Saat ‘Omon-omon’ Diabaikan, Bali Kehilangan Jiwanya
‘OMON-OMON’ adalah tradisi musyawarah yang sudah lama berkembang dalam masyarakat Bali, khususnya di tingkat desa adat.
Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal, seperti gotong royong, keterbukaan, musyawarah mufakat, dan partisipasi aktif masyarakat dalam memutuskan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Tradisi ‘omon-omon’ berakar dari budaya agraris masyarakat Bali yang hidup bergotong royong dalam komunitas subak.
‘Omon-omon’ kemudian berkembang di desa adat sebagai mekanisme penyelesaian masalah, mulai dari konflik kecil, pengelolaan sumber daya alam, hingga perencanaan kegiatan adat dan agama. Hal ini menjadi bagian integral dari sistem sosial Bali yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana, yakni keharmonisan hubungan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan. Tradisi ini mempererat solidaritas dan persatuan masyarakat karena setiap orang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi. ‘Omon-omon’ sering digunakan sebagai cara menyelesaikan konflik secara damai, baik antarindividu maupun antarkelompok. Keputusan yang dihasilkan melalui ‘omon-omon’ mencerminkan aspirasi bersama, sehingga lebih diterima oleh seluruh anggota masyarakat. ‘Omon-omon’ menjadi sarana untuk menjaga adat dan tradisi lokal agar tetap relevan di tengah perubahan zaman. Melalui diskusi ini, masyarakat belajar untuk menyampaikan pendapat, menghormati pandangan orang lain, dan berpikir kritis.
Dalam subak, ‘omon-omon’ dilakukan untuk menentukan jadwal pembagian air irigasi, menyelesaikan sengketa lahan, atau menetapkan aturan dalam menjaga saluran irigasi. ‘Omon-omon’ sering dilakukan untuk membahas persiapan upacara besar di pura, seperti ngaben massal. ‘Omon-omon’ di desa adat digunakan untuk memutuskan pembangunan infrastruktur, seperti balai banjar, wantilan, atau fasilitas publik lainnya. Misalnya, konflik tentang batas wilayah desa atau perselisihan antarwarga sering diselesaikan melalui ‘omon-omon’ di balai banjar. Tradisi ‘omon-omon’ merupakan cerminan kearifan lokal yang masih relevan di era modern, terutama dalam mendorong masyarakat untuk menyelesaikan masalah secara kolektif dan harmonis.
Ketika tradisi ‘omon-omon’ ditinggalkan oleh masyarakat di era digital, berbagai efek negatif dapat muncul, terutama terkait hubungan sosial, budaya, dan keberlanjutan sistem adat yang telah teruji waktu. ‘Omon-omon’, sebagai wadah musyawarah, menjadi sarana membangun kebersamaan dan solidaritas. Generasi digital mungkin lebih mengandalkan teknologi dan media sosial untuk komunikasi, sehingga adat istiadat seperti ‘omon-omon’ tidak lagi relevan dalam kehidupan mereka. ‘Omon-omon’ adalah mekanisme penyelesaian konflik yang damai. Tanpa tradisi ini, masyarakat mungkin beralih ke cara penyelesaian yang lebih formal, seperti hukum modern, yang bisa memakan biaya dan waktu lebih banyak serta berpotensi menciptakan polarisasi.
Desa adat di Bali sangat bergantung pada tradisi musyawarah untuk menjalankan berbagai aktivitas. Jika ‘omon-omon’ ditinggalkan, fungsi-fungsi ini bisa terganggu, dan desa adat kehilangan kekuatannya sebagai pusat kehidupan masyarakat. Dalam pembangunan fasilitas umum, keputusan mungkin hanya melibatkan elite desa, sementara masyarakat luas merasa tidak terwakili. Tradisi ‘omon-omon’ erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, seperti subak. Jika ini ditinggalkan, pemahaman lokal tentang ekologi juga melemah. Pengambilan keputusan sepihak tentang penggunaan air irigasi dapat menyebabkan kerusakan ekosistem atau ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Ketika masyarakat digital meninggalkan tradisi ‘omon-omon’, dampaknya bukan hanya pada hilangnya budaya, tetapi juga pada keharmonisan sosial, pengelolaan lingkungan, dan keberlanjutan adat yang menjadi inti kehidupan masyarakat Bali. Oleh karena itu, penting untuk mengadaptasi tradisi ini agar tetap relevan di era digital, misalnya dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat pelengkap, bukan pengganti, dalam melestarikan nilai-nilai ‘omon-omon’. 7
Komentar