Jalan Terjal Menuju Swasembada Daging
SWASEMBADA pangan telah menjadi impian Indonesia sejak lama. Pascareformasi 1998, aspirasi menjadikan negara swasembada pangan makin sering diwacanakan. Kini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, swasembada pangan kembali dicanangkan. Pemerintah sekarang menjadikan swasembada pangan sebagai program prioritas. Swasembada pangan digenjot dengan target capaian 4 - 5 tahun mendatang.
Pilihan swasembada pangan cerminan pembelaan politik negara mengisolasikan diri dari pasar pangan dunia. Swasembada pangan sering dianggap merupakan kebijakan yang menempatkan prioritas politik di atas efisiensi ekonomi. Konsep swasembada pangan secara umum diartikan sebagai sejauh mana suatu negara dapat memenuhi kebutuhan pangannya dari produksi dalam negeri sendiri. Dengan kata lain, swasembada pangan adalah kemampuan negara untuk menghasilkan pangan yang cukup tanpa perlu membeli atau mengimpor pangan tambahan. Konsekuensinya pemerintah harus mampu produksi pangan dalam negeri.
Pangan tidak hanya beras melainakn juga daging, susu, telur, dan produk hewani lainnya, termasuk ikan dan makanan laut lainnya. Konsumsi daging telah meningkat sesuai dengan ekspektasi bahwa trend ini akan terus memenuhi peningkatan permintaan protein hewani. Konsumsi daging di Indonesia diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050, didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi yang terus berlanjut dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Program swasembada pangan yang dirancang bertujuan untuk mengatasi berbagai tantangan serta mendukung ketahanan pangan nasional. Program swasembada pangan diharap dapat menyediakan pangan bergizi, dapat diakses dan selalu tersedia. Namun sejatinya, swasembada pangan tidak menjamin ketahanan pangan, meskipun kedua konsep tersebut berhubungan satu sama lain. Suatu negara dianggap aman pangan jika pangan tersedia, dapat diakses, bergizi, dan stabil ketersediaanya. Namun ketahanan pangan sebagai sebuah konsep tidak membedakan apakah pangan tersebut diimpor dari luar negeri atau dihasilkan dalam di dalam negeri sendiri.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk, perbaikan kondisi ekonomi, dipastikan permintaan daging akan meningkat dan diharuskan adanya peningkatan produksi untuk kebutuhan nutrisi. Namun, peningkatan produksi akan meningkatkan tekanan pada sumber daya untuk menyediakan sumber daya yang tidak hanya lebih banyak tetapi juga berbeda jenis makanan.
Meskipun peternakan didefinisikan sebagai pilar sistem pertanian pangan, yaitu dalam hal menyediakan daging bagi masyarakat, memberikan manfaat gizi, dan mendukung penghidupan, namum kegiatan peternakan sendiri mempunyai dampak yang signifikan terhadap kerawanan pangan, menipisnya sumber daya yang terbatas, dan lingkungan. Permasalahan ini berasal dari kegiatan peternakan itu sendiri yang memerlukan sejumlah besar masukan untuk produksi, sementara sejumlah besar masukan tersebut tidak dikonversi menjadi produk yang dapat dimakan, dan karena itu terbuang dan merusak lingkungan.
Pada saat ini, persoalan protein hewani, khususnya daging dan susu masih harus didatangkan dari luar negeri, sedangkan ayam dan telur telah dicukupi dari produksi dalam negeri. Populasi sapi potong di Indonesia dari tahun 2016 hingga 2022 menunjukkan grafik yang cenderung stagnan. Pada tahun 2016 populasi sapi potong di Indonesia sebesar 16,00 juta ekor dan terus bertumbuh secara positif hingga mencapai 17,98 juta ekor pada tahun 2021. Namun pada tahun 2022 populasi sapi potong mengalami pertumbuhan negatif sebanyak 0,73 juta ekor.
Data yang diambil dari buku Peternakan Dalam Angka 2023, pada tahun 2023, pemenuhan ketersediaan daging sapi dan kerbau dari produksi lokal di Indonesia masih mengalami defisit sebesar 374,1 ribu ton. Defisit ini disebabkan oleh lebih rendahnya produksi daging sapi dan kerbau lokal yakni sebesar 442,69 ribu ton dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi dan kerbau sebesar 816,79 ribu ton.
Sejak berdirinya negara ini, pencanangan swasembada daging selalu dilakukan, namun belum pernah ada cerita kita bisa swasembada daging. Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Pemerintah telah menegaskan kembali komitmen untuk mencapai target swasembada produksi daging pada tahun 2026. Target sawsembada daging diambil dengan langkah strategis memprioritaskan peningkatan populasi sapi peternak. Disisi lain peningkatkan populasi sapi dikhawatirkan akan berdampak negative terhadap lingkungan, menghasilkan emisi gas rumah kaca, membutuhkan lebih banyak air dan lebih banyak lahan. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan dan ketahanan pangan negara kita. Untuk mengatasi ini diperlukan produksi yng berkelanjutan dari sumber yang ada.
Bilamana pertumbuhan populasi sapi dan kerbau tetap stagnan, tampaknya sekarangpun keiinginan untuk swasembada daging masih harus melewati jalan terjal. Mengingat animo masyarakat beternak mulai menurun, luas lahan juga makin menyempit, dan ada angapan beternak kurang menguntungkan. Akibatnya makin tahun populasi ternak sapi makin menurun. Meskipun demikian masih ada harapan untuk meningkatkan minat peternak dalam meningkatkan populasi karena hewan ternak sangat penting untuk sistem pertanian berkelanjutan dan terutama bagi peternak kecil. Disamping itu, pentingnya produksi peternakan dalam perekonomian lokal, dimana masyarakat pedesaan sangat bergantung pada pekerjaan yang dihasilkan dari peternakan tersebut. Sektor peternakan juga sangat strategis dalam menyelaraskan pembangunan daerah pedesaan.
Hewan ternak berkontribusi tidak hanya sumber pangan bermutu tinggi yang meningkatkan status gizi namun juga sumber daya tambahan seperti pupuk kandang untuk pupuk, biogas, sebagai tambahan memberikan diversifikasi ekonomi. Apalagi peningkatan efisiensi dalam beberapa dekade terakhir melalui seleksi genetik dan peningkatan teknologi pengelolaan telah menghemat banyak sumber daya, termasuk air dan lahan, dan telah secara signifikan mengurangi jejak karbon produksi hewan.
Karena itu perlu menghadirkan solusi sistemik untuk swasembada daging berkelanjutan. Dalam pengembangan peternakan perlu suatu sistem untuk mengupayakan menghilangkan limbah dan polusi, pertahankan produksi dan bahan yang digunakan dapat dibuat ulang secara alami. Apalagi limbah dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak, biomassa yang tidak dapat dimakan manusia dapat diubah menjadi pupuk kandang, ini mengarah pada peningkatan jasa terhadap ekosistem dan berkurangnya tekanan terhadap lahan. Pengurangan limbah dan pemulihan kehilangan pangan melalui pemanfaatan produk sampingan telah lama menjadi komponen dari rantai pasokan pakan ternak dan makanan hewan. Inilah yang dimaksud pendekatan sistem sirkularitas pangan yang berpusat pada hal menghindari tekanan terhadap lahan dan menggunakan kembali aliran limbah dan produk sampingan.
Pendekatan Sirkularitas dalam bidang peternakan ini memiliki peran utama dalam mendorong keberlanjutan dan ketahanan sistem pangan. Prinsip sirkularitas dalam peternakan dapat menawarkan banyak peluang bagi pertanian secara umum, dan produksi peternakan pada khususnya, agar sumber daya menjadi lebih efisien. Namun, pendekatan ini harus disadari ada tantangan dalam penerapannya yaitu membentuk kesediaan peternak untuk mengadopsi praktik sirkularitas dalam produksi peternakan. Selain itu permasalahan teknologi yang harus dipecahkan, ada edukasi pada peternak yang fokus untuk meningkatkan populasi dan mengatasi hambatan psikologis terkait issu beternak pasti tidak menguntungkan. Juga terkait dengan biaya produksi, investasi, dan biaya operasional harus menjadi perhatian pemerintah.
Memberikan dukungan untuk memitigasi hambatan untuk beternak merupakan hal mendasar dalam meningkatkan keberlanjutan swasembada daging nasional. Pendekatan komprehensif memerlukan kebijakan khusus untuk mendorong praktik sirkularitas, memberikan dukungan bagi inisiatif praktik sirkularitas , dan membina kolaborasi antar pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai. Oleh : Prof.Dr.Drh. I Ketut Puja,M.Kes (guru besar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar)
1
Komentar