Piduh Charity Cafe Berdayakan 9 Pekerja Berkebutuhan Khusus
GIANYAR, NusaBali - Piduh Charity Cafe di Jalan Yeh Pulu, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar memberdayakan 9 pekerja berkebutuhan khusus. Perlu perjuangan luar biasa memberdayakan pekerja berkebutuhan khusus ini.
Ada yang mengalami down syndrom, autis, cacat fisik, dan keterbelakangan mental. Sebelum bisa menggoreng ayam crispy, mereka pernah membuyarkan wajan berisi minyak panas di atas kompor. Awal training membuat jus buah, blender yang belum ditutup sempurna sudah dipencet sehingga menjadi kacau.
Sikap mereka saat belajar sangat tergantung mood. Kendala lainnya, mereka sama sekali tidak bisa baca tulis. Kini mereka sudah layak disebut pekerja. Dua di antaranya berhasil ditraining sebagai chef yakni Dela, 21, dan Werdi, 24. Keduanya sudah bisa memasak telur dadar, ayam crispy beserta sausnya, sayur, dan aneka menu lainnya. Sementara staff lainnya ada yang spesialis menerima pesanan, menyiapkan pesanan, membawakan hingga membersihkan meja saat pengunjung sudah selesai menikmati hidangan.
Soal rasa, dijamin sesuai standar restoran. Made Santi penyandang cacat fisik yang spesial menyiapkan bahan dan bumbu sebelum dimasak oleh Dela dan Werdi. “Kami ada Made Santi yang tiap pagi menyiapkan resep, takarannya tetap,” ujar Manajer Piduh Charity Cafe, Ni Kadek Suartini, 25, Senin (11/11) siang. Biasanya orang yang datang sudah pasti orang yang peduli. Andaikan ada salah bawa makanan, dianggap fun saja.
Karena pengunjung mengerti dilayani oleh pekerja berkebutuhan khusus. Cafe ini buka setiap hari Senin sampai Jumat mulai pukul 10.00 Wita-15.00 Wita. Pengunjung dominan dari relawan tetap yang mengajar 43 anak-anak berkebutuhan khusus di Yayasan Widya Guna Bali. “Relawan makan siang tiap hari di sini,” ujar Suartini yang akrab disapa Kacu oleh staffnya.
Masyarakat umum juga ada yang datang ke restoran. Jika ingin makan siang di cafe ini sebaiknya melakukan reservasi dalu. “Pengunjung luar kadang dari grup booking 15-20 orang, pernah ada booking sekolah internasional 40 orang,” ungkap Suartini. Staff cafe ini usianya mulai 20 tahun sampai 35 tahun. Sebelumnya, mereka adalah anak didik Yayasan Widya Guna Bali. Sebelum mahir memasak, mereka ditraining sejak tahun 2020.
Cafe ini resmi buka sejak tahun 2022. “Kendalanya, pas awal paling susah mengendalikan mood mereka. Tidak ada motivasi, sehingga kami gali terlebih dahulu apa maunya mereka. Ternyata mereka sama seperti orang pada umumnya, senang kerja dapat gaji, mereka senang bisa melihat sesama temannya di sini. Akhirnya mereka bisa berkembang,” ujar lulusan Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris ini.
Gadis asal Banjar Gua ini bahkan mengaku sempat stres awal-awal mengajarkan mereka memasak. Belum lagi setiba di rumah, Suartini kembali diganggu oleh beberapa staffnya untuk sekadar video call. “Sehari itu bisa 10 kali diajak video call, tapi karena ini pekerjaan spesial, saya kasihan melihat mereka.
Saya jadi menikmati dan ternyata mereka bisa mendengarkan instruksi saya,” ujarnya. Untuk gaji yang dikantongi pekerja berkebutuhan khusus ini sesuai tingkat kunjungan. Rata-rata setiap bulannya mendapatkan Rp 1,8 juta-Rp 2 juta. Nominal ini memang jauh dari UMR, namun sudah sangat luar biasa daripada mereka tidak berdaya di rumah masing-masing. Mereka punya potensi untuk bekerja di tempat lain dengan skil yang sudah dikuasai.
Di balik pemberdayaan pekerja berkebutuhan khusus ini ada sosok Ni Nyoman Sri Wahyuni, 42, owner sekaligus pendiri Piduh Charity Cafe yang juga pemilik Yayasan Widya Guna Bali. Wahyuni berproses tanpa sengaja di tahun 2005. Ketika dirinya bersama suami, I Ketut Sadia, terpanggil untuk membantu 3 anak yatim piatu dan kurang mampu. Tiga tahun kemudian, datang orang tua membawa anak down syndrom. “Mulai awalnya di rumah sendiri. Karena jumlah anak semakin banyak, pindah ke sini. Dulu ini sawah, kami bangun dengan donasi dari para donatur sedikit demi sedikit,” jelasnya.
Dari 3 anak tersebut, kini yayasan mengasuh 43 anak berkebutuhan khusus. Anak-anak diasuh dari masih kanak-kanak hingga beranjak dewasa. Untuk anak usia 20 tahun, Wahyuni mulai berpikir bagaimana cara mereka agar berdaya. Jika tidak diberdayakan, akan sama saja kondisinya. “Beberapa anak ada yang usianya 20 tahun. Kami harus menamatkan mereka. Kami diskusi dengan orang tuanya, ternyata tidak adaa kegiatan di rumahnya. Kami cari cara memberdayakan merfeka,” jelasnya.
Saat pandemi Covid-19, Wahyuni mencoba memberikan training pada penyandang disabilitas usia 20 tahun ke atas. “Mereka tidak bisa baca tulis, kami gunakan instruksi gambar. Setelah pandemi, kami buka cafe ini dan mereka kerja di sini,” jelasnya. Wahyuni berharap, setiap siswanya yang tamat bisa langsung bekerja. Dia juga bercita-cita membuat semakin banyak cafe serupa di beberapa tempat. “Jadi akan semakin banyak ruang bagi orang berkebutuhan khusus bisa kerja,” ujar Wahyuni. 7 nvi
Komentar