MUTIARA WEDA: PR Pemimpin Bali ke Depan
Rājan dharmaṃ ca arthaṃ ca kāmaṃ ca rakṣati. (Manavadharmasastra, 7.5)
Raja harus menjaga dharma, artha, dan kama.
PEMIMPIN Bali mesti menjaga dharma, menjaga regulasi kosmik yang menyejahterakan masyarakat. Demikian juga mesti menjaga Artha, menjaga sumber-sumber kekayaan dan sustainabilitasnya, memastikan ketersediaan sandang-pangan-papan masyarakat. Kama juga harus menjadi perhatian serius pemimpin, kesenangan dan regulasinya dibuat jelas. Pernyataan ini masih umum dan perlu diterjemahkan agar menjadi platform tindakan. Ada beberapa poin yang bisa ditarik secara langsung dari teks terkait tugas dan tanggung jawab pemimpin Bali ke depan, disesuaikan dengan konteks permasalahan saat ini.
Pertama, lingkungan. Hindu memiliki tatanan luar biasa terkait penataan lingkungan: parahyangan, pelemahan, dan pawongan. Namun kondisinya saat ini tidak mencerminkan itu. Contohnya: parahyangan adalah kawasan suci. Yang masuk di dalamnya menurut Sad Kertih adalah danau, hutan, sungai, gunung, dan laut. Kawasan suci mestinya sakral dan lestari. Namun, yang terjadi, danau tercemar, hutan menghilang, sungai kotor, pantai terjual, dan lain-lain. Ini tantangan berat pemimpin ke depan karena berhadapan dengan kebutuhan perumahan, lahan pertanian dan fasilitas pariwisata.
Kedua, pendidikan. Di Karangasem dan daerah lainnya, akses pendidikan masih sulit. Beasiswa untuk higher education minim, padahal ini urgen untuk meningkatkan SDM. Input SDM unggul terabaikan, banyak anak miskin berprestasi belum maksimal mendapat fasilitas. Generasi muda Bali yang belajar tentang sains, teknologi, bisnis, komunikasi, dan yang lainnya yang lebih tinggi masih minim. Perlu identifikasi dan support serius.
Ketiga, pariwisata. Dolar mengalir dan pundi-pundi penghasilan terisi. Namun, pariwisata yang tidak ‘terawat’ memiliki dampak kurang baik bagi Bali. Semua orang sudah melihat dampaknya: kemacetan, kriminal, kebisingan, dan yang terpenting adalah perubahan paradigma berpikir masyarakat menjadi pragmatis yang nantinya secara radikal bisa mengubah organ dalam orang Bali. Sengkarut ini mesti segera diretas dan ditata kembali sebelum terlambat.
Keempat, transportasi, akibat overload kendaraan dan aktivitas di jalan, macet menjadi keseharian jalanan di Bali, khususnya di Denpasar dan sekitar. Mengatasi ini tidak mudah. Diperlukan tidak hanya pemimpin cerdas, tetapi jenius. Sengkarutnya sudah kelewatan. Penyelesaian ini tidak mudah. Pelebaran jalan tidak mungkin, membuat jalan baru susah, transportasi umum tidak diminati, jalan layang bertabrakan dengan tradisi, mengurangi kendaraan tidak practical, dan lain-lain.
Kelima, kesehatan mental masyarakat. Ada penelitian menyatakan bahwa Bali adalah provinsi dengan persentase bunuh diri tertinggi di Indonesia, dan jumlah orang gila di Bali bisa ribuan. Artinya, mental masyarakat lagi tidak baik-baik saja. Diperlukan perhatian, penanganan, dan pencegahan yang serius dan konsisten. Metode healing Bali sangat banyak dan beragam, orang asing pun ke Bali untuk healing. Lalu, mengapa orang Bali stres, depresi? Anomali, sungguh. Perlu penelusuran serius.
Keenam, keamanan. Sering ada kabar di Bali terjadi pembegalan, tawuran, pembacokan, perampokan, dan sejenisnya. Ada apa ini? Kejadian, penyebab, dan solusinya mesti dikenali. Solusi jangka pendek dan panjangnya harus terus ditingkatkan, sebab ini berhubungan dengan faktor kemakmuran masyarakat.
Ketujuh, transfer tradisi dan budaya Bali ke generasi penerus. Generasi milenial dan seterusnya adalah generasi yang berbeda. Ada lompatan genre, lompatan fasilitas, perbedaan tantangan, dan perubahan pola pikir secara radikal antara para tetua dan generasi ini. Mungkin generasi kakek ke belakang, persoalan genre dan tata cara kehidupan tidak banyak perbedaan. Transfer dan transformasi pengetahuan, tradisi dan budaya menjadi sesuatu yang alami dengan praktik keseharian. Seperti pengetahuan tentang kegiatan di sawah, sejak kecil anak diikutkan untuk kegiatan itu dan secara otomatis anak mengikuti.
Yang terjadi sekarang berubah. Orang tua masih menganut pola agraris, mungkin mulai terkena dampak pariwisata. Tetapi, generasi ‘internet’ ini sangat jauh berbeda. Mereka melihat petani membajak di layar smart phone, tidak lagi di sawah. Demikian juga yang lain. Lalu, bagaimana dengan transfer dan transformasi tradisi dan budaya terjadi dengan metode yang lama? Di sini, pemimpin harus secara jenius menemukan formula baru, agar generasi ke depan tidak tercerabut dari akarnya. Ada banyak lagi PR pemimpin Bali ke depan, tetapi jika ini saja bisa diselesaikan, sebagian besar masalah Bali berhasil diringankan. 7
1
Komentar