Sanggar Seni Citta Wistara Tampilkan Lagi Kesenian Gambuh
Setelah gambuh dari Pedungan dan gambuh dari Batuan yang tampil dalam pelaksanaan Bali Mandara Mahalango dan Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun sebelumnya, kini giliran Karangasem yang tunjukkan kesenian gambuhnya.
DENPASAR, NusaBali
Kesenian gambuh tersebut dibawakan oleh Sanggar Seni Citta Wistara dari Desa Budakeling, Bebandem, Karangasem, di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya Denpasar, Minggu (20/8) malam.
Sebenarnya, Sanggar Seni Citta Wistara sudah tampil membawakan gambuh beberapa bulan lalu di ajang PKB XXXIX. Kali ini, sanggar tersebut juga menampilkan kesenian yang sama bahkan dengan cerita yang sama yakni ‘Teratai Bang’. Hanya saja waktu penampilan dipendekkan menjadi sekitar dua jam. Sementara saat pentas di PKB beberapa waktu lalu, waktu penampilannya sekitar empat jam.
Menurut Kurator Bali Mandara Mahalango IV, Prof Dr I Made Bandem MA, yang ditekankan adalah penampilan dramatari gambuh dan pemerataan penampilan antar kabupaten. “Pertimbangannya bukan ceritanya, tetapi penampilan gambuhnya dan pemerataan,” terang Prof Bandem.
Hanya saja menurut Prof Bandem, kedepannya para penampil tidak menampilkan cerita yang sama seperti cerita di PKB (Pesta Kesenian Bali). Meski demikian, dia menilai penampilan gambuh dari Budakeling ini cukup inovatif. Biasanya dalam gambuh, tarian Capung Mas sering dibuat gedongan dan disembunyikan. “Tetapi tadi mereka berani mencoba menunjukkan adanya Capung Mas yang membawa Diah Rangkesari ke hutan,” katanya.
Secara pribadi, dia menangkap ini sebuah inovatif, progresif dan dinamika dalam estetika seni klasik. Apalagi dalam seni dramatari gambuh memang menuntut kesempurnaan penampilan, kesempurnaan tema, dan kesempurnaan gamelan. “Mereka tadi mampu menunjukkan harmonisasi antara gamelan dan tarian, tarian dengan ucapan. Lengkap sudah. Itu sebuah estetika klasik,” imbuhnya.
Bandem menambahkan, kesenian gambuh adalah dramatari pertama di Bali yang menggunakan unsur dramatik dan estetika. Sebelumnya di Bali memang ada tarian ataupun topeng. Tetapi belum menggunakan unsur dramatik. Setelah itu, gambuh memiliki struktur pakem yang lengkap. Bahkan disebut sebagai dasar dari drama tari dan tarian-tarian di Bali. Karena sebelum ada gambuh di Bali ini tari-tari bersifat ritual seperti ada sanghyang, berbagai jenis rejang bahkan tari Baris. “Setelah gambuh muncul, baru diikuti seni yang lain dalam menggunakan unsur dramatik, contohnya topeng,” jelasnya.
Sementara pada malam harinya bertempat di kalangan Ayodya, tampil Sekaa Gong Wanita Sidhi Luwih Sanggar Printing Mas, Denpasar. Mereka menampilkan tabuh Sekar Gadung, tabuh Sekar Kemuda, tari Gabor, tari Tenun, tari Wiranata dan fragmentari Rajapala. Menurut pengamat seni Prof Dr I Wayan Dibia SST MA, penampilan mereka terkesan kurang latihan. “Kalau seleksi materinya bagus, memberikan kesan nostalgia terhadap beberapa nomer kekebyaran yang Berjaya dulu seperti Gabor, Rajapala. Hanya saja tampaknya mereka kurang siap, kurang latihan, dan khusus untuk Rajapala ini pendramaannya kurang dihayati,” katanya.
Prof Dibia menambahkan, penampilan mereka menjadi flat. Rasa emosional itu tidak mampu mengesankan kesan dramatik yang menyedihkan. Sementara untuk gendingnya, pemilihan tempo tidak disesuaikan dengan unsur dramatik, agak kontras dengan suasana yang ada. Sebab fragmentari menuntut pemahaman dramatika. “Tetapi sebagai sebuah upaya untuk mengembalikan kejayaan itu bagus. Itu menjadi apresiasi kita. Mereka dengan kesibukannya masing-masing itu dapat menampilkan seperti ini, itu bagus,” tandasnya. *in
Komentar