nusabali

Smart Agriculture Solusi Pertanian Bali

  • www.nusabali.com-smart-agriculture-solusi-pertanian-bali

Bagi petani Bali status subak sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO bagai menara gading yang sulit dikenali dibanding minimnya keuntungan menjual gabah setiap kali panen. Kondisi petani Bali pun secara umum masih jauh dari kata sejahtera.

MANGUPURA, NusaBali 
Isu pertanian menjadi salah satu bahasan hangat dalam debat publik ketiga Pilgub Bali 2024 di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), kawasan The Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung, Rabu (20/11). Keduanya sepakat Bali perlu mengembangkan smart agriculture (pertanian berbasis teknologi digital) untuk merespons semakin sempitnya lahan pertanian di Pulau Dewata. 
 
Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 1 Made Muliawan Arya - I Putu Agus Suradnyana (Mulia-PAS) menyampaikan smart agriculture dan smart farming adalah sebuah terobosan untuk mengatasi lahan pertanian Bali yang semakin sempit. Teknologi pertanian bisa menaikkan produktivitas, efisiensi, dan keberlangsungan pertanian. 
 
Muliawan Arya atau De Gadjah mengatakan akan melanjutkan program pertanian Simantri yang digagas mantan Gubernur Made Mangku Pastika dengan melibatkan teknologi IoT (internet of things). 
 
Agus Suradnyana (PAS) menambahkan  pemerintah perlu memiliki big data untuk mengembangkan smart agriculture di Bali. Data mengenai kelembaban tanah, bibit unggul, dan seluruh data pertanian yang selalu diperbarui setiap lima tahun.
 
Data ini dapat dipakai untuk mengembangkan program-program seperti pembangunan green house, pertanian berbasis IoT, sehingga bisa menjadi harapan petani untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing. 
 
“Ke depan bisa kita pakai untuk membuat tanaman-tanaman yang bisa kita suplai sepanjang waktu dengan program green house dan berbasis IoT,” ujarnya. 
 
Di sisi lain, paslon nomor urut 2 Wayan Koster-I Nyoman Giri Prasta (Koster-Giri) juga mengakui, masih terbatasnya adopsi teknologi untuk pertanian modern di Bali. Untuk itu pasangan ini akan mengembangkan sistem pertanian modern atau smart agriculture jika terpilih memimpin Bali. 
 
Keduanya juga berjanji memberikan akses dan pelatihan penggunaan teknologi digital, memperbanyak komunitas petani muda keren untuk berbagai informasi pengalaman dan keberhasilan, memberikan intensif kepada petani yang menerapkan smart agriculture, 
memberikan beasiswa kepada gen z dan milenial yang mengikuti pendidikan smart agriculture di luar negeri.
 
“Bali memiliki lahan kering yang banyak yang tidak produktif Itulah sebabnya menjadi sangat urgent dikembangkan pertanian smart agriculture,” kata Koster.  
 
Penerapan smart agriculture memang sangat menjanjikan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Praktisi pertanian dari generasi milenial, Anak Agung Gede Agung Wedhatama, menekankan pentingnya peranan teknologi 4.0 (smart technology) dalam mengembangkan pertanian di Bali tanpa mengesampingkan keberlanjutan lingkungan (smart culture). Melalui gerakan 'Petani Muda Keren' Agung Wedhatama membuktikan jika sektor pertanian merupakan bidang yang masih 'seksi' untuk digeluti kaum milenial di Bali. 
 
Mengadopsi penggunaan teknologi IoT (Internet of Things), Agung Wedhatama menunjukkan kalau produksi pertanian yang dihasilkan petani bisa lebih optimal, meskipun pada lahan yang tidak begitu luas. 
 
Dia mencontohkan pada proyek smart farming yang dilakukannya pada lahan hanya seluas 10 are mampu memproduksi berjenis sayuran. Antara lain, brokoli, kubis, cabai, tomat, dan sawi putih yang menghasilkan omzet penjualan mencapai Rp 200 juta. "Penggunaan teknologi itu wajib, mulai pada sektor hulu sampai hilir," ujar Agung Wedhatama. 
 
Kesejahteraan para petani menjadi salah satu faktor penting untuk mempertahankan pertanian di Bali. Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 yang juga Ketua PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) Bali Prof Dr Ir Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati MSi (Cok Ace) mengungkapkan, pendapatan menjadi petani di Bali cukup memprihatinkan. Apalagi petani di Bali kebanyakan gurem dengan luas lahan kurang dari satu hektare. 
 
Menurutnya, petani padi dengan luas lahan garapan 30 are hanya mampu menghasilkan rata-rata keuntungan Rp 1,5 juta per bulan. Tak heran para petani tergiur untuk menjual tanahnya karena pendapatan dari bertani tidak seberapa. “Pertanian kita sesungguhnya ada di persimpangan jalan, apakah mau menjual atau bertani,” ujarnya. 
 
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali Prof I Gede Sedana khawatir eksistensi pertanian di Bali dengan budaya subaknya tidak lama lagi punah. Penelitiannya mengungkap tiga subak di Kota Denpasar diprediksi punah dalam lima tahun. 
 
“Ke depan Subak ini nyaris-nyaris punah,” ujarnya. 
 
Menurut Prof Sedana, bagi petani Bali status subak sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO bagai menara gading yang sulit dikenali dibanding minimnya keuntungan menjual gabah setiap kali panen. Kondisi petani Bali pun secara umum masih jauh dari kata sejahtera. 
 
Prof Sedana mengapresiasi apa yang dilakukan komunitas Petani Muda Keren dalam mengembangkan pertanian pintar berbasis IoT. Namun, sejauh ini pertanian yang dikembangkan masih komoditas hortikultura. Menurut Prof Sedana, meskipun di Bali juga dikenal istilah Subak Abian (pertanian lahan kering), tapi sudah jelas Subak yang menjadi identitas Bali adalah Subak lahan basah yang mengandalkan padi sebagai tanaman utamanya. 
 
“Subak itu adalah sistem pengairan, jadi harus ada air, ada padi,” ucap Rektor Universitas Dwijendra ini. 
 
Karena itu Prof Sedana tetap mendorong upaya pemberdayaan petani lahan basah (padi) di Bali. Menurutnya, peran subak sebagai organisasi petani harus dikuatkan untuk meningkatkan daya tawar petani Bali. Subak sebagai organisasi petani harus dapat meningkatkan daya tawar petani ketika melakukan transaksi dengan para saudagar gabah. “Kalau selama ini petani kita tidak berani memberi harga, harga ditentukan pembeli,” ujar Prof Sedana.7ad

Komentar