Pemerintah Diminta Buat Aturan Harga Minimum Baju
Cegah Praktik Predatory Pricing di E-commerce
JAKARTA, NusaBali - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta pemerintah menerapkan aturan harga minimum produk baik di e-commerce maupun di pusat perbelanjaan tekstil untuk mencegah praktik predatory pricing.
Sebagai informasi predatory pricing adalah strategi penjualan dengan mematok harga yang sangat rendah. Tujuannya; untuk menyingkirkan pesaing dari pasar dan menarik pembeli dengan harga murah.
Wakil Ketua Umum API Ian Syarif menyoroti bagaimana di sejumlah negara seperti China, India, dan Jepang diterapkan regulasi importasi produk dari luar negeri dengan mengenakan aturan harga minimum produk.
"Yang bisa dilihat ada Rp20 ribu per piece, Rp10 ribu per piece. Itu dikenakan minimum price. Jadi harus ada minimum price standard," ujar Ian dalam Rapat Pleno bersama Badan Legislasi DPR RI, Senin (4/11) seperti dilansir CNNIndonesia.com.
"Jadi sehingga kalau ada misalnya t-shirt yang harganya Rp5.000 itu sudah pasti enggak masuk akal. Minimum negara itu harus nge-charge di level minimum price dan ini sudah dilakukan di negara-negara lain," imbuhnya.
Ian mengatakan jumlah pakaian bekas yang dijual di pasaran masih sangat masif. Menurutnya, masih banyak baju bekas dari luar negeri yang dibanderol Rp10 ribu-Rp15 ribu yang dijual di e-commerce maupun pusat perbelanjaan tekstil.
Di samping itu, Ian memaparkan salah satu dampak dari jatuhnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri termasuk tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berujung pada rendahnya utilitas produksi.
"Saat ini utilitas kami di angka 40 sampai 50 persen. Dan untuk maintain utilitas tersebut tentunya sangat sulit. Maka di beberapa bulan ke depan dicatat ada beberapa industri yang cukup besar juga yang nanti akan memberitakan PHK juga," tuturnya.
Ian pun mengungkap baru-baru ini ditemukan pedagang asal China yang membuka lapak di sejumlah pusat perbelanjaan tekstil di Indonesia, seperti di Mangga Dua Jakarta, Cigondewah Bandung, Pekalongan hingga Tegal.
Mereka diduga memasukkan barang ke Indonesia dengan borongan, barang kiriman, under invoice, dan menjual barang tanpa pajak pertambahan nilai (PPN).
"Kebetulan terjadi di pasar Bandung yang saat itu didemo oleh para pemilik toko dan pemilik tokonya komplain ke Dirjen Imigrasi dan orangnya sudah dipulangkan. Tapi ketika tertangkap paspor yang diberikan ternyata paspor seseorang yang sudah meninggal dan itu warga negara dari China," jelasnya.
"Mereka enggak ngerti apa itu PPN dan berangnya dijual bebas di toko-toko yang ada di sekitar sentra-sentra tekstil kita yang ada di Indonesia," imbuh Ian lebih lanjut.
Industri tekstil di Indonesia sedang dalam situasi gawat darurat menyusul penutupan puluhan pabrik serta PHK lebih dari puluhan ribu pekerja. Hal ini diakibatkan oleh lesunya pasar global dan membanjirnya produk impor dari China. 7
1
Komentar