Kades di Bali Tersandung Korupsi, Ombudsman: Belum Ada Penilaian Kepatuhan Pemdes
Ombudsman
Korupsi
Kepala Desa
Perbekel
Pelayanan Publik
Maladministrasi
Pengawasan
Dana Desa
Laporan Masyarakat
DENPASAR, NusaBali.com - Belakangan ini masyarakat Bali tengah diresahkan dengan kasus-kasus korupsi yang menyeret kepala desa. Lantas, tingkat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik di level Pemerintah Desa (Pemdes) dipertanyakan.
Kasus-kasus korupsi di level Pemdes salah satunya bermula dari penyalahgunaan wewenang dan praktik maladministrasi. Pengawasan dan audit lebih seksama terhadap Pemdes sangat diperlukan.
Pemdes selaku pengelola Dana Desa yang bersumber dari APBN sejatinya berada di dalam radar Ombudsman RI (ORI) selaku lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik. Praktik penyalahgunaan wewenang dan maladministrasi menjadi domain Ombudsman.
Soal mulai banyak terungkap kasus korupsi di lingkungan Pemdes ini, Kepala Perwakilan ORI Provinsi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti menuturkan bahwa pengawasan tetap dilaksanakan. Hanya saja, kebijakan penilaian kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik di Pemdes belum ada.
“Karena keterbatasan, penilaian masih menyasar kepada pelayanan publik dasar di level Pemerintah Kabupaten/Kota. Itu pun belum menjangkau semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Kalau pengawasan (Pemdes) tetap kami lakukan,” kata Sri Widhiyanti, ditemui di Denpasar, Selasa (10/12/2024).
Sehingga, sampai saat ini memang belum ada kebijakan penilaian kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik sampai level Pemdes. Hal ini disebabkan keterbatasan anggaran. Di samping itu, Ombudsman ingin menuntaskan penilaian holistik di level kabupaten/kota lebih dulu.
Sementara itu, ditegaskan Anggota ORI Jemsly Hutabarat, Ombudsman melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik sampai ke level terendah yakni dusun/banjar. Langkah Ombudsman biasanya didasarkan pada laporan masyarakat atau prakarsa sendiri (sidak).
“Kalau korupsi ada jalurnya. Soal penyalahgunaan wewenang, maladministrasi, penyimpangan prosedur, penundaan layanan berlarut itu memang ranah kami,” tegas Jemsly, ditemui di Denpasar, Selasa siang.
Jemsly juga tidak menafikan bahwa keterbatasan anggaran menjadi penghambat keoptimalan pengawasan Ombudsman melalui prakarsa sendiri atau sidak ke daerah-daerah. “Anggaran sidak kami kecil, paling kami bikin kajian satu atau dua dalam setahun,” imbuh Jemsly.
Untuk itu, jalur pengawasan yang bisa dimanfaatkan Ombudsman adalah laporan masyarakat yang biayanya lebih kecil. Kata Jemsly, penanganan terhadap laporan masyarakat dapat dilakukan dengan menindaklanjuti ke instansi terkait. Misalkan, soal kades, dikoordinasikan ke OPD yang membidangi Pemdes.
“Ayo deh dilaporkan dulu. Kalau sudah dilaporkan ke atasannya, kemudian tidak ada tindak lanjut. Baru kami selaku pengawas eksternal menindaklanjuti secara langsung ke lapangan,” tegas Jemsly. *rat
Pemdes selaku pengelola Dana Desa yang bersumber dari APBN sejatinya berada di dalam radar Ombudsman RI (ORI) selaku lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik. Praktik penyalahgunaan wewenang dan maladministrasi menjadi domain Ombudsman.
Soal mulai banyak terungkap kasus korupsi di lingkungan Pemdes ini, Kepala Perwakilan ORI Provinsi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti menuturkan bahwa pengawasan tetap dilaksanakan. Hanya saja, kebijakan penilaian kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik di Pemdes belum ada.
“Karena keterbatasan, penilaian masih menyasar kepada pelayanan publik dasar di level Pemerintah Kabupaten/Kota. Itu pun belum menjangkau semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Kalau pengawasan (Pemdes) tetap kami lakukan,” kata Sri Widhiyanti, ditemui di Denpasar, Selasa (10/12/2024).
Sehingga, sampai saat ini memang belum ada kebijakan penilaian kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik sampai level Pemdes. Hal ini disebabkan keterbatasan anggaran. Di samping itu, Ombudsman ingin menuntaskan penilaian holistik di level kabupaten/kota lebih dulu.
Sementara itu, ditegaskan Anggota ORI Jemsly Hutabarat, Ombudsman melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik sampai ke level terendah yakni dusun/banjar. Langkah Ombudsman biasanya didasarkan pada laporan masyarakat atau prakarsa sendiri (sidak).
“Kalau korupsi ada jalurnya. Soal penyalahgunaan wewenang, maladministrasi, penyimpangan prosedur, penundaan layanan berlarut itu memang ranah kami,” tegas Jemsly, ditemui di Denpasar, Selasa siang.
Jemsly juga tidak menafikan bahwa keterbatasan anggaran menjadi penghambat keoptimalan pengawasan Ombudsman melalui prakarsa sendiri atau sidak ke daerah-daerah. “Anggaran sidak kami kecil, paling kami bikin kajian satu atau dua dalam setahun,” imbuh Jemsly.
Untuk itu, jalur pengawasan yang bisa dimanfaatkan Ombudsman adalah laporan masyarakat yang biayanya lebih kecil. Kata Jemsly, penanganan terhadap laporan masyarakat dapat dilakukan dengan menindaklanjuti ke instansi terkait. Misalkan, soal kades, dikoordinasikan ke OPD yang membidangi Pemdes.
“Ayo deh dilaporkan dulu. Kalau sudah dilaporkan ke atasannya, kemudian tidak ada tindak lanjut. Baru kami selaku pengawas eksternal menindaklanjuti secara langsung ke lapangan,” tegas Jemsly. *rat
Komentar