nusabali

Apa Itu Kemenangan Galungan?

  • www.nusabali.com-apa-itu-kemenangan-galungan

BANYAK kalangan berpendapat, Galungan itu otonan jagat, hari suka cita Bumi. Ia dirayakan paling meriah dan berkesan dari semua rentetan hari raya yang dimiliki Bali.

Inilah hari raya yang dinanti-nanti, disambut dengan sejumlah persiapan. Hanya Galungan, hingga kini, yang ditunggu-tunggu dengan perasaan kangen. 

Galungan dirindukan seperti umat menanti Lebaran atau Natal. Orangtua yang anak-anaknya kuliah di luar Bali dianjurkan pulang. Jarang mereka meminta anak-anak itu mudik ketika Nyepi, Saraswati, atau Pagerwesi. Mereka gembira berkumpul ketika Galungan.

Orang-orang luar pun sering bertanya-tanya mengapa Galungan dirayakan sangat meriah, penjor berjejer, pura dipadati pamedek, wangi dupa di mana-mana. Kesan yang muncul, orang Bali merayakan hari besar dengan semarak. Kebanyakan orang Bali menjawab pertanyaan itu dengan menyebutkan, Galungan berawal dari sebuah mitologi, dongeng yang diaduk-aduk dengan kemungkinan sejarah untuk meyakinkan, bahwa Galungan itu saat untuk merayakan kemenangan.

Kemenangan-kemenangan apakah yang dirayakan ketika Galungan? Yang sering didengungkan adalah, kemenangan kebenaran atas kebatilan. Galungan adalah saat merayakan kejayaan ketulusan, kemurnian, kesucian, atas segala sesuatu yang berkubang dalam keculasan. Ia bisa dijadikan hari besar atas kemenangan segala upaya mengalahkan amarah, nafsu, dengki.  Karena itu, siapa pun yang merayakan Galungan dengan khusuk, niscaya dia berhasil mengalahkan bhuta Galungan, watak yang suka merusak, menjadikan manusia gemar bertengkar, berpolemik, tanpa jelas juntrungannya. 

Bhuta Galungan ini datang menggoda manusia. Ayah, tanpa alasan jelas suka marah pada Ibu. Dan Ibu suka mendamprat anak-anak cuma karena mereka lalai melaksanakan tugas menyapu halaman. Di hari  biasa Ibu justru ramah, lembut, dan penuh pengertian jika anak-anak terlambat cuci piring karena keasyikan bermain. Menjelang Galungan, jika tidak hati-hati, seisi rumah bisa gaduh oleh teriakan tak senang satu sama lain.

Tentu penting jika kemudian orang-orang Bali menghayati makna Galungan sebagai sebuah kemenangan. Dan, dulu, kemenangan itu bagi anak-anak berarti memakai baju baru, dapat uang saku lebih, bersepeda, jalan-jalan ke pantai, bermain-main sepuas hati bersama kawan-kawan. Sekarang pun masih seperti itu. Anak-anak menjelang Galungan selalu berandai-andai plesir ke tempat-tempat yang mereka idolakan.

Tapi, apa sesungguhnya makna kemenangan di balik Galungan? Apakah sesederhana itu filosofi Galungan: kemenangan dharma atas adharma? Apakah dengan sendirinya setiap Galungan kemenangan-kemenangan bisa dimiliki oleh umat Bali pemeluk Hindu? Perjuangan apakah yang telah dilakukan oleh orang Bali sehingga kemenangan itu bisa mereka rebut? 

Ketika Galungan ramai-ramai orang Bali berjudi, main domino, maceki, apakah mereka telah mencapai kemenangan meredam adharma dengan dharma? Tidakkah makna kemenangan ini cuma untuk menghibur belaka? Agar manusia Bali tidak berontak, jangan menuntut, menerima saja yang sudah terjadi? Toh sudah menang? Apa lagi yang harus digelisahkan oleh para pemenang?

Mereka yang bijak mengartikan hidup sebuah medan pertempuran, perjuangan. Kemenangan bisa berarti sukses menundukkan pesaing, atau siapa saja yang mencoba merebut kesempatan milik kita, hak kita. Bisa juga bermakna keberhasilan mempertahankan harga diri kita. Dan perjuangan itu tidak gampang, butuh proses, dan sudah pasti bergelimang pengorbanan.

Maka dari sekian medan persaingan di tanah Bali, di antara kesempatan orang Bali menghadapi pesaing di bidang ekonomi, kekuasaan, dan penghidupan, adakah orang Bali menjadi pemenang? Bukankah banyak bukan orang Bali yang justru memegang peluang-peluang bisnis, kekuasaan, dan menjadi penguasa politik di Bali? Bukankah banyak bukan orang Bali yang lebih cerdas, lebih kaya, lebih berpengaruh, dibanding orang Bali sendiri? Masih bisakah, dalam situasi begitu, orang Bali dikatakan sebagai pemenang? 

Sudah saatnya Galungan diberi makna lebih hakiki, lebih luas, tidak semata dalam pemahaman kemenangan dharma atas adharma. Harus ada usaha mengaktualisasikan dharma ketika Hari Raya Galungan, agar kita tidak keliru menghayati kekalahan sebagai kemenangan. Kita menepuk dada sebagai pemenang, padahal kita pecundang. 7

Komentar