573 Kasus Kekerasan Terjadi di Sekolah Selama 2024
Angka itu meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan kasus kekerasan yang terjadi di tahun 2023.
JAKARTA, NusaBali
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ada 573 kasus kekerasan yang terjadi di sekolah di sepanjang tahun 2024. Menurut Koordinator Nasional (Kornas) JPPI, Ubaid Matraji angka itu meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan kasus kekerasan yang terjadi di tahun 2023. "(Tahun) 2023 (ada) 285 kasus yang kami terima tetapi di 2024 sampai 573 kasus. Artinya peningkatannya bisa sampai lebih dari 100 persen," kata Ubaid di Jakarta Pusat, Jumat (27/12).
Ubaid melanjutkan, berdasarkan data yang masuk juga saat ini terlihat kasus kekerasan di sekolah terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Namun ada lima daerah yang tercatat paling banyak terjadi kekerasan di sekolah yakni Jawa Timur ada 81 kasus, kemudian Jawa Barat ada 56 kasus. Lalu Jawa Tengah 45 kasus, Banten 32 kasus, Jakarta 30 kasus. Sehingga, lanjut Ubaid, terlihat bahwa kasus kekerasan di sekolah paling banyak terjadi di Pulau Jawa. "Kalau lihat pemerataan provinsi ini ternyata merata di seluruh Indonesia. Tetapi Jawa Timur lebih banyak mungkin karena jumlah sekolah di sana juga lebih banyak daripada sekolah-sekolah di provinsi yang lain," ungkapnya.
Selanjutnya, kata Ubaid, kasus kekerasan juga tidak hanya terjadi di sekolah tetapi terjadi di madrasah, terjadi juga di pesantren. "Di sekolah kasus yang kami terima ada 60 persen terjadi di sekolah, kemudian di madrasah ada 16 persen, kemudian di pesantren 20 persen," ucap dia.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga meminta kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mewujudkan pendidikan yang lebih inklusif guna mencegah berbagai bentuk kekerasan yang ada di sekolah.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menjelaskan dalam upaya pencegahan kekerasan di sekolah, kolaborasi antara berbagai pihak sangat penting, dimana hal ini diawali dengan dorongan political will dari pemerintah, mulai dari pusat hingga ke dinas-dinas pendidikan.
"Ada pemerintah pusat, madrasah, pesantren, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan yang harus bekerja sama. Ini harus menjadi bagian dari agenda nasional," katanya.
Ubaid menegaskan pentingnya peran dinas-dinas yang selama ini dinilai kurang paham mengenai penanggulangan kekerasan. Menurutnya, meskipun Satuan Tugas (Satgas) dan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) sudah dibentuk, banyak diantaranya yang belum dilatih atau didampingi secara memadai. Akibatnya, meskipun sudah ada kebijakan, implementasi di lapangan sering kali terhambat.
"Setelah di-SK-kan, masalah selesai begitu saja. Padahal, jika tidak ada political will yang kuat, masalah ini tidak akan pernah selesai," tegasnya.
Ubaid menilai penting untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai bentuk kekerasan, seperti perundungan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kebijakan diskriminatif.
Menurutnya, hal ini diperlukan agar semua pihak, mulai dari satgas hingga orang tua, memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan.
Dengan melibatkan berbagai pihak, seperti komite sekolah dan organisasi siswa, Ubaid meyakini pengelolaan pendidikan bisa menjadi lebih terbuka dan inklusif. "Orang tua harus dilibatkan, begitu juga dengan masyarakat dan kepala sekolah. Ini bukan hanya urusan dinas pendidikan, tapi merupakan tugas bersama," ujarnya.
Ubaid mengingatkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikelola secara partisipatif. Hal ini penting agar tidak hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab penuh terhadap sekolah, tetapi juga melibatkan komite sekolah, orang tua, serta masyarakat sekitar.
Ia menyarankan agar seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat, termasuk orang tua. Ia menekankan bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka sangat penting dan sudah diatur dalam Undang-Undang.
"Sekolah negeri adalah aset publik. Jadi, segala kebijakan yang diambil di sekolah harus melibatkan berbagai pihak, bukan hanya kepala sekolah dan dinas pendidikan," tutur Ubaid Matraji.
Komentar