Cita-cita Orang Bali
SETIAP orang pasti punya cita-cita karena semua orang tentu punya hasrat. Sejak kecil cita-cita itu diasah, ditanyakan berulang-ulang oleh orang-orang terdekat kita.
Siapa pun yang diberi kehidupan, tentu ia punya keinginan karena rugi hidup jika tidak punya hasrat atau niat. Keinginan itu sebuah keharusan, bahkan menjadi kewajiban. Lebih baik mati saja jika hidup tanpa keinginan. Seseorang yang punya banyak keinginan, itu pertanda hidupnya meriah dan berpendar-pendar.
Keinginan yang bertimbun perlahan-lahan mengeras menjadi hasrat yang sangat besar. Keinginan memuncak ini disebut ambisi. Jika orang ingin maju ia harus punya ambisi. Ambisi ini bisa diartikan sebagai keinginan yang terus menerus, hidup sepanjang waktu. Tapi, jika ambisi ini terlalu besar melampaui kemampuan, orang tersebut bisa dicap ambisius. Kalau sudah ambisius, biasanya seseorang akan menempuh segala cara untuk mencapai cita-cita. Ini sangat terasa dalam dunia politik yang sering disebut-sebut menghalalkan segala cara untuk menggapai keinginan.
Siapa pun yang sudah bisa berpikir dan punya hati, pasti ditanya tentang cita-cita. Pertanyaan itu mulai dilontarkan sejak masa kecil, ketika duduk di bangku taman kanak-kanak. Anak-anak itu hampir semua menjawab, “Kalau sudah besar saya ingin jadi dokter.”
Mereka berpikir jadi dokter itu hebat, bekerja dengan keluhuran budi, kaya, sehingga cita-cita jadi dokter berkecamuk dalam pikiran anak-anak dan mendekam dalam hati. Entah mengapa, anak-anak yang ingin jadi orang kaya itu tak bercita-cita jadi pedagang saja.
Karena cita-cita selalu ada dalam pikiran dan hati, setiap orang yang berpikir dan punya hati nurani pasti punya cita-cita. Jika ada orang mengaku tak punya cita-cita, pasti ditertawakan oleh orang yang mendengar jawaban itu. “Jangan ngomong tak punya cita-cita dong! Katakan belum punya, gitu!” komentar orang-orang. Sebab, seperti juga keinginan, cita-cita itu sebuah keharusan dan kewajiban.
Konon, makin banyak orang punya keinginan, kian tinggi cita-citanya, semakin panjang umur pula orang itu. Buku suci menulis, cita-cita dengan manusia ibarat layang-layang dengan talinya: tak terpisahkan dan tidak terelakkan. Jika angin bertiup kencang karena deru ambisi, layang-layang membubung tinggi. Kalau tiba-tiba hujan, basah kuyup layang-layang itu, terjun ke bumi. Kalau pendaratan itu bagus, layang-layang masih utuh. Kalau tidak, ia akan menghujam bumi, patah tercabik-cabik.
Cita-cita dipengaruhi usia dan zaman. Di taman kanak-kanak semua orang ingin jadi dokter, ketika di sekolah menengah hasrat itu berubah, banyak yang ingin jadi peneliti, pedagang, guru, wartawan, pegawai negeri. Semasa remaja ada yang bercita-cita jadi pilot, tapi, setelah dewasa ia ingin jadi pemandu wisata saja, karena punya pacar kerja di biro perjalanan.
Ada yang pernah bercita-cita jadi pegawai kantoran, kemudian berambisi bekerja di kapal pesiar, karena bisa menjelajah banyak negeri, gaji tinggi, dan bisa punya pacar di setiap dermaga yang disinggahi.
Banyak sekali ada cita-cita di dunia ini, bisa jadi jumlahnya sebanyak manusia yang bisa berpikir. Keragaman cita-cita itu selain ditentukan oleh usia seseorang dan zaman, tentu juga ditentukan oleh kebangsaan seseorang. Cita-cita orang Eropa pasti tidak sama dengan cita-cita orang Afrika atau Asia. Cita-cita orang Sunda, Padang, Jawa, Madura, Sasak, tentu tidak sama dengan cita-cita orang Bali.
Orang Eropa atau Amerika diyakini punya cita-cita harus jalan-jalan ke banyak tempat. Jika mereka multijutawan, punya cita-cita tamasya ke ruang angkasa. Orang-orang dari negara maju selalu punya cita-cita bisa plesir saban tahun. Banyak di antara mereka yang bercita-cita jadi penemu dan manusia pelaku pertama sesuatu yang besar, sehingga bisa meraih Nobel, dikenang sebagai manusia genius.
Lalu, apa pula cita-cita orang Bali? Apakah orang Bali punya cita-cita tamasya ke Eropa sebelum mati, seperti orang-orang Eropa dan Amerika yang bercita-cita ke Bali sebelum ajal? Apakah orang Bali bercita-cita jadi penemu? Apakah orang Bali punya ambisi menjadi orang pertama atau penggagas? Jangan-jangan cita-cita orang Bali adalah mati di Bali, sehingga mereka terus menerus merawat Bali dengan melakukan berbagai upacara keagamaan. Ngaben, ngodalin, nyekah, metatah, otonan, adalah upacara-upacara yang dilakoni dengan khusuk oleh orang Bali, karena mereka memang bercita-cita untuk menghabiskan hari sampai mati dengan melakukan upacara-upacara itu.
Atau, jangan-jangan orang Bali tidak punya cita-cita, karena ajaran agama mereka menitikberatkan pada keseimbangan, serta pencapaian pada hening dan nol. Ambisi dinilai merusak tatanan keseimbangan, yang menyebabkan layang-layang selalu terikat dengan talinya. 7
Komentar