No Viral, No Justice, Tantangan Profesi Advokat Masa Kini
Dari Kegiatan Munas I Profesi Advokat Peradi Pergerakan
MANGAPURA, NusaBali - Dalam era informasi yang bergerak cepat dan opini publik terbentuk dalam hitungan detik, fenomena ‘No Viral, No Justice’ muncul sebagai tantangan baru bagi penegakan hukum di Indonesia.
Posisi advokat sering kali terpinggirkan, terjebak dalam stigma negatif yang menganggap mereka sebagai profesi yang hanya mengejar keuntungan materi. Hal terungkap dalam Musyawarah Nasional (Munas) I, Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan) di Kuta, Kabupaten Badung, Sabtu (26/10).
Munas yang mengambil tema ‘Mengembangkan Profesionalitas Advokat dalam Upaya Penegakan Hukum,’ tersebut menghadirkan narasumber dari kalangan praktisi hukum dan akademisi yakni pengacara kondang Mahdir Ismail, Asisten Pengawasan dari Kejaksaan Tinggi Bali, Susilo, serta akademisi sekaligus Guru Besar Hukum Tatanegara Prof. Yohanes Usfunan.
Ketua Panitia Munas ke-I Peradi Pergerakan, sekaligus moderator I Wayan ‘Gendo’ Suardana, dalam sesi diskusi menyatakan, kondisi ini cenderung menurunkan citra advokat sebagai penegak hukum yang kredibel. Beberapa kalangan menganggap advokat sebagai pelengkap yang kurang diperlukan dalam sistem hukum.
Hal ini berdampak pada sinergitas antara profesi hukum. Sehingga, tercipta stigma bahwa advokat hanya membela orang kaya dan mengabaikan kalangan miskin. “Hal ini semakin memperburuk citra profesi advokat,” ujar pria yang juga aktivis lingkungan ini.
Menyikapi hal ini, kata dia, Munas Peradi Pergerakan mengangkat berbagai kritik dan solusi untuk meningkatkan profesionalisme advokat. Satu hal yang disepakati adalah pentingnya membangun jaringan antar organisasi advokat yang solid. “Kita perlu memperkuat kolaborasi agar advokat tidak hanya terlihat sebagai individu yang bersaing, tetapi sebagai satu kesatuan yang bergerak untuk keadilan,” kata Gendo.
Dalam konteks perdebatan mengenai profesionalisme advokat, narasumber Mahdir Ismail menyoroti bahwa perbincangan tentang advokat sejatinya adalah refleksi diri. Ismail mengangkat kritik yang pernah dilontarkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tahun 1984. Kritik tersebut menggambarkan profesi advokat sebagai ‘penyewa senjata,’ yang menjelaskan posisi advokat sebagai alat hukum, serta menyamakan iklan jasa advokat dengan ‘menjual kosmetika.’
Lebih jauh, Ismail mengingatkan bahwa advokat tidak boleh menyerahkan fungsi mereka kepada netizen, yang sering kali tidak memahami hukum. “Posisi kita sebagai advokat jangan sampai diambil alih oleh opini publik yang tidak berbasis hukum,” tegasnya.
Dalam konteks ini, isu ‘No Viral No justice’ menjadi peringatan penting bahwa keadilan seharusnya tidak ditentukan oleh popularitas di media sosial. “Jangan sampai posisi kita sebagai advokat diambil alih oleh netizen yang mereka kadang-kadang tidak mengerti hukum. Meskipun menurut netizen apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran, pernyataan ini bisa menciptakan pengadilan di luar pengadilan yang berpotensi merugikan,” tegas Ismail.
Sementara Guru Besar Hukum Tatanegara Prof. Yohanes Usfunan mengupas definisi advokat sebagai penyelenggara negara yang memiliki peran vital dalam sistem hukum. Selain itu, pentingnya penguasaan hukum positif dan teori hukum oleh advokat tidak bisa diabaikan.
Seorang pengacara yang baik harus memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum dan mampu menerapkannya secara normatif. Prof. Usfunan menegaskan bahwa advokat tidak boleh hanya mengandalkan pengalaman praktis semata, mereka harus memiliki landasan teoritis yang kuat. Dalam perspektif pendidikan hukum, ia menekankan bahwa hukum harus diajarkan dengan cara yang memberikan pemahaman tentang konteks dan aplikasi di lapangan.
Ia juga menerangkan, pentingnya asas legalitas dan bagaimana advokat seharusnya menjadi garda terdepan dalam mempertahankan prinsip-prinsip ini. “Bagaimana mungkin kita bisa menghasilkan advokat yang berkualitas jika sistem pendidikan hukum kita tidak mampu mempersiapkan mereka dengan baik?” ujar Yohanes Usfunan.cr79
Komentar