MUTIARA WEDA: Dari Jagadhita menuju Moksa
Sarvadharmān parityajya mām ekaṁ śaraṇam vraja, Aham tvām sarvapāpebhyo mokṣayiṣyāmi mā śucah. (Bhagavad Gita, 18. 66)
Letakkan semua bentuk dharma dan serahkan dirimu hanya kepada-Ku. Aku akan membebaskanmu dari segala dosa; janganlah bersedih.
NGUSABA di Puseh Desa Adat Kesimpar Abang Karangasem berlangsung pada Purnama Kalima. Saya sempat ngayah, ngiring Ida Sasuhunan ke Beji. Para pengiring pada antusias, meskipun sebagian besar kaki mereka masih sakit akibat kemarinnya seharian ikut melasti ke segara Amed. Sambil ‘nyongsong Ida Bhatara’ saya tanya kerabat di sebelah yang lagi ‘ngabih’, “Kita antusias pulang kampung dari Denpasar untuk ngiring Ida Bhatara, tujuannya apa sebenarnya?” Saudara menjawab; “Kok bego, udah pasti agar kita diberkati, diberikan kekuatan, kesehatan, murah rezeki, tidak kurang sandang papan. Kita bisa hidup di rantau kan karena pasuecan Beliau,” tegasnya.
Saya terdiam, tertegun meresapi pernyataan itu. Ini adalah ultimate wisdom yang masyarakat pahami. Semangat mereka ngaturang ayah, mabhakti, ngaturang banten, adalah karena Beliau Maha Pengasih dan Pemurah. Setelah sedemikian rezeki yang bisa dikumpulkan, saatnya kita mengucap syukur, rasa terima kasih, seraya tetap memohon agar rezeki terus bertambah lancar, tidak terkena bencana, dan selalu dianugerahi kesehatan. Power inilah yang menyebabkan tradisi keberagamaan kita tetap bertahan sejak ribuan tahun lalu. Peradaban manusia berutang besar pada power ini.
Namun, keagungan itu rantainya tidak sampai di sana. Inti dari semua itu adalah pembebasan, terbebas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan sejati, sejahtera abadi, well-being. Mengapa mereka memohon keselamatan? Karena bencana menjauhkan mereka dari well-being. Mengapa mereka memohon rezeki? Karena kemiskinan membuat mereka menderita. Mengapa mereka memohon kesehatan? Karena sakit, rasa bahagia itu tak tersentuh. Secara umum orang masih mengalami itu, kemiskinan, bencana, dan kesehatan yang tidak menentu. Mereka melihat, kebahagiaan akan ada jika hal itu bisa diatasi.
Jika kemudian mereka menjadi kaya, senantiasa terhindar dari bencana, dan kesehatan terjamin, masih juga merasa tidak bahagia, ada sesuatu yang miss, yang ternyata tidak bisa ditemukan pada kekayaan, kesehatan, dan ketiadaan bencana, maka pencarian mereka mengambil jalan lain. Kesemarakan memuja Tuhan dalam konteks permohonan tersebut tidak lagi memiliki akar. Mereka mulai mencoba menemukan jalan lain, yang kiranya mampu mengantar pada yang ultimate. Banyak dari mereka yang telah menempuh jalan ini menyebutnya dengan jalan sunyi, jalur spiritual, sadhana, yoga, dan yang lainnya.
Jika pintu dari jalur spiritual telah terbuka, jalan sunyi mulai tampak, maka teks di atas baru memiliki makna. Jalan yang ditunjukkan Krishna adalah reverse, jalur berbalik. Pada saat kita miskin, kita menengadahkan tangan kepada Beliau, namun pada jalur Krishna ini, kita mesti menjulurkan tangan, memberi semua yang telah ada, menyerahkan apapun yang tersisa. Bahkan identitas diri kita pun harus diserahkan. Hanya dengan demikian, kebahagiaan abadi itu bisa diraih. Teks di atas menyatakan, ‘serahkan dirimu hanya kepada-Ku’. Artinya apa? Kita harus mampu menyerahkan semuanya, kekayaan, tubuh, dan semua identitas yang melekat. Hanya dengan itu kita mencapai pembebasan. Apakah setelah itu Tuhan baru membebaskan?
Dalam konteks bhakti, dikatakan bahwa Tuhan akan menganugerahkan penuh kepada kita jika kita mampu berserah sepenuhnya. Namun, ada interpretasi lain, bahwa penyerahan diri total itulah kelepasan. Berserah sepenuhnya adalah infinite itu sendiri. Penyerahan diri secara total itulah Tuhan itu sendiri. Namun, yang manapun interpretasinya, rasa yang ditemukan di dalamnya adalah rasa yang sama. Keduanya hadir dari upaya keras kita. Dalam konteks bhakti, upaya keras kitalah yang mendekatkan anugerah Tuhan. Dalam konteks Jnana, upaya keras itulah yang menjadikan diri kita mencapai yang ultimate. Rasa yang ada di dalamnya sama, rasa keterbebasan dari belenggu. Rasa inilah final dari semua rasa. Rasa yang melampaui pikiran, rasa yang tidak dapat dirasakan pikiran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahap awal, orang berupaya membebaskan diri dari derita material (jagadhita). Namun, ketika mereka menemukan bahwa well-being jenis ini justru menjadi pijakan awal, maka perjalanan baru dimulai menuju pembebasan sejati (moksa). 7
Komentar