nusabali

Sindikat Registrasi SIM Card Ilegal Terbongkar

Polisi Amankan 12 Tersangka dan 500.000 SIM Card

  • www.nusabali.com-sindikat-registrasi-sim-card-ilegal-terbongkar

Tersangka beli dokumen pribadi di darkweb seharga Rp 25 juta untuk 300.000 NIK (nomor induk kependudukan), satu OTP di setiap kartu bisa dijual 10-12 kali

DENPASAR, NusaBali
Aparat Direktorat Reserse Siber Polda Bali berhasil membongkar sindikat registrasi SIM Card ilegal dan penjualan kode OTP di dua tempat dan waktu berbeda. Pertama polisi gerebek salah satu rumah di Jalan Sakura Gang 1 Nomor 18C Denpasar sebagai rumah produksi, Rabu (9/10) malam sekitar pukul 23.00 Wita. Berdasarkan hasil olah TKP kemudian polisi menggerebek sebuah rumah di Jalan Gatot Subroto I, Perumahan Taman Tegeh Sari Nomor 17 Denpasar sebagai tempat pemasaran, Kamis (10/10) dinihari. 

Direktur Reserse Siber Polda Bali, AKBP Ranefli Dian Candra saat gelar jumpa pers di Aula Ditres Siber Polda Bali, Rabu (16/10) pagi mengatakan pemilik usaha ilegal ini adalah seorang pria asal Lamongan, Jawa Timur berinisial DBS,21. Pria lulusan salah satu SMK di Denpasar jurusan TI ini berhasil ditangkap polisi bersama 11 orang karyawannya. Selain itu hingga saat ini polisi masih mengejar enam orang lainnya yang kini telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron. 

Selain mengamankan 12 orang tersangka, polisi mengamankan kurang lebih 500.000 kartu yang sudah diregistrasi dan perangkat elektronik lainnya. Turut diamankan juga uang tunai Rp 250 juta dan buku tabungan yang di dalamnya berisi uang ratusan juta. Tersangka dan barang bukti kini telah ditahan di Polda Bali. Hingga kini penyidik masih melakukan pengembangan lebih lanjut. 

Pengungkapan kasus ini berawal informasi dari masyarakat tentang adanya aktivitas mencurigakan di salah satu rumah di Jalan Sakura Gang 1 Nomor 18C Denpasar. Awalnya rumah itu dicurigai sebagai tempat operator judi online. Menerima laporan tersebut aparat Ditres Siber Polda Bali langsung mendatangi lokasi TKP. Di sana polisi menemukan sejumlah komputer dan perangkat elektronik lainnya. 

Ditres Siber Polda Bali saat merilis 12 tersangka dan barang bukti kasus registrasi kartu SIM Card ilegal dan penjualan kode OTP di Mapolda Bali, Rabu (16/10).-YUDA 

Pada saat itu juga polisi langsung mengamankan 10 orang yang saat itu sedang bekerja, masing-masing berinisial DBS sebagai pemilik sekaligus otak dari kejahatan ini. GVS,21 selaku manajer, MAM,19, selalu kepala sortir, FM,18, sebagai kepala produksi. Berikutnya karyawan produksi masing-masing berinisial YOB,23, TP,22, ARP,18, dan IKAMBM,22. Selanjutnya tersangka DP, 31 selaku developer, IWSW,21, selaku customer service. Sementara dua tersangka lainnya bertindak selaku marketing masing-masing berisial DJS,21, dan RDSS,22, diamankan pada, Sabtu (13/10).

Curiga dengan perangkat elektronik yang ada di dalam rumah tersebut polisi melakukan olah TKP termasuk memeriksa perangkat elektronik yang ada. Ditemukan aktivitas mencurigakan di dalam perangkat elektronik tersebut. Diketahui mereka melakukan penjualan SIM card yang sudah diregistrasi menggunakan data orang lain. 

"Setelah melakukan penggeledahan di TKP Jalan Sakura Gang 1 Nomor 18C Denpasar kami bergerak menuju ke TKP kedua di Jalan Gatot Subroto I, Perumahan Taman Tegeh Sari Nomor 17 Denpasar. Sampai di sana kami tidak menemukan karyawan yang bekerja, tetapi perangkat elektronik masih ada," beber AKBP Ranefli. Mantan Wadir Reskrimsus Polda ini menjelaskan usaha jahat dari tersangka DBS ini mulai dijalankan sejak tahun 2022. Awalnya tersangka yang tinggal di Jalan Tukad Banyusari Gang Pelita I/15, Kelurahan Dauh Puri Kelod, Denpasar Barat ini buka konter jual HP. Sambil jual HP dia jual kartu yang sudah dia registrasi secara manual lewat HP. 

Setelah lima bulan berjalan tersangka membeli dua modem pool yang digunakan untuk registrasi kartu perdana dengan menggunakan dokumen orang lain yang dia beli di darkweb. Berjalan waktu usaha ilegalnya itu berkembang pesat. Hingga Agustus 2024 tersangka DBS menggunakan 168 modem pool untuk registrasi kartu. Menggunakan peralatan canggih itu tersangka dan tim mampu meregistrasi 3.000 kartu sehari. Dari awalnya jual dan registrasi secara manual akhirnya tersangka jual secara online lewat empat website yang dibayar DBS sendiri. Seiring dengan usahanya berkembang, DBS mempekerjakan belasan orang karyawan dengan gaji besar. Paling kecil gaji karyawan Rp 5 juta. 

"Tersangka ini membeli dokumen di darkweb Rp 25 juta untuk 300.000 NIK. Satu OTP di setiap kartu bisa dijual 10-12 kali," ungkap AKBP Ranefli. Bagaimana cara kerja tersangka dalam menjalankan bisnisnya itu? Tersangka dan timnya membeli kartu perdana dari berbagai provider. Biasanya tersangka langsung beli 1.000 pcs seharga Rp 3.300.000 atau 3.300 per pcs. Kartu perdana yang baru dibeli itu langsung diregistrasi menggunakan 168 modem pool. 

Nah, ribuan kartu yang telah diregistrasi menggunakan data orang lain secara ilegal yang juga dibeli dari situs ilegal itu dijual lewat empat website yang telah dibuat tersangka sendiri. Para konsumen beli lewat web yang dirahasiakan polisi artinya tersangka tidak nebeng pada website orang lain tetapi punya sendiri. Selain itu para tersangka ini tidak menjual kartu secara fisik, tetapi hanya nomornya saja dan kode OTP. Biasanya nomor seperti ini digunakan oleh aplikasi jual beli online termasuk taksi online. Setelah nomor dan kode OTP dari satu kartu sudah terjual fisiknya dihancurkan pakai mesin khusus. 

Bukan tidak mungkin, lanjut AKBP Ranefli kartu yang menggunakan identitas orang lain secara ilegal yang dijual para tersangka ini digunakan oleh pihak tertentu untuk melakukan kejahatan. Bisa juga data dari pelaku kejahatan digunakan oleh orang yang tidak tahu apa-apa dengan kejahatan itu. Terkait hal itu masih dalam pengembangan saat ini. Sejauh ini para tersangka mengaku tidak mempunyai target tertentu. Mereka hanya memproduksi kartu tersebut menggunakan data orang lain secara ilegal kemudian dijual. Mereka (para tersangka) tidak memantau untuk kejahatan atau untuk hal positif saja digunakan oleh konsumen kartu tersebut. 

"Para tersangka ini tidak menjual kartu tetapi hanya menjual nomor dan kode OTP menggunakan data orang lain secara ilegal. Kalau data yang digunakan adalah data dari pelaku kejahatan maka pembelinya yang terlacak oleh polisi," beber AKBP Ranefli. Hingga saat ini pihak Ditres Siber Polda Bali masih melakukan pengembangan secara mendalam. Apakah dari kartu-kartu itu digunakan untuk melakukan kejahatan lain seperti meneror, menipu orang dan lainnya. 

Para tersangka ini dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 65 ayat (3), Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi secara ilegal dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama lima tahun. Selain itu Pasal 32 ayat (1), Pasal 48 ayat (1) tentang Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. 7 pol

Komentar