Tri Hita Karana: Solusi Harmonis untuk Konflik Agraria di Bali
Bali, pulau yang dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan budaya, kini menghadapi tantangan besar dalam mengelola sumber daya alamnya, salah satunya adalah konflik agraria.
Penulis: Yosep Fristamara
Mahasiswa Magister Akuntansi 2024 UNDIKSHA
Konflik ini sering muncul karena perbedaan kepentingan antara masyarakat adat yang telah lama mengelola tanah mereka dengan industri, khususnya pariwisata dan pembangunan infrastruktur. Di satu sisi, sektor pariwisata membutuhkan lebih banyak lahan untuk mendukung pertumbuhannya, sementara di sisi lain, masyarakat adat Bali merasa hak-hak mereka terancam. Untuk mengatasi ketegangan ini, konsep Tri Hita Karana, yang mengajarkan keharmonisan antara manusia, Tuhan, dan alam, dapat menjadi solusi yang relevan dalam penyelesaian konflik agraria ini.
Konflik agraria di Bali sering berakar pada ketidakseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan pelestarian tradisi. Masyarakat adat Bali memiliki hubungan yang sangat erat dengan tanah mereka, yang bukan hanya dipandang sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari identitas budaya dan spiritual mereka. Namun, dengan berkembangnya industri pariwisata, lahan yang dulunya dikelola secara adat kini menjadi incaran bagi proyek-proyek pembangunan. Ketegangan muncul ketika proyek-proyek tersebut tidak melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, yang sering kali berujung pada tergusurnya mereka dari tanah yang telah mereka kelola selama berabad-abad. Konflik ini tidak hanya mengancam kelestarian budaya, tetapi juga merusak lingkungan akibat eksploitasi yang berlebihan.
Di sinilah Tri Hita Karana dapat berperan sebagai solusi. Tri Hita Karana adalah filosofi hidup masyarakat Bali yang mengajarkan tiga hubungan penting: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Ketiga hubungan ini harus dijaga dalam keseimbangan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Dalam konteks konflik agraria, konsep ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menemukan solusi yang adil bagi semua pihak.
Prinsip pertama, hubungan manusia dengan Tuhan, mengingatkan kita untuk selalu menghormati ciptaan Tuhan, termasuk alam dan tanah. Ini berarti, dalam pengelolaan sumber daya alam, kita harus menjaga kelestariannya agar tetap memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Prinsip kedua, hubungan manusia dengan sesama, mengajarkan pentingnya saling menghargai dan bekerja sama. Dalam konteks konflik agraria, hal ini menekankan pentingnya dialog dan negosiasi antara masyarakat adat, pemerintah, dan sektor industri untuk menemukan jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. Prinsip ketiga, hubungan manusia dengan alam, mengingatkan kita bahwa alam bukanlah sumber daya yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Sebaliknya, alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang harus dijaga dan dilestarikan.
Dalam prakteknya, penerapan Tri Hita Karana dalam penyelesaian konflik agraria di Bali dapat dimulai dengan mengakui hak atas tanah bagi masyarakat adat. Pemerintah dan pihak industri harus bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang mendukung pengelolaan lahan yang berkelanjutan, di mana hak-hak masyarakat adat dihormati dan kelestarian alam tetap terjaga. Contoh nyata penerapan Tri Hita Karana dapat dilihat pada beberapa desa adat di Bali salah satunya Desa Adat Penglipuran, di mana pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal memberikan manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan atau budaya setempat. Di desa-desa ini, masyarakat adat terlibat aktif dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam, yang tidak hanya menguntungkan mereka, tetapi juga mendukung keberlanjutan industri pariwisata.
Penerapan Tri Hita Karana dapat membawa manfaat yang besar bagi semua pihak. Bagi masyarakat adat, pengakuan atas hak mereka atas tanah akan memastikan keberlanjutan budaya dan kehidupan mereka. Bagi sektor industri, penerapan prinsip ini memungkinkan pengelolaan yang lebih berkelanjutan dan memperkuat hubungan dengan masyarakat lokal. Bagi lingkungan, penerapan Tri Hita Karana memastikan bahwa alam tetap terjaga dan tidak mengalami kerusakan akibat eksploitasi yang berlebihan. Dengan begitu, pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan konflik agraria, tetapi juga menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan.
Namun, tantangan dalam menerapkan Tri Hita Karana tentu tidak kecil. Salah satu tantangan utama adalah kepentingan ekonomi jangka pendek yang sering kali lebih dominan daripada kepentingan jangka panjang yang berkelanjutan. Selain itu, kesenjangan kekuasaan antara masyarakat adat dan sektor industri juga menjadi penghalang dalam penyelesaian konflik. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari semua pihak—pemerintah, masyarakat adat, dan sektor industri—untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi yang adil dan seimbang. Pendidikan dan kesadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan ini juga harus terus ditingkatkan.
Sebagai kesimpulan, Tri Hita Karana menawarkan solusi yang berbasis pada kearifan lokal Bali untuk mengatasi konflik agraria yang timbul akibat pesatnya pembangunan. Dengan prinsip keharmonisan antara manusia, Tuhan, dan alam, filosofi ini dapat membantu menciptakan solusi yang seimbang dan berkelanjutan, menguntungkan semua pihak—baik masyarakat adat, sektor industri, maupun lingkungan. Untuk mewujudkan Bali yang lebih harmonis, kita perlu mendukung penerapan nilai-nilai ini dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil. Dengan cara ini, Bali dapat terus berkembang tanpa mengorbankan identitas budaya dan kelestarian alamnya.
*) Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warganet. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar