Mengenal Kapuakan, Mainan Tradisional Pengusir Burung dari Subak Jatiluwih
TABANAN, NusaBali.com - Lelakut atau orang-orangan sawah adalah budaya subak paling umum yang dipakai petani sebagai alat pengusir hama burung. Namun, para petani di Subak Jatiluwih, Penebel, Tabanan umumnya tidak memakai lelakut tetapi mainan tradisional bernama kapuakan.
Kapuakan adalah mainan tradisional yang terbuat dari satu ruas bambu. Bambu dibelah menjadi dua bagian tapi tidak sampai putus di salah satu ujungnya. Dua bagian belah kapuakan ini diberikan jarak agar dapat memantul satu sama lain jika digoyangkan.
Kemudian, pada bagian ujung yang tidak putus dibuatkan lubang/jarak antarkedua belah yang lebih besar sehingga menyerupai garpu tala. Lubang itu jadi gagang kapuakan ketika dimainkan.
Kapuakan dimainkan dengan cara memegang salah satu belahnya dibagian gagang. Lantas digoyangkan ke bawah dan ke atas bergantian. Karena goyangan ini, kedua belah kapuakan bertemu atau berbenturan satu sama lain dan menghasilkan bunyi ‘puak, puak, puak!’
“Kapuakan dibuat dari bambu yang agak tua dan sudah kering supaya bunyinya lebih nyaring dan dapat mengusir atau menakuti burung,” kata Wayan Yastra, 60, seorang petani anggota Subak Jatiluwih tempek Umaduwi ketika ditemui NusaBali.com belum lama ini.
Kata Yastra, kapuakan diwariskan turun temurun dan masih digunakan para petani Subak Jatiluwih sampai sekarang. Selama kapuakan dibunyikan, hama burung pemakan biji padi dipercaya tidak berani mendekat selagi masih terdengar bunyinya.
“Cara pakaianya, tidak dibunyikan sambil diam duduk seperti ini tapi dibawa berkeliling ke pematang sawah agar burungnya kabur,” tutur Gede Sumara Putra, 50, anggota Subak Jatiluwih tempek Umakayu.
Kapuakan mulai dipakai petani di tujuh tempek Subak Jatiluwih begitu biji padi mulai muncul dan ada tanda-tanda kehadiran kawanan hama burung. Kalau dihitung bulan, kapuakan mulai dipakai pada bulan kelima pasca tanam.
Ya, bulan kelima. Sebab, padi yang ditanam di Subak Jatiluwih bukanlah beras biasa melainkan beras merah. Masa tanam-panen beras jenis ini sekitar enam bulan atau dua kali lipat lebih lama dari beras biasa. Masa tanam dimulai Januari dan dipanen bulan Juli.
Namun setelah Juli, petani setempat biasanya menanam lagi padi jenis lain yang masa tanam-panennya lebih cepat. Rata-rata petani di subak yang berstatus Warisan Dunia Unesco ini memiliki lahan sawah seluas 30-40 are per orang.
“Kapuakan dipakai sekitar bulan kelima setelah biji padi kelihatan, bahkan baru keluar hijau itu juga sudah dibunyikan kapuakannya,” jelas Sumara Putra. *rat
Kemudian, pada bagian ujung yang tidak putus dibuatkan lubang/jarak antarkedua belah yang lebih besar sehingga menyerupai garpu tala. Lubang itu jadi gagang kapuakan ketika dimainkan.
Kapuakan dimainkan dengan cara memegang salah satu belahnya dibagian gagang. Lantas digoyangkan ke bawah dan ke atas bergantian. Karena goyangan ini, kedua belah kapuakan bertemu atau berbenturan satu sama lain dan menghasilkan bunyi ‘puak, puak, puak!’
“Kapuakan dibuat dari bambu yang agak tua dan sudah kering supaya bunyinya lebih nyaring dan dapat mengusir atau menakuti burung,” kata Wayan Yastra, 60, seorang petani anggota Subak Jatiluwih tempek Umaduwi ketika ditemui NusaBali.com belum lama ini.
Kata Yastra, kapuakan diwariskan turun temurun dan masih digunakan para petani Subak Jatiluwih sampai sekarang. Selama kapuakan dibunyikan, hama burung pemakan biji padi dipercaya tidak berani mendekat selagi masih terdengar bunyinya.
“Cara pakaianya, tidak dibunyikan sambil diam duduk seperti ini tapi dibawa berkeliling ke pematang sawah agar burungnya kabur,” tutur Gede Sumara Putra, 50, anggota Subak Jatiluwih tempek Umakayu.
Kapuakan mulai dipakai petani di tujuh tempek Subak Jatiluwih begitu biji padi mulai muncul dan ada tanda-tanda kehadiran kawanan hama burung. Kalau dihitung bulan, kapuakan mulai dipakai pada bulan kelima pasca tanam.
Ya, bulan kelima. Sebab, padi yang ditanam di Subak Jatiluwih bukanlah beras biasa melainkan beras merah. Masa tanam-panen beras jenis ini sekitar enam bulan atau dua kali lipat lebih lama dari beras biasa. Masa tanam dimulai Januari dan dipanen bulan Juli.
Namun setelah Juli, petani setempat biasanya menanam lagi padi jenis lain yang masa tanam-panennya lebih cepat. Rata-rata petani di subak yang berstatus Warisan Dunia Unesco ini memiliki lahan sawah seluas 30-40 are per orang.
“Kapuakan dipakai sekitar bulan kelima setelah biji padi kelihatan, bahkan baru keluar hijau itu juga sudah dibunyikan kapuakannya,” jelas Sumara Putra. *rat
1
Komentar