nusabali

Hadirkan 5 Orang Saksi, Ada Mantan Pejabat

Sidang Kasus Korupsi Sertifikasi

  • www.nusabali.com-hadirkan-5-orang-saksi-ada-mantan-pejabat

Berdasarkan hasil investigasi, total kerugian negara mencapai Rp 3.881.218.000.

DENPASAR, NusaBali
Sidang kasus dugaan korupsi yang melibatkan Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi-Pariwisata Bali Internasional (LSP-PBI) Siska Suzana Darmawan, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar. Dalam sidang yang digelar pada Selasa (5/11) mengagendakan pembuktian dan pemeriksaan saksi.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nengah Astawa dan Agung Gede Lee Wisnhu Diputera menghadirkan lima orang saksi dalam perkara dugaan korupsi terkait Program Sertifikasi Kompetensi Kerja (PSKK) yang diduga menyeret sejumlah mantan pejabat di Bali. Kelima saksi tersebut adalah Drs I Made Juana yang bertindak sebagai Dewan Penasihat sekaligus pengawas LSP-PBI, Gede Widarma Suharta mantan Kepala Dinas Tenaga Kerja Gianyar, AA Gede Ambara Putra, I Made Arnawa, dan satu lagi I Nyoman Sudana.

Dalam keterangannya di depan majelis hakim pimpinan I Wayan Suarta, saksi AA Gede Ambara Putra mengungkapkan bahwa dirinya mengetahui adanya kegiatan PSKK dan memiliki tugas untuk memasukkan data. Namun, I Wayan Suarta mengaku tidak pernah menerima uang transportasi meskipun namanya tercantum dalam daftar penerima dana transportasi lengkap dengan tanda tangan.

Selain itu, I Made Arnawa, yang bekerja di LSP-PBI, menjelaskan bahwa tugasnya hanya memperbanyak materi ujian sertifikasi, salah satunya untuk pelaksanaan di sebuah sekolah di Gianyar. I Made Arnawa juga menuturkan pernah diminta menandatangani penerimaan dana transportasi, tetapi tidak pernah menerima uangnya.

Saksi lainnya, I Nyoman Sudana, pemilik toko yang menjadi tempat pembelian kertas untuk kegiatan PSKK, mengonfirmasi adanya delapan kali transaksi pembelian. I Nyoman Sudana mengungkapkan bahwa seorang bernama Gunawan pernah meminjam stempelnya untuk keperluan laporan, namun hingga kini stempel tersebut belum dikembalikan. Ketika ditanya oleh jaksa mengenai alasan memberikan izin penggunaan stempel, dia menjawab lantaran yang terdakwa adalah pelanggannya, “Dia kan pelanggan tetap, dan katanya untuk membuat laporan,” ucapnya.

Sementara, I Made Juana, selaku Dewan Penasihat dan Pengawas LSP-PBI, dihadapkan dengan pertanyaan terkait legalitas lisensi LSP-PBI sebagai penyelenggara sertifikasi. I Made Juana beralasan bahwa izin penyelenggaraan sertifikasi merupakan kewenangan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) pusat.

Saksi juga menjelaskan bahwa sosialisasi PSKK di Bali yang melibatkan LSP-PBI dilakukan atas undangan dari Ketua BNSP Pusat Ir Sumarna Fathulbari Abdurahman. “Kan waktu itu LSP tidak punya lisensi, mengapa bisa diundang?” tanya JPU. Saksi terdiam lama tidak bisa menjawab. Lantas, bagaimana bisa ditunjuk sebagai pelaksana? Lanjut JPU. Lagi-lagi saksi terdiam dan banyak jawab lupa.
Tetapi saat ditanya sumber anggaran dana, I Made Juana mengatakan anggaran kegiatan PSKK yang diterima LSP-PBI berasal dari BNSP Pusat dengan total nilai Rp 6,67 miliar. I Made Juana juga mengungkapkan adanya permintaan komisi 10 persen dari anggaran tersebut oleh Ketua BNSP Ir Sumarna Fathulbari Abdurahman, senilai Rp 667 juta. Permintaan ini disampaikan kepada Siska Suzana Darmawan, yang kemudian meminta I Made Juana untuk menemaninya ke Jakarta guna menyerahkan uang tersebut kepada Ir Sumarna Fathulbari Abdurahman.

Ketika ditanya mengapa bersedia memberikan uang 10 persen dari nilai kontrak, I Made Juana menyatakan bahwa dirinya pernah memperingatkan Siska Suzana Darmawan untuk berhati-hati terkait hal ini. “Lah, dalam BAP saudara mengatakan itu wajar 10 persen. Yang saudara lakukan memperingati terdakwa hati-hati, apa mengatakan itu wajar?” tanya jaksa. Namun, lagi-lagi I Made Juana mengaku lupa. “Lupa pak,” ucapnya.

Saksi terakhir, Gede Widarma Suharta, memberikan kesaksian dengan membantah menerima uang dari Siska Suzana Darmawan atau I Made Juana. “Tidak pernah, saya memberikan keterangan di bawah sumpah,” tegas Widarma.

Diberitakan sebelumnya, modus operadi yang digunakan dalam kasus korupsi ini meliputi manipulasi anggaran untuk konsumsi kegiatan, bahan uji kompetensi, penggandaan materi, honor asesor, ATK, dan transportasi panitia penyelenggara. Anggaran ini bersumber dari APBN tahun 2015 yang dialokasikan untuk program sertifikasi di berbagai kabupaten/kota di Bali.

Terdakwa Siska Suzana Darmawan tidak bekerja sendirian. Menurut dakwaan, Siska Suzana Darmawan diduga berkolaborasi dengan Ketua BNSP Pusat Ir Sumarna Fathulbari Abdurahman, periode 2011-2016. Berdasarkan hasil investigasi, kedua terdakwa memperkaya diri dengan total kerugian negara mencapai Rp 3.881.218.000. Dari jumlah tersebut, Siska Suzana Darmawan diduga menerima keuntungan sebesar Rp 3.261.218.000, sementara Ir Sumarna Fathulbari Abdurahman mendapatkan Rp 620 juta.

Jaksa juga mengungkapkan bahwa anggaran APBN yang diterima BNSP mencapai Rp 201.876.054.000, dengan Rp 120 miliar dialokasikan untuk program sertifikasi dan Rp 66.509.270.000 secara khusus ditujukan untuk PSKK. Program ini kemudian diatur dalam rapat pleno BNSP pada 29 Juni 2015, yang memutuskan bahwa lembaga diklat yang memenuhi syarat akan diundang mengajukan proposal untuk pelaksanaan program sertifikasi. Setelah proses verifikasi, proposal diajukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran BNSP untuk diproses lebih lanjut hingga terbitnya surat perjanjian kerja.

Namun, dakwaan JPU menyatakan bahwa proses sertifikasi yang dilaksanakan oleh LSP-PBI, di bawah kepemimpinan Siska Suzana Darmawan, tidak sesuai dengan regulasi BNSP. Salah satu pelanggaran yang diungkap adalah LSP-PBI tidak melalui tahap ‘penyaksian uji kompetensi awal’ oleh BNSP, yang merupakan persyaratan wajib sebelum lembaga tersebut menerima lisensi. 7 cr79

Komentar