MUTIARA WEDA: Kewajiban, Apa Itu?
devapitṛkāryābhyāṃ na pramaditavyam, mātṛdevo bhava, pitṛdevo bhava, ācāryadevo bhava, atithidevo bhava, yānyanavadyāni karmāṇi, tāni sevitavyāni, no itarāṇi, yānyasmākagͫsucaritāni, tāni tvayopāsyāni, no itarāṇi. (Taittiriya Upanishad – Siksha Valli – 1-11-2)
Jangan pernah menyimpang dari kewajibanmu terhadap Tuhan dan terhadap jiwa-jiwa yang telah meninggal (leluhur). Semoga ibumu bagimu seperti Tuhan. Semoga ayahmu bagimu seperti Tuhan. Semoga Gurumu bagimu seperti Tuhan. Semoga tamu bagimu seperti Tuhan. Lakukanlah hanya tindakan yang bebas dari noda-dan bukan yang lainnya. Kamu harus mengikuti hanya tindakan yang berbudi luhur dan tak tercela-dan bukan yang lainnya.
ADA tiga pesan utama dari teks di atas. Pertama, melaksanakan kewajiban secara sempurna kepada para dewa dan leluhur. Kedua, consider bahwa orangtua (ibu dan ayah), guru, dan tamu adalah dewa. Ketiga, melakukan dan mengikuti hal-hal yang tanpa noda atau yang berbudi luhur saja, tidak yang lain. Mengapa kewajiban kepada Dewa dan leluhur tidak boleh menyimpang? Karena persoalan siklus kehidupan dan gen. Kewajiban kepada Dewa berkorelasi dengan tatanan semesta. Kehidupan menjadi ada oleh karena adanya keteraturan semesta dan satu benda langit saling mempengaruhi dengan yang lainnya. Surya, Candra, Pertiwi, Agni, Indra, Varuna, Savitri, dan yang lainnya adalah tatanan yang mempengaruhi kehidupan kita.
Kepada leluhur, berhubungan dengan genetis. Kita bisa ada saat ini oleh karena perpanjangan gen dari para tetua. Bisa dikatakan bahwa kehidupan akan abadi di muka bumi ini jika gen menyambung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan kita saat ini adalah perpanjangan gen leluhur dan ke depan kita juga mewariskannya ke generasi berikutnya. Kewajiban kita kepada Dewa dan leluhur tidak boleh menyimpang, sebab jika menyimpang, anugerah tidak akan pernah sampai. Menyimpang dari Dewa menyebabkan kita tidak harmoni, tidak sinkron dengan-Nya. Ketidaksinkronan inilah yang menghambat anugerah-Nya. Demikian juga dengan leluhur, menyimpang dari kewajiban membuat anugerah langsung dari beliau terhambat. Jika kita bisa sinkron dengan leluhur, anugerahnya tidak akan pernah terputus. Leluhur akan mudah mengenali sentana-nya karena itu persoalan kelanjutan gen.
Yang agak sedikit susah memahami adalah mengapa orangtua, guru, dan tamu dinyatakan sebagai Dewa? Bagaimana mereka itu seperti Dewa bagi kita? Alasannya mungkin, karena persoalan pelayanan. Melayani adalah cara terbaik dari metode bhakti. Dengan pelayanan, segala jenis kekotoran batin dibersihkan. Batin yang bersih adalah sarana yang baik untuk menyatukan diri dengan alam semesta. Agar pelayanan kita tanpa pamrih, kita harus bisa melayani mereka seperti halnya berbhakti kepada Dewa. Agar bisa ketulusan itu hadir, mereka mesti di-consider sebagai Dewa. Mungkin berbakti kepada Dewa di Pura atau altar suci lebih mudah karena Beliau tidak menuntut apa-apa. Sebaliknya, jika kita mampu melayani orangtua, guru, dan tamu yang masih hidup seperti halnya Dewa, dipastikan kesadaran diri akan berkembang dengan baik.
Dari ketiganya: orangtua, guru, dan tamu, yang paling susah menyatakan sebagai dewa adalah tamu. Kalau orangtua bisa berkaitan dengan yang melahirkan dan yang mengasuh dan berhubungan dengan keleluhuran. Guru berhubungan dengan pengetahuan. Kontribusi guru sangat signifikan dalam melahirkan murid yang tercerahkan (dvija). Kalau tamu, apa signifikannya sehingga mereka dianggap sebagai dewa? Alasannya tetap karena persoalan pelayanan dan ketulusan. Seperti halnya para-Dewa tedun (turun/hadir), kita secara tulus melakukan pemujaan. Dengan cara yang sama, ketika tamu hadir, kita secara tulus bisa melayani mereka. Ketulusan itu yang mendatangkan berkah, keberuntungan. Di samping kerendahan hati yang terbangun, persoalan kehangatan sosial juga menjadi poin dalam kehidupan yang sejahtera dan penuh anugerah.
Kemudian, bertindak hanya ‘tanpa noda’ dan mengikuti perilaku yang luhur saja. Mengapa? Karena ini adalah direction hidup setiap orang. Seperti anak panah, jika diarahkan dan melesat ke sasaran secara tepat, maka tujuan sejati hidup tercapai. Perilaku yang baik, hati yang tulus, jiwa yang murni adalah modal dari direction kehidupan itu. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kewajiban kita adalah menjalani kehidupan yang bersumber dari masa lalu, mengembangkan diri pada saat ini, dan menuju arah yang tepat ke masa yang akan datang. Itulah kewajiban. 7
1
Komentar