengan sekarang. Sosialisasi padi hibrida ini memang penting untuk petani, kami dorong untuk menanam karena produksinya jauh lebih besar,” ujar Swatantra.
Dari hasil panen di lahan percontohan antara padi hibrida varietas pioner dan sembada di atas lahan 10 hektare jika dibandingkan dengan padi inhibrida varietas ciherang seluas 5 hektare terdapat perbandingan hasil produksi yang sangat tajam.
Jika satu hektare lahan padi inhibrida jenis ciherang dapat menghasilkan 7,6 ton gabah, di satu hektare lahan padi hibrida dapat menghasilkan gabah hingga 9,8 ton. Perbandingan hasil panen tersebut pun disebut Swatantra merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar. “Namun nanti kembali lagi kepada masyarakat yang menentukan, apakah akan beralih ke padi hibrida dengan lahan percontohan ini atau tetap bertahan di padi inhobrida. Selain memiliki kelebihan lebih produktif, padi hibrida juga disebut sanagt tahan dengan serangan penyakit dan hama.
Secara kasat mata, baik dari waktu tanam hingga panen dan pemeliharaan, maupun harga jual antara padi hibrida dengan padi inhibrida tidak ada perbedaan. Hanya saja pemeliharaan padi hibrida disebut memerlukan biaya lebih tinggi. Selisihnya sekitar Rp 2 jutaan jika dibandingkan dengan biaya pemeliharaan padi inhibrida. Karena menurut Swatantra pemeliharaan padi hibrida memerlukan paket penerapan pupuk, air dan pengolahan tanah yang sesuai dengan ketentuannya.
Namun selisih biaya pemeliharaan itu disebut Swatantra tidak seberapa jika petani melihat dari selisih hasil produksi yang didapatkannya. Dengan hasil produksi 2,2 ton lebih banyak pada padi hibrida, petani bisa mendapatkan selisih lebih hingga Rp 5 juta.
Sosialisasi padi hibrida ini pun disebut Swatantra akan terus dilaksanakan dengan lahan percontohan di masing-masing kecamatan yang ada di Buleleng secara bertahap. Sehingga target untuk tetap mempertahankan status Buleleng surplus beras bisa dicapai.
Dari hasil panen tahap I di tahun 2017, yang berkisar pada masa tanam bulan Oktober 2016 hingga Maret 2017, jumlah produksi beras di Buleleng sudah mencapai 55.293 ton dari 10.344 hektare luas tanam. *k23
Kepala Dinas Pertanian Buleleng, I Nyoman Swatantra ditemui Jumat (18/8) kemarin memaparkan bahwa sosialisasi penanaman padi hibrida yang baru berkembang dua tahun terakhir dilaksanakan secara bertahap. Tahun ini percontohan padi hibrida dilakukan di lahan seluas 10 hektare di Banjar Dinas Celuk Buluh, Desa Anturan.
Dalam program tersebut juga ditanam secara berdampingan padi inhibrida seluas 5 hektare untuk membandingkan hasil produksinya. “Percontohannya sudah kami lakukan dua kali panen dengan sekarang. Sosialisasi padi hibrida ini memang penting untuk petani, kami dorong untuk menanam karena produksinya jauh lebih besar,” ujar Swatantra.
Dari hasil panen di lahan percontohan antara padi hibrida varietas pioner dan sembada di atas lahan 10 hektare jika dibandingkan dengan padi inhibrida varietas ciherang seluas 5 hektare terdapat perbandingan hasil produksi yang sangat tajam.
Jika satu hektare lahan padi inhibrida jenis ciherang dapat menghasilkan 7,6 ton gabah, di satu hektare lahan padi hibrida dapat menghasilkan gabah hingga 9,8 ton. Perbandingan hasil panen tersebut pun disebut Swatantra merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar. “Namun nanti kembali lagi kepada masyarakat yang menentukan, apakah akan beralih ke padi hibrida dengan lahan percontohan ini atau tetap bertahan di padi inhobrida. Selain memiliki kelebihan lebih produktif, padi hibrida juga disebut sanagt tahan dengan serangan penyakit dan hama.
Secara kasat mata, baik dari waktu tanam hingga panen dan pemeliharaan, maupun harga jual antara padi hibrida dengan padi inhibrida tidak ada perbedaan. Hanya saja pemeliharaan padi hibrida disebut memerlukan biaya lebih tinggi. Selisihnya sekitar Rp 2 jutaan jika dibandingkan dengan biaya pemeliharaan padi inhibrida. Karena menurut Swatantra pemeliharaan padi hibrida memerlukan paket penerapan pupuk, air dan pengolahan tanah yang sesuai dengan ketentuannya.
Namun selisih biaya pemeliharaan itu disebut Swatantra tidak seberapa jika petani melihat dari selisih hasil produksi yang didapatkannya. Dengan hasil produksi 2,2 ton lebih banyak pada padi hibrida, petani bisa mendapatkan selisih lebih hingga Rp 5 juta.
Sosialisasi padi hibrida ini pun disebut Swatantra akan terus dilaksanakan dengan lahan percontohan di masing-masing kecamatan yang ada di Buleleng secara bertahap. Sehingga target untuk tetap mempertahankan status Buleleng surplus beras bisa dicapai.
Dari hasil panen tahap I di tahun 2017, yang berkisar pada masa tanam bulan Oktober 2016 hingga Maret 2017, jumlah produksi beras di Buleleng sudah mencapai 55.293 ton dari 10.344 hektare luas tanam. *k23
Komentar