Fodor’s: Bali Masuk Daftar 15 Destinasi Wisata untuk Tidak Dikunjungi 2025
No List
Pariwisata
Fodors
Sampah Plastik
Alih Fungsi Lahan
Subak
Berkelanjutan
Sustainable Tourism
Destinasi Wisata
Overtourism
Guidebook
Buku Panduan
Wisata
DENPASAR, NusaBali.com - Fodor’s, penerbit buku panduan perjalanan wisata terkemuka dunia menempatkan Bali sebagai salah satu ‘No List 2025’ atau destinasi wisata untuk tidak dikunjungi tahun depan.
Fodor’s Travel merilis 15 destinasi di seluruh dunia yang dianggap ‘kurang ramah’ wisatawan diakibatkan berbagai faktor. Di antara daftar yang dirilis, Rabu (13/11/2024), Bali diulas pertama kali dalam analisis No List 2025.
Sebelumnya, Bali sempat masuk daftar Fodor’s No List 2020 dan kini kembali lagi. Apa penyebabnya? Ulasan yang diungkap penerbit yang bermarkas di California, AS ini menyoroti masalah pariwisata yang dirasakan hampir semua warga dan pelaku pariwisata Pulau Dewata.
Faktor penyebab Bali kurang layak dikunjungi wisatawan dunia yang dirinci Fodor’s adalah masalah sampah plastik, pencemaran ekosistem, dan pengembangan pariwisata tanpa perencanaan jangka panjang. Hal ini akhirnya merusak kebudayaan setempat, lingkungan, dan industri pariwisata itu sendiri.
“Pembangunan yang laju dan tidak terkendali didorong oleh overturisme menggerogoti lingkungan Bali, mengikis warisan budaya dan alam, serta menciptakan ‘plastic apocalypse’ (kiamat plastik),” tulis Fodor’s, dikutip NusaBali.com di Denpasar, Rabu (20/11/2024).
Pariwisata Bali dinilai pada situasi ironis sebab perekonomian Pulau Dewata bergantung pada pariwisata. Sedangkan, pariwisata Bali bergantung pada kelestarian lingkungan yang kini sedang digerogoti pembangunan pariwisata itu sendiri.
Fodor's tidak menafikan bahwa Bali adalah destinasi wisata dunia yang populer. Pasca pandemi Covid-19, kedatangan wisatawan ke Pulau Dewata semakin masif dan kini malah melebihi sebelum pandemi yakni 4,7 juta wisatawan mancanegara sampai September ini, menurut BPS Provinsi Bali.
Kedatangan turis yang masif ini di satu sisi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, menambah beban Pulau Dewata dan ini terjadi tepat setelah pandemi di mana infrastruktur belum sepenuhnya siap.
“Pantai yang dulunya asri seperti Kuta dan Seminyak kini terkubur tumpukan sampah, dengan sistem pengelolaan sampah setempat yang susah payah meladeni,” jelas Fodor’s.
Karena ketidaksiapan sistem pengelolaan sampah ini, tidak semua sampah yang diproduksi setiap harinya dapat terkelola. Sampah yang tidak terkelola itu, terutama sampah plastik, akhirnya mencemari bukan saja pantai, tetapi juga laut, sungai, dan mengancam kelangsungan ekosistem.
Fodor’s juga mengutip testimoni pendiri Sungai Watch Gary Bencheghib yang menggambarkan situasi pencemaran ekosistem karena sampah plastik ini sebagai ‘plastic apocalypse’ alias kiamat plastik.
Masalah yang dihadapi pariwisata Bali ini tidak terlepas dari lemahnya perencanaan pembangunan pariwisata jangka panjang. Masalah yang terjadi sekarang ini dipicu orientasi keuntungan pariwisata jangka pendek yakni pertumbuhan ekonomi saja tanpa melihat aspek keberlanjutannya.
Itulah mengapa, subak yang merupakan warisan budaya dan menjadi daya tarik malah terimpit pengembangan akomodasi pariwisata. Unesco memprediksi subak terancam punah tahun 2050 jika situasi ini masih bertahan. Ketika subak punah, Bali tidak hanya kehilangan keindahannya tetapi juga identitas budaya.
Fodor’s mengutip pendapat Marta Solingo, asisten profesor di William F Harrah College of Hospitality, University of Nevada, Las Vegas. Marta menuturkan, overturisme telah membawa masalah serius ke Bali seperti polusi, kebisingan, kemacetan, dan mempengaruhi biaya hidup di daerah pariwisata.
“Overturisme bisa memicu konflik antara wisatawan dan penduduk lokal karena pendatang yang tidak menghormati masyarakat setempat yang sumpek dengan kepadatan (aktivitas pariwisata),” ungkap Marta dikutip Fodor’s, penerbit dengan 80 tahun pengalaman ini.
Sementara itu, masalah yang cukup serupa juga dialami destinasi lain di Fodor’s No List 2025, khususnya Koh Samui, Thailand. Selain itu, belasan destinasi wisata dari berbagai belahan dunia juga masuk ke daftar ini dikarenakan faktor permasalahan pariwisatanya masing-masing.
Namun, Fodor’s menegaskan bahwa No List tidak untuk mengajak wisatawan memboikot destinasi wisata yang masuk ke dalam daftar. No List bertujuan menyoroti permasalahan destinasi wisata yang harus segera ditangani sehingga destinasi ini bisa bertahan dan berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.
Berikut daftar lengkap Fodor’s No List 2025. Urutan daftar ini tidak menentukan kondisi pariwisata dari suatu destinasi itu lebih buruk atau lebih baik karena Fodor’s sendiri tidak merilis daftar No List ini sebagai ranking.
Sebelumnya, Bali sempat masuk daftar Fodor’s No List 2020 dan kini kembali lagi. Apa penyebabnya? Ulasan yang diungkap penerbit yang bermarkas di California, AS ini menyoroti masalah pariwisata yang dirasakan hampir semua warga dan pelaku pariwisata Pulau Dewata.
Faktor penyebab Bali kurang layak dikunjungi wisatawan dunia yang dirinci Fodor’s adalah masalah sampah plastik, pencemaran ekosistem, dan pengembangan pariwisata tanpa perencanaan jangka panjang. Hal ini akhirnya merusak kebudayaan setempat, lingkungan, dan industri pariwisata itu sendiri.
“Pembangunan yang laju dan tidak terkendali didorong oleh overturisme menggerogoti lingkungan Bali, mengikis warisan budaya dan alam, serta menciptakan ‘plastic apocalypse’ (kiamat plastik),” tulis Fodor’s, dikutip NusaBali.com di Denpasar, Rabu (20/11/2024).
Pariwisata Bali dinilai pada situasi ironis sebab perekonomian Pulau Dewata bergantung pada pariwisata. Sedangkan, pariwisata Bali bergantung pada kelestarian lingkungan yang kini sedang digerogoti pembangunan pariwisata itu sendiri.
Fodor's tidak menafikan bahwa Bali adalah destinasi wisata dunia yang populer. Pasca pandemi Covid-19, kedatangan wisatawan ke Pulau Dewata semakin masif dan kini malah melebihi sebelum pandemi yakni 4,7 juta wisatawan mancanegara sampai September ini, menurut BPS Provinsi Bali.
Kedatangan turis yang masif ini di satu sisi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, menambah beban Pulau Dewata dan ini terjadi tepat setelah pandemi di mana infrastruktur belum sepenuhnya siap.
“Pantai yang dulunya asri seperti Kuta dan Seminyak kini terkubur tumpukan sampah, dengan sistem pengelolaan sampah setempat yang susah payah meladeni,” jelas Fodor’s.
Karena ketidaksiapan sistem pengelolaan sampah ini, tidak semua sampah yang diproduksi setiap harinya dapat terkelola. Sampah yang tidak terkelola itu, terutama sampah plastik, akhirnya mencemari bukan saja pantai, tetapi juga laut, sungai, dan mengancam kelangsungan ekosistem.
Fodor’s juga mengutip testimoni pendiri Sungai Watch Gary Bencheghib yang menggambarkan situasi pencemaran ekosistem karena sampah plastik ini sebagai ‘plastic apocalypse’ alias kiamat plastik.
Masalah yang dihadapi pariwisata Bali ini tidak terlepas dari lemahnya perencanaan pembangunan pariwisata jangka panjang. Masalah yang terjadi sekarang ini dipicu orientasi keuntungan pariwisata jangka pendek yakni pertumbuhan ekonomi saja tanpa melihat aspek keberlanjutannya.
Itulah mengapa, subak yang merupakan warisan budaya dan menjadi daya tarik malah terimpit pengembangan akomodasi pariwisata. Unesco memprediksi subak terancam punah tahun 2050 jika situasi ini masih bertahan. Ketika subak punah, Bali tidak hanya kehilangan keindahannya tetapi juga identitas budaya.
Fodor’s mengutip pendapat Marta Solingo, asisten profesor di William F Harrah College of Hospitality, University of Nevada, Las Vegas. Marta menuturkan, overturisme telah membawa masalah serius ke Bali seperti polusi, kebisingan, kemacetan, dan mempengaruhi biaya hidup di daerah pariwisata.
“Overturisme bisa memicu konflik antara wisatawan dan penduduk lokal karena pendatang yang tidak menghormati masyarakat setempat yang sumpek dengan kepadatan (aktivitas pariwisata),” ungkap Marta dikutip Fodor’s, penerbit dengan 80 tahun pengalaman ini.
Sementara itu, masalah yang cukup serupa juga dialami destinasi lain di Fodor’s No List 2025, khususnya Koh Samui, Thailand. Selain itu, belasan destinasi wisata dari berbagai belahan dunia juga masuk ke daftar ini dikarenakan faktor permasalahan pariwisatanya masing-masing.
Namun, Fodor’s menegaskan bahwa No List tidak untuk mengajak wisatawan memboikot destinasi wisata yang masuk ke dalam daftar. No List bertujuan menyoroti permasalahan destinasi wisata yang harus segera ditangani sehingga destinasi ini bisa bertahan dan berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.
Berikut daftar lengkap Fodor’s No List 2025. Urutan daftar ini tidak menentukan kondisi pariwisata dari suatu destinasi itu lebih buruk atau lebih baik karena Fodor’s sendiri tidak merilis daftar No List ini sebagai ranking.
- - Bali, Indonesia
- - Barcelona, Spanyol
- - Kepulauan Kanaria, Spanyol
- - Mallorca, Spanyol
- - Venesia, Italia
- - Lisbon, Portugal
- - Koh Samui, Thailand
- - Gunung Everest
- - Agrigento, Sisilia, Italia
- - Kepulauan Virgin, Britania Raya
- - Kerala, India
- - Kyoto, Jepang
- - Tokyo, Jepang
- - Oaxaca, Meksiko
- - North Coast 500, Skotlandia *rat
Komentar