Kanti Molas Penerus Spirit Pita Maha
Kelompok Kanti Molas merupakan kumpulan dari pelukis yang berlatar belakang gaya tradisional Bali yang berada di daerah Ubud, lahir dari keinginan, kesadaran dan kerinduan untuk berkumpul dan berbagi pengetahuan guna mendapatkan ide-ide cemerlang demi kemajuan dalam bidang berkesenian.
DENPASAR, NusaBali
Memasuki ruang pameran Santrian Art Gallery, Sanur, Denpasar,seakan kita masuk Museum Puri Lukisan di jantung wisata Ubud, Gianyar. Museum ini dikenal sebagai tempat para pecinta lukisan melihat karya-karya maestro Pita Maha, seperti I Gusti Nyoman Lempad, Walter Spies ataupun Rudolf Bonnet, yang merupakan kelompok pelukis Bali yang berdiri tahun 1936 di Ubud.
Memang 20 lukisan yang tengah dipamerkan di Santrian Art Gallery Sanur adalah milik para pelukis yang tergabung dalam kelompok Kanti Molas (lima belas) yang disebut sebagai generasi penerus aliran seni lukis tradisional Bali Pita Maha.
Lukisan para pelukis Kanti Molas yang berdiri sejak 2020 kental dengan aroma tradisional Bali. Meski sentuhan modern tidak dapat dihindari. Lukisan Illegal Fishing karya I Made Awan, misalnya, sangat kental dengan lukisan gaya Ubud tahun 1930an. Di sisi lain, penangkapan ikan menggunakan bom menggambarkan konteks kekinian.
Gaya yang lebih tradisional tampak dari karya I Nyoman Sana, Riverside. Lukisan ini menggambarkan masyarakat Bali tempo dulu yang melakukan berbagai macam aktivitas mulai, ekonomi hingga spiritual, di sekitar sungai atau tukad. Lukisan ini pun dapat dibaca sebagai kritik terhadap kondisi kekinian sungai-sungai di Pulau Dewata. Sungai yang dulu sakral dan bersih tiba-tiba menjadi tempat pembuangan sampah.
“Kelompok Kanti Molas merupakan kumpulan dari pelukis yang berlatar belakang gaya tradisional Bali yang berada di daerah Ubud, lahir dari keinginan, kesadaran dan kerinduan untuk berkumpul dan berbagi pengetahuan guna mendapatkan ide-ide cemerlang demi kemajuan dalam bidang berkesenian terutama seni lukis traditional Bali,” kata Wayan Wartayasa ditemui saat pembukaan pameran, Jumat (8/11) malam.
Wayan Wartayasa asal Desa Bona, Gianyar bersama 14 pelukis lainnya dari Ubud dan sekitarnya memprakarsai Kanti Molas. Seiring waktu anggota kelompok ini bertambah menjadi 20 sebelum melakukan pameran pertamanya di Museum Puri Lukisan pada tahun 2020 lalu.
Dua puluh pelukis yang resmi tergabung saat ini yakni Ketut Sadia, Made Sujendra (Batuan), Gusti Putu Diatmika, Wayan Mardika (Keliki), I Nyoman Suandi, Made Ariasa, Wayan Wardita, Wayan Rumantara (Payangan), Nyoman Sana, Nyoman Tapa (Baung-Sayan), Pande Wayan Brata, Pande Ketut Bawa, Made Arka, Made Awan, Nyoman Sunartha (Tegallalang), Made Sudiarta, I Kadek Suartika (Tebesaya), Wayan Murka, Dewa Sumartayadnya (Pengosekan) dan I Wayan Wartayasa (Bona).
Kata Wartayasa, tampilnya kelompok Kanti Molas, di samping untuk perenungan dan pelestarian juga sebagai ruang mendedikasikan serta membangun apresiasi keberadaan seni rupa klasik maupun tradisional di Bali. Pelestarian dalam menjaga keberlanjutan dengan kreativitas baru yang tetap berakar pada naluri kultural agraris, dan warisan teknik sigar mangsi serta sapuan habur sebagai penegas jati diri seni lukis tradisional Bali.
Pameran Kanti Molas di Santrian Art Gallery bertajuk ‘Titi Tutur Tattwa’ berlangsung 8 November-31 Desember 2024. Karya para pelukis diniatkan sebagai jembatan kebijaksanaan serat cerita epos Ramayana dan Mahabharata hingga Tantri. Tercetusnya tema merupakan pengejawantahan Tri Hita Karana dengan penuh suratan pesan keluhuran jiwa memberi petuah dan kebijaksanaan ajaran leluhur.
Ini jadi pameran kedua tahun ini atau ketiga sejak kelompok ini berdiri pada 2020. Para pelukis tradisional ini mendeklarasikan buah cipta dengan capaian estetika spontanitas dinamis kreatif berangkat dari akar tradisi.
“Dalam serat cerita Tantri, penggalan Mahabarata dan Ramayana tersurat tutur pinutur sebagai pengetahuan kehidupan sosial serta bakti kepada Tuhan, manusia dan alam semesta,” kata Wartayasa.
Kurator Pameran Dr I Ketut Muka Pendet mengakui spirit yang dibawa Kanti Molas sejalan dengan Pita Maha dalam melestarikan lukisan tradisional Bali. Seniman yang juga akademisi ISI Denpasar ini menuturkan kedua puluh perupa mencoba mengejawantahkan spirit Pita Maha melalui sudut pandang khas masing-masing sesuai dengan tema yang diangkat. “Teman-teman Kanti Molas mampu menerjemahkan Titi Tutur Tatwa,” ujar Muka Pendet.
Rektor ISI Denpasar Prof Dr Wayan ‘Kun’ Adnyana yang berkesempatan membuka pameran juga mengapresiasi kiprah kelompok Kanti Molas. Prof Kun menuturkan, selama ini dinamika dan perkembangan seni rupa tradisi Bali umumnya terfokus pada satu lokus atau wilayah cipta tertentu. Namun, kelompok Kanti Molas justru ibarat campuhan, tempat bertemunya berbagai aliran, sekaligus laboratorium kreativitas yang melahirkan aneka kemungkinan penciptaan.
Rektor Kun pun berharap Kanti Molas semakin besar dan ikut mewarnai dinamika perkembangan seni rupa di Bali. “Sebagai sebuah gerakan seni kalau ada teman-teman yang ingin bergabung jangan dikunci. Biarkan menjadi gelombang besar,” ujarnya.7ad
Komentar