Bendesa Berawa Ketut Riana Divonis 4 Tahun
Dianggap Pegawai Negeri, Terdakwa Ngaku Bingung
DENPASAR, NusaBali - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar memvonis terdakwa kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin investor yang menyeret Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana dengan kurungan penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta.
“Menyatakan terdakwa I Ketut Riana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sejumlah Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” tegas Majelis Hakim Pimpinan Gede Putra Astawa dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (3/10).
Menurut majelis hakim dalam amar putusannya, terdakwa I Ketut Riana dinilai terbukti melanggar ketentuan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. Hakim menyatakan unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan tunggal tersebut terbukti. Mulai dari, unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Riana, yang menjabat sebagai Bendesa Adat menerima insentif dari APBD Kabupaten Badung dan Pemerintah Provinsi Bali setiap bulannya.
Selain itu, unsur secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, serta unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain juga terpenuhi. “Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, baik dari bukti percakapan WhatsApp maupun keterangan saksi, terdakwa terbukti meminta uang sebesar Rp 10 miliar kepada saksi Adianto Nahak T Moruk. Permintaan uang tersebut tidak dilaporkan kepada perangkat desa lainnya ataupun masyarakat,” ujar hakim Astawa.
Majelis Hakim juga menilai unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu telah terbukti. "Majelis Hakim tidak sependapat dengan pledoi Penasihat Hukum terdakwa yang menyebut perkara ini adalah suap, sebab ada bukti permintaan dengan unsur pemaksaan yang dilakukan terdakwa melalui percakapan WhatsApp," tambahnya. Unsur perbuatan yang berlanjut juga dinyatakan terbukti, mengingat permintaan uang itu disampaikan secara berulang-ulang oleh I Ketut Riana kepada saksi Adianto Nahak T Moruk.
Adianto sendiri ditugaskan oleh PT Berawa Bali Utama untuk mengurus izin yang diperlukan dalam pembangunan di kawasan Berawa. Terdakwa terus menekan saksi untuk menyerahkan uang tersebut guna memperlancar proses perizinan yang dibutuhkan oleh investor.
Sementara itu, Majelis Hakim menilai unsur kerugian negara tidak terpenuhi sesuai ketentuan dalam Pasal 18 UU Tipikor. Hakim juga mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam putusan ini. Hal yang memberatkan, antara lain tindakan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang gencar melakukan pemberantasan terhadap segala bentuk tindak pidana korupsi. Sedangkan hal-hal yang meringankan antara lain, terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan selama persidangan.
Untuk diketahui, vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa lebih ringan 2 tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Bali I Nengah Astawa dkk, yaitu 6 tahun penjara. Untuk tuntutan uang pengganti Rp 50 juta subsider 3 tahun ditiadakan, karena menurut majelis hakim dalam perkara ini tidak ada kerugian negara. Tetapi, uang tunai sejumlah Rp 100 juta yang diberikan saksi Adianto kepada terdakwa harus dikembalikan. Atas putusan itu, penasihat hukum terdakwa Ketut Riana, yakni Gede Pasek Suardika dan tim menyatakan pikir-pikir dan akan mempertimbangkan untuk mengajukan banding.
Ditemui usai sidang, terdakwa Ketut Riana mengaku bingung atas putusan Majelis Hakim yang menganggapnya sebagai pegawai negeri. "Saya selaku bendesa adat bingung dengan putusan hakim, karena saya tidak pegawai negeri dan tidak merugikan negara, tapi hukumannya seperti ini. Kalau saya pegawai negeri harus mendapatkan NIP, SK, tunjangan, dan sebagainya. Bendesa adat itu kan ngayah, dalam ngayah itu tidak ada batas waktu, sementara pegawai negeri ada waktu kerja. Jadi saya bingung," ujarnya.
Gede Pasek Suardika juga mengomentari putusan tersebut dan tidak sependapat dengan putusan hakim. "Pertama, kita hormati ya setiap putusan dari Yang Mulia, tetapi memang ada kontradiktif di sini. Kalau lihat Pasal 12 itu memang minimalnya 4 tahun, jadi itu hukuman paling bawah di antara ancaman pasal. Tetapi kalau kita lihat fakta sidangnya, sebenarnya kan sudah jelas, yang membuat perda saja mengatakan bendesa tidak menerima gaji, kemudian yang membuat perda ini dikalahkan dengan tafsir yang ada di luar tafsir umum," jelas Pasek Suardika.
"Ketika disebut status pegawai negeri, saksi ahli juga menyebutkan selain ada imbalan, harus ada urusan pekerjaan, SK, atau keputusan dari lembaga pemerintahan yang ada di atasnya. MDA ini kan bukan lembaga pemerintahan, jadi kalau pengukuhan dari MDA ditafsirkan sebagai keputusan yang beschikking, ya konyol. Gara-gara ada MDA, kemudian bendesa adat menjadi pegawai negeri dan ke depan bisa menjadi objek untuk tindak pidana korupsi," tuturnya.
Pasek juga memperingatkan bahwa putusan ini berpotensi merugikan banyak pihak. "Kalau begini, yang hari ini berstatus pegawai negeri dan juga menjadi prajuru adat bisa dianggap melanggar hukum. Bahkan, TNI, Polri, ASN, pokoknya semua yang bersangkutan. Padahal mereka tidak dilarang menjadi prajuru adat," ujarnya. Selain itu, ia juga menyoroti adanya faktor eksternal yang menurutnya berpengaruh dalam kasus ini. 7 cr79
Komentar