Di Ajang Tri Hita Karana Universal Reflection Journey
Jeritan Alam Bali dalam Karya Sasmita
Tri Hita Karana Universal Reflection Journey
Perupa
Ni Putu Citra Sasmita
UID Foundation
Cry Me a River
Hal ini berbeda dengan spirit manusia modern saat ini yang memandang alam sebagai objek eksploitasi sehingga memberikan akses penuh terhadap kemajuan pembangunan, sesuatu yang bertentangan dengan spiritualitas dan filosofi Timur.
DENPASAR, NusaBali
Personifikasi alam tampak kental dalam karya perupa Bali Ni Putu Citra Sasmita,34, yang dipamerkan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura Kura Bali, Denpasar, Sabtu (14/12). Pameran ini serangkaian Tri Hita Karana Universal Reflection Journey.
Alam, yakni tanah, air, binatang, dan pepohonan digambarkan sebagai sesosok manusia yang berkesadaran. Lukisan bergaya Kamasan modern dicetak dalam tabung silinder besar yang berputar setinggi sekitar 5 meter. Instalasi ini menggambarkan perputaran dunia. Karya Citra berjudul ‘Cry Me a River’ sejalan dengan semangat event diinisiasi UID (United in Diversity) Foundation, Tri Hita Karana.
Perupa asal Tabanan ini menjelaskan, Tri Hita Karana sebagai sebuah falsafah yang diwariskan di Bali tidak hanya sekadar wacana. Tetapi juga terpadu dalam kehidupan dan pengalaman budaya masyarakat Bali sebagai pewaris sah alam dan jagat raya Bali baik secara kosmologis maupun dalam konstruksi sosialnya.
Setiap manusia Bali yang lahir di Bali telah melalui berbagai kompleksitas dan pengalaman ritual sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia. Doa-doa, mantra-mantra, dan falsafah telah meresap ke dalam pori-pori ingatan masyarakat Bali. d
Dan, percikan air menjadi media yang menyampaikan manifestasi kekuatan kosmologis Bali ke dalam tubuh spiritual mereka.
“Masyarakat Bali memperlakukan alam sebagai subjek yang otonom. Masyarakat Bali mempersonifikasikan dan mengagungkan bahwa alam merupakan entitas yang memiliki kekuatan spiritual yang menjaga kelangsungan hidup makhluk hidup di alam semesta,” ujar perupa yang sudah beberapa kali berpameran di luar negeri.
Dia menyebut hal ini berbeda dengan spirit manusia modern saat ini yang memandang alam sebagai objek eksploitasi sehingga memberikan akses penuh terhadap kemajuan pembangunan, sesuatu yang bertentangan dengan spiritualitas dan filosofi Timur.
“‘Cry Me a River” yang saya wakili dalam karya ini, merupakan respons saya terhadap krisis sosial dan air yang tengah terjadi di Bali. Sebagai seniman kontemporer yang lahir dan besar di Bali, saya merasakan perubahan cepat yang tengah terjadi di Bali dan sangat berbeda dengan ingatan masa kecil saya. Mata air mulai mengering, pohon- pohon besar yang berusia ratusan tahun ditebang untuk kepentingan pembangunan, yang merupakan ancaman bagi generasi masyarakat Bali di masa mendatang,” beber Citra.
Simbol- simbol dalam Cry Me a River merupakan simbol-simbol esoteris yang dikembangkan Citra dari tradisi seni lukis Bali kuno sebagai anugerah bagi alam semesta. Dia mengambil fragmen simbol- simbol ini dari karya Beyond The Realm of Senses, lukisan instalasi sepanjang 30 meter yang telah dipamerkannya di Sao Paulo Biennale ke-35, 2023, Brasil.
Citra mengaku merasa beruntung sebagai salah satu seniman yang berhasil lolos kurasi dalam pameran kali ini. Ajang ini menjadi kesempatan untuk bertukar gagasan dengan para seniman internasional yang memberi perhatian sama pada isu lingkungan sosial dan alam.
“Penting bagi saya untuk menghadirkan karya yang mengangkat isu sosial khususnya tentang air sebagaimana kita masyarakat Bali mengenal kepercayaan agama Tirta sebagai landasan spiritual orang Bali. Bagaimana filosofi-filosofi yang kami warisi seperti Tri Hita Karana, relasi dengama alam, Tuhan, ini yang ingin saya sampaikan,” tandasnya.
Dalam pameran ini, karya Citra bersanding dengan 19 karya seniman lainnya dari 12 negara berbeda. Kurator seni internasional Lance Fung yang langsung melakukan kurasi terhadap karya-karya yang ditampilkan.
Fung mengatakan setiap perupa yang tampil dalam pameran berasal dari negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Islandia, Hawaii, Kuba, dan lainnya, sehingga mampu menggambarkan bagaimana pentingnya alam, khususnya air, dalam kehidupan manusia. Dia yakin para seniman ini mampu berperan dalam upaya dunia mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs).
“Kami mengundang 20 seniman dari seluruh dunia untuk bersama-sama memvisualisasikan falsafah Tri Hita Karana,” kata pria asal Tiongkok yang sudah mengenal Bali belasan tahun.
Sementara itu, Presiden UID Foundation Tantowi Yahya menyebutkan bahwa Tri Hita Karana Universal Reflection Journey merupakan panggilan untuk kita dapat berhenti sejenak dan merenung atas tantangan global. Para pemimpin global terkemuka, tokoh spiritual, dan seniman terkenal berkumpul di Pantai Kura Kura Bali untuk berefleksi dan mencari solusi modern untuk mengatasi tantangan global yang mendesak dalam Perjalanan Refleksi Universal Tri Hita Karana: Bersatu dalam Keberagaman untuk Perdamaian, Kemakmuran, Rakyat, Planet,
dan Kemitraan (5P).
Presiden UID Foundation Tantowi Yahya. –SURYADI
“Tri Hita Karana Universal Reflection Journey hadir sebagai panggilan bagi kita semua untuk merefleksikan tantangan terbesar dunia sekaligus merumuskan solusi berkelanjutan yang berakar pada harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas. Dengan semangat Tri Hita Karana, kami mengajak seluruh pemimpin, inovator, dan insan peduli untuk bergabung dalam perjalanan transformasi ini,” ungkap Tantowi.7 adi
1
Komentar