nusabali

Menyelami Gaya Pelukis Batuan I Nyoman Ngendon

Seniman Bela Negara dengan Jiwa Terbuka

  • www.nusabali.com-menyelami-gaya-pelukis-batuan-i-nyoman-ngendon

Lukisan Ngendon tidak banyak ditemui masyarakat pencinta seni di Bali. Karya-karyanya pergi jauh dari Pulau Dewata. Sebagian besar ciptaannya dibawa kolektor Eropa. Ada juga lukisannya dibawa oleh antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson dari Amerika Serikat, yang pernah meneliti seni lukis Batuan tahun 1930an.

GIANYAR, NusaBali 
Tidak bisa dipungkiri kisah hidup perupa I Nyoman Ngendon jadi warisan berharga generasi masa kini. Tidak hanya idealisme dalam berkesenian, militansi membela kemerdekaan bangsanya menjadikan sosok Ngendon adalah pemuda yang berbeda. 

Diperkirakan lahir sekitar 1913 di Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Ngendon wafat muda saat mempertahankan kemerdekaan tahun 1947. Sosoknya kala itu sangat diwaspadai tentara Belanda. Dia ditangkap dan ditembak di Setra Dentiyis,  tanah kelahirannya. Banyak saksi bercerita bahwa setelah ditembak, jenazah Ngendon diseret dengan truk di Jalan Raya Sukawati. 

Dikenal sebagai salah satu tokoh utama gaya lukis Batuan, Ngendon belajar melukis pertama kali kepada I Dewa Nyoman Mura. Dia selanjutnya menimba ilmu kepada pelukis Belanda Rudolf Bonnet, yang kala itu berada di Campuhan, Ubud. Bahkan ketika Bonnet bersama pelukis Jerman Walter Spies dan Tjokorda Gde Agung Sukawati mendirikan perkumpulan Pita Maha tahun 1936, Ngendon bergabung.

Ngendon dikenal sebagai pelukis yang sangat terbuka dengan gaya melukis Eropa yang dibawa Spies dan Bonnet. Tapi dalam kenyataannya Ngendon tampak lebih tertarik kepada situs-situs kuno, seperti gambaran pada aneka relief di Puri Batuan dan Bedahulu. Dan, tema yang diangkat juga tetap mengungkap jagad mitologi, ritual dan religi masyarakat Bali. Dengan begitu tema lukisan Ngendon akhirnya tampak tetap sangat lokalistik dan magis. Semua itu disungging dalam garis dan bentuk yang ritmik, tegas, berciri khas.

“Nyoman Ngendon tidak hanya melukis dalam satu gaya. Tapi sebagai seorang modernis dia juga punya pengalaman melukis tentang gaya lukisan lain, mencampurkan gaya lukisan barat dan Bali,” ujar Prof Adrian Vickers, sejarawan Asia Tenggara dari Universitas Sydney Australia, dalam diskusi serangkaian pameran seni rupa lintas generasi Perkumpulan Pelukis Baturulangun Batuan di Museum ARMA Ubud, bulan lalu. 

Lukisan Ngendon tidak banyak ditemui masyarakat pencinta seni di Bali. Karya-karyanya pergi jauh dari Pulau Dewata. Sebagian besar ciptaannya dibawa kolektor Eropa. Ada juga lukisannya dibawa oleh antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson dari Amerika Serikat, yang pernah meneliti seni lukis Batuan tahun 1930an. 

Beberapa lukisannya dapat dijumpai di Museum Arma serta Museum Puri Lukisan. Tapi yang terbanyak berada di Rijksmuseum voor Volkenkunde-Leiden, Belanda. 

Ngendon tidak hanya menolak mentah-mentah pengaruh asing terhadap gaya lukisnya. Di sisi lain, dia juga lantang menyuarakan kemerdekaan bangsanya. 

Kepada para pelukis generasi di bawahnya Ngendon berulang menganjurkan agar selalu peduli kepada lingkungan sosial politik yang berkaitan dengan permasalahan bangsa. 

Banyak orang yang mengenang Ngendon sebagai pelukis pejuang kemerdekaan. Meskipun lukisan Ngendon sendiri tidak merefleksikan hiruk-pikuk revolusi, lantaran lebih mengetengahkan gambaran dari mitos-mitos kolektif, wayang, mitologi dan kehidupan keseharian. Itu sebabnya tidak ada bedil, bayonet dan meriam dalam lukisan-lukisannya.

Namun, satu poster pernah dibuat Ngendon dengan unsur-unsur Bali di dalamnya yakni pemuda membawa tombak di atas gambar meru bertumpang yang dikelilingi api serta gadis Bali yang tengah bersembahyang. 

“Nyoman Ngendon memotivasi teman-teman yang lain untuk terus berjuang,”  sebut Prof Vickers. 


Ngendon adalah sosok yang sangat berani menentang apa yang dia anggap sebagai sesuatu yang memang harus ditentang. Ideologi nasionalisme, prinsip dalam berkesenian, serta jiwa patriotismenya sangat relevan untuk dimaknai generasi kekinian. 

Budayawan Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra melihat Ngendon sebagai sosok yang terbuka dan teguh mengembangkan diri hingga jauh dari tanah kelahirannya. Seolah memaknai namanya sendiri, ngendon dalam bahasa Bali bermakna bepergian jauh, Ngendon menolak terkungkung dalam kesadaran mulanya. 

Bergabungnya Ngendon dengan komunitas Pita Maha di Ubud menunjukkan dia tidak alergi dengan perbedaan dan perubahan. Tidak hanya ke desa tetangga, jejak Ngendon sampai juga ke Pulau Jawa, yakni Yogyakarta dan tempat-tempat di sekitarnya. 

Ngendon bergaul dengan para pelukis modern Yogya. Di kota ini dia berkenalan dengan pelukis revolusioner seperti Affandi dan Sudjojono. Kemampuannya dalam berbahasa Belanda, Inggris dan Melayu dengan baik, membawa dia sangat percaya diri. Dia bahkan sempat berjumpa dengan Bung Karno. Dari Jogja pulalah Ngendon menyemai semangat antikolonialismenya. 

“Bahasa sekarangnya membangun networking. Zaman itu Ngendon melakukan itu,” ujar Prof Darma Putra. 

Komentar