Beli Aset Properti di Bali Ternyata Lahannya Sengketa, Investor Bisa Apa?
DENPASAR, NusaBali.com - Investasi properti di Bali tengah diminati oleh banyak investor. Namun, tidak berarti investasi ini bebas risiko. Sejumlah kasus penjualan lahan yang ternyata bersengketa baru diketahui setelah transaksi berlangsung, menjadi contoh nyata bagi para investor untuk berhati-hati.
Salah satu kasus yang mencuat adalah sengketa antara sejumlah perusahaan properti di kawasan Pantai Pandawa yang terafiliasi dengan PT Bali Ragawisata (BRW), yang digugat oleh Saiman Ernawan, salah satu pemegang saham PT BRW. Kasus ini terpantau terdaftar di sipp.pn-Denpasar.go.id.
PT BRW saat ini dipimpin oleh Triono Juliarso Dawis, anak dari pemegang saham lainnya, Didi Dawis. Sejumlah aset yang telah dibeli oleh investor ternyata belakangan diketahui terlibat dalam sengketa tersebut.
Merespons hal ini, pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, I Dewa Gede Palguna, menekankan pentingnya kewaspadaan bagi investor yang ingin membeli lahan di Bali. "Lahan di Bali memang menjadi incaran bagi investor yang ingin mengembangkan sektor pariwisata, namun dalam praktik jual-beli tanah, penting untuk berhati-hati," ujarnya.
Palguna juga menekankan bahwa pembeli harus melakukan pengecekan terhadap keaslian sertifikat dan status lahan secara menyeluruh.
Ia mengingatkan bahwa jika pembeli mendapati aset yang telah mereka beli ternyata dalam sengketa, meskipun transaksi dilakukan secara sah, mereka harus memahami situasi internal dari perusahaan pemilik aset. "Pembeli harus meminta klarifikasi dalam perjanjian jual beli untuk memastikan legalitas transaksi," jelasnya.
Lalu, bagaimana jika status sengketa baru diketahui setelah transaksi selesai dilakukan? Dewa Palguna menjelaskan bahwa dalam situasi seperti itu, pembeli bisa melaporkan adanya indikasi penipuan kepada pihak berwajib dan mempertimbangkan pembatalan perjanjian. "Perusahaan pemilik aset bertanggung jawab atas transaksi yang tidak jelas. Hukum pertanahan mengatur bahwa transaksi harus dilakukan secara tunai dan terang," tegasnya.
Pakar Hukum Properti, Rizal Siregar, menambahkan bahwa nasib pembeli bergantung pada rantai sengketa. "Jika aset ternyata dalam sengketa, pembeli harus menyadari bahwa perjanjian jual beli tetap sah dan mengikat. Namun, jika ada indikasi bahwa pembeli ditipu, mereka bisa melaporkan hal tersebut ke polisi dan mempertimbangkan pembatalan perjanjian," ujar Rizal.
Dihubungi secara terpisah, Dosen Fisipol Universitas Warmadewa Denpasar, I Nyoman Wiratmaja, menilai bahwa pesatnya perkembangan pariwisata di Bali meningkatkan permintaan lahan. Namun, hal ini juga berpotensi memperburuk praktik mafia tanah. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak dalam tawaran menggiurkan dari calo tanah. "Masyarakat Bali harus sadar akan tanggung jawab pelestarian budaya, terutama terkait kepemilikan tanah leluhur yang diwarisi," tegasnya.
Sebagai informasi, PT BRW, yang didudukkan sebagai Tergugat I, telah menjual asetnya senilai Rp1,7 triliun. Aset tersebut mencakup lahan di Bukit Pandawa yang sebelumnya merupakan bagian dari proyek Mandarin Oriental Hotel & Residence, Cheval Blanc, Swissotel Resort, Waldorf Astoria, dan sejumlah bidang tanah lainnya dengan luas mencapai 685.982 m2.
Gugatan dilayangkan oleh Saiman karena ia menilai bahwa nilai transaksi jual beli tersebut terlalu rendah. Menurut Saiman, jika aset-aset tersebut dijual berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) terendah, seharusnya bisa mencapai Rp 3,1 triliun, bahkan hingga Rp 6,3 triliun jika dijual pada harga tertinggi.
Kecurigaan Saiman diperkuat oleh fakta bahwa pembeli aset tersebut, antara lain PT Harmoni Cakrawala Bali, PT Pandawa Bali Heritage, PT Seaside Pandawa Villa, PT Peninsula Bukit Perkasa, PT Bali Indonesia Persada, dan PT Panca Pandawa Indonesia, ternyata saling terafiliasi dengan para pembeli tagihan (cessie) kreditur PT BRW. Mereka antara lain adalah Gallus Tigris Trigon VCC, Dennis Lim Ching-EE, PT Greenhill Prime Power, PT Alpha Prima Gemilang, dan PT Inti Gemilang Indonesia.
Komentar