nusabali

Perkawinan Usia Anak Bukan Solusi, Sosialisasi dan Pendidikan SDM Jadi Kunci

  • www.nusabali.com-perkawinan-usia-anak-bukan-solusi-sosialisasi-dan-pendidikan-sdm-jadi-kunci

DENPASAR, NusaBali.com – Perkawinan usia anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia, termasuk di Bali, meskipun secara nasional angka kasus ini dilaporkan turun sebesar 7,5 persen pada 2023. Fenomena ini sering kali dipicu oleh alasan ekonomi keluarga dan permasalahan sosial, namun justru dapat menjerumuskan anak-anak ke dalam persoalan yang lebih kompleks.

Anggota DPRD Provinsi Bali dari Dapil Gianyar, Putu Diah Pradnya Maharani, memberikan perhatian khusus terhadap isu ini. Politisi muda dari PDIP yang akrab disapa Gek Diah menyatakan pentingnya menghentikan normalisasi perkawinan usia anak di masyarakat.

“Jangan sampai ini menjadi tren yang dianggap lumrah. Kita memiliki asas dari norma-norma yang berlaku. Fenomena ini harus kita atasi dengan meningkatkan kesadaran masyarakat,” ujar Gek Diah usai mengikuti rapat kerja bersama Komisi IV DPRD Bali, Rabu (4/12/2024).

Menurut anggota dewan termuda berusia 22 tahun ini, salah satu langkah strategis untuk menekan angka perkawinan usia dini adalah melalui sosialisasi masif terkait kesehatan reproduksi serta dampak negatif pernikahan di usia anak. Ia menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan agar mereka berani bersuara di tengah dominasi sistem patriarki yang masih kuat di Bali.

“Perempuan harus berani berbicara dalam kondisi yang menekan mereka. Ini juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Orang tua yang tidak siap secara finansial dan mental akan kesulitan memenuhi kebutuhan anak dan rumah tangga,” tegasnya.

Gek Diah menambahkan bahwa kesiapan mental dan fisik pasangan sebelum menikah sangat penting. Sosialisasi harus mencakup pendidikan kesehatan reproduksi untuk memastikan calon pasangan memahami tanggung jawab yang akan diemban, termasuk menjaga kesehatan mental ibu agar terhindar dari baby blues.

Regulasi untuk Lindungi Anak

Lebih lanjut, Gek Diah menyebut bahwa pemerintah sebenarnya sudah berupaya mencegah perkawinan usia anak melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia minimal menikah bagi pria dan wanita adalah 19 tahun.

“Undang-undang ini dibuat untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif perkawinan dini yang dapat menghambat tumbuh kembang mereka. Namun, implementasinya di lapangan masih harus diperkuat dengan edukasi dan pendampingan kepada masyarakat,” ungkap politisi kelahiran 2002 ini.

Gek Diah pun menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait untuk mengatasi persoalan ini. “Kita butuh kerja sama dari semua pihak agar narasi ini tidak terus berulang. Pemuda-pemudi kita harus dibekali pengetahuan dan kesadaran agar mereka bisa bertindak lebih bertanggung jawab,” tutupnya.

Perkawinan usia anak, terutama yang dipicu oleh kehamilan di luar nikah, diharapkan dapat ditekan melalui langkah-langkah preventif yang berkelanjutan. Fokus pada peningkatan kualitas SDM di kalangan generasi muda menjadi prioritas utama demi masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak Bali.

Komentar