SETARA Institute: Polri di Bawah Presiden adalah Perintah Konstitusi
GP Ansor: Penggabungan Polri ke TNI Bertentangan Amanah Reformasi
JAKARTA, NusaBali - Lembaga SETARA Institute menyatakan bahwa Polri di bawah langsung Presiden merupakan perintah konstitusi, dan ketika ada aspirasi mengubah posisi Polri di bawah TNI atau Kemendagri adalah gagasan yang keliru.
“Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI Tahun 1945,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (1/12/2024).
Menurut dia, ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hendardi menjelaskan bahwa hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden.
“Dengan demikian, tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden,” tuturnya.
Perlu diingat, kata dia, pemisahan TNI dan Polri sebagaimana Tap MPR No VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga.
Gagasan pengembalian posisi Polri sebagaimana pada masa lalu, lanjut dia, dapat mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata kelembagaan negara di bidang keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum.
Dalam riset Desain Transformasi Polri, SETARA Institute (2024), telah menangkap aspirasi terkait dengan perubahan posisi kelembagaan Polri dan merekomendasikan transformasi kinerja Polri, bukan mengubah posisi kelembagaan Polri.
“Menjaga independensi Polri adalah perintah konstitusi,” kata Hendardi. SETARA Institute mendorong transformasi Polri dengan salah satunya memperkuat tugas dan peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai instrumen pengawasan permanen atas tugas-tugas Polri dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman, menjaga keamanan dan ketertiban, serta menjalankan fungsi penegakan hukum.
Secara paralel, perbaikan hukum pemilu dan pilkada, menurut dia, harus terus-menerus dilakukan, baik oleh otoritas legislasi maupun melalui Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri sebagai tindak pidana, sehingga kualitas demokrasi terus meningkat.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor A Rifqi Al-Mubarok, mengatakan bahwa wacana penggabungan Polri ke dalam TNI bertentangan dengan amanah reformasi 1998.
Rifqi dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Minggu kemarin, mengatakan bahwa amanah reformasi tersebut tertuang dalam Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 serta keputusan Presiden RI Ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memisahkan Polri dan TNI.
“Reformasi 1998 adalah tonggak penting bagi demokrasi Indonesia. Salah satu capaian utama gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil kala itu adalah memisahkan peran dan fungsi Polri dari TNI. Langkah ini menjadi simbol reformasi sektor keamanan yang mendukung supremasi sipil, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan penguatan demokrasi,” ucapnya.
Pernyataan itu untuk menanggapi anggota Komisi III DPR RI Deddy Sitorus dari Fraksi PDIP menyampaikan wacana terkait penempatan Polri di bawah TNI ataupun Kemendagri.
Rifqi juga mengungkapkan bahwa keputusan Gus Dur yang memisahkan Polri dari TNI adalah untuk menjadikan Korps Bhayangkara sebagai institusi sipil yang fokus pada penegakan hukum dan keamanan dalam negeri, sedangkan TNI diarahkan untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman eksternal.
“Keputusan itu bukan sekadar kebijakan, melainkan fondasi untuk membangun sistem demokrasi yang lebih sehat,” ujarnya.
Menurutnya, menggabungkan Polri ke dalam TNI akan mengkhianati semangat reformasi dan berpotensi melemahkan demokrasi.
“Langkah itu hanya akan memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan dan mengaburkan fungsi masing-masing institusi dalam sistem demokrasi kita,” imbuh Rifqi.
Oleh karena itu, dirinya selaku Sekjen GP Ansor, mengajak generasi muda untuk terus mengawal demokrasi.
“Sebagai generasi penerus, kita tidak boleh membiarkan perjuangan para pendahulu sia-sia. Reformasi bukan akhir, melainkan awal perjalanan menuju demokrasi yang lebih matang,” kata dia.
Dia juga tegas menolak setiap upaya ataupun wacana mengenai penggabungan Polri ke dalam TNI.
Hal yang senada juga diutarakan oleh Ketua Umum GP Ansor Addin Jauharudin yang juga menolak tegas wacana penggabungan ini.
GP Ansor, kata dia, berharap pemerintah, termasuk Presiden Prabowo Subianto, tetap berpegang pada prinsip-prinsip reformasi.
“Jangan pernah mundur. Indonesia membutuhkan komitmen kuat untuk mewujudkan negara yang adil, demokratis, dan sejahtera,” kata Addin.
Anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar Al-Habsyi menolak wacana mengembalikan Polri di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan menyebut bahwa gagasan tersebut merupakan kemunduran besar dalam reformasi Polri.
“Langkah tersebut merupakan bentuk merupakan bentuk kemunduran besar dan tidak sejalan dengan amanat reformasi Polri yang telah diperjuangkan,” kata Aboe Bakar dilansir dari keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu kemarin.
Aboe Bakar mengatakan bahwa Polri dipisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 2000 dan dari Kemendagri pada tahun 1946 dengan tujuan untuk menjadikan institusi penegak hukum tersebut menjadi lembaga yang mandiri dan profesional.
“Sudah pernah di bawah Kemendagri, pernah juga bareng TNI. Jadi, tak perlu mengulang masa lalu yang kurang baik,” ucapnya.
Menurut dia, apabila memang terdapat oknum Polri yang tidak menjaga netralitas dengan terlibat dalam pilkada, seharusnya yang dilakukan adalah evaluasi dan pembenahan.
Solusi yang seharusnya diambil, menurut dia, bukanlah dengan menempatkan Polri di bawah kementerian, melainkan adalah memperkuat akuntabilitas, pengawasan, dan kapasitas internal Polri.
“Jika ada oknum yang berpolitik, memosisikan Polri di bawah Kemendagri bukanlah solusi. Wacana ini berisiko menempatkan Polri dalam potensi intervensi politik yang lebih besar,” ucapnya.
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI itu mengajak seluruh pihak untuk menjaga semangat reformasi Polri dengan tidak mengambil langkah mundur yang dapat mengganggu stabilitas hukum serta demokrasi di Indonesia.
“Polri adalah institusi negara, bukan alat pemerintah tertentu. Reformasi Polri harus terus diperkuat, bukan diputarbalikkan ke masa lalu,” tandas Aboe Bakar. 7 ant
1
Komentar