Menelusuri Kisah Niskala di Pura Wulakan/Dang Kahyangan Tamansari di Banjar Alangkajeng, Mengwi, Badung (1)
Ada Tempat Malukat dari Mata Air di Gua Pohon Beringin
Selain liang gua yang sempit, hanya pamangku saja yang berani memasuki wulakan yang dipercayai dijaga para abdi tidak kasat mata
MANGUPURA, NusaBali
Tidak jauh dari Pura Taman Ayun, ada pura bersejarah yang diyakini lebih tua dari pura paibon Kerajaan Mengwi tersebut. Di bantaran Sungai Taep, Banjar Alangkajeng, Desa/Kecamatan Mengwi, Badung, berdiri Pura Wulakan yang memiliki sumber mata air suci dari gua yang dibentuk rambatan akar beringin.
Pura Wulakan ini merupakan awal mula keberadaan kompleks pura yang kini dikenal sebagai Pura Dang Kahyangan Tamansari. Sebelum menjadi pura lengkap dengan nista, madya, dan utama mandala, dulunya hanyalah pura sederhana di bawah pohon beringin dan di atas kolam mata air (wulakan).
Pamangku Pura Wulakan, Jero Mangku I Nyoman Raka Wijaya,60, menuturkan bahwa asal usul Pura Wulakan tercatat dalam Dwijendra Tattwa, kisah perjalanan dharmayatra Danghyang Dwijendra. Leluhur para Brahmana di Bali ini juga dikenal sebagai Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh.
“Sekitar tahun 1411 Saka (1489 Masehi), Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh tiba di sini dari Mundeh (Tabanan). Di sini Beliau beryoga samadhi, bermalam, sebelum melanjutkan perjalanan ke Mas (Gianyar),” ungkap Mangku Raka ketika ditemui NusaBali di lokasi, bertepatan Tilem Sasih Kanem, Senin (30/12). Berdasarkan petikan Dwijendra Tattwa yang diterima NusaBali, lokasi Pura Wulakan sekarang merupakan persinggahan kesembilan Danghyang Dwijendra ketika berdharmayatra ke Desa Mas, Ubud, Gianyar. Perjalanannya ini dalam rangka memenuhi undangan Pangeran Mas.
Dikisahkan Danghyang Dwijendra tiba di sebuah tempat di mana terdapat aliran sungai dan di bantaran sisi baratnya terdapat wulakan. Wulakan atau mata air itu begitu jernih, lingkungan sekitarnya mengeluarkan harum semerbak lantaran dikelilingi tumbuhan bunga yang sedang mekar.
Harum dan indahnya bunga yang sedang bermekaran ini disebut mengalahkan suasana Sasih Kapat. ‘Angasoraken langening sasih kapat’ seperti yang dijelaskan dalam Dwijendra Tattwa. Karena keindahan wulakan itu, Danghyang Dwijendra tergugah untuk rehat.
Areal mata air di mana Danghyang Dwijendra singgah dalam perjalanan ke Mas ini lantas disucikan dan didirikan tempat suci bernama Pura Wulakan, sesuai yang disebutkan Dwijendra Tattwa. Sedangkan, wilayah sekitar Pura Wulakan disebut Mengharajya atau Menghapura. “Sembari bermalam di sini, Beliau membuat jajanan dari keong. Cangkang melingkar-lingkar keong itu dipotong untuk mencongkel dagingnya. Setelah itu cangkangnya diletakkan lagi di dalam wulakan, dijapa mantra, keong itu hidup kembali tapi tanpa cangkang melingkarnya,” tutur Mangku Raka.
Keong yang hidup kembali ini sudah bukan lagi keong biasa. Cairan keong yang dihidupkan ini lantas bercampur dengan mata air di Pura Wulakan. Diyakini, mata air dengan cairan keong bertuah ini mampu menyembuhkan, terutama masalah penglihatan dan masalah kesehatan jasmani lainnya. Sejak dahulu, wulakan ini berada di bawah akar beringin yang uniknya membentuk lubang gua.
Untuk mengambil air dari wulakan, hanya satu orang saja yang bisa dan dibolehkan. Sebab selain liang gua yang sempit, hanya pamangku saja yang berani memasuki wulakan yang dipercayai dijaga para abdi tidak kasat mata. Kata Mangku Raka yang sudah ngayah sejak 2007, diyakini bahwa Danghyang Dwijendra melakukan yoga samadhi tepat di depan liang gua yang dibentuk akar pohon beringin. Di mana, pohon beringin ini sendiri juga telah memiliki tuan yakni Ida Ratu Niang Sakti Macaling. “Yang menganugerahi tetambaan (pengobatan) di sini ada dua, yaitu Ida Danghyang Nirartha dan Ida Ratu Niang Sakti Macaling yang berada di pohon beringin. Selain itu, di sini juga berstana Dalem Tengah Segara dan Ratu Nyoman,” ungkap pamangku yang saat walaka bekerja di sektor konstruksi ini. Pamedek dari seluruh Bali disebut telah berkunjung ke Pura Wulakan yang kini juga berfungsi sebagai pura beji ini. Ida Ratu Niang Sakti Macaling dikenal dermawan mengabulkan doa pamedek yang tulus ikhlas memohon keturunan. Diingatkan Mangku Raka, jangan sekali-sekali memohon dengan nada memaksa.
“Jangan meminta harus laki-laki, harus perempuan. Terimalah apa yang sudah dianugerahi Beliau. Sedangkan untuk penyakit pada jasmani, melukat pakai mata air yang dianugerahi Ida Danghyang Nirartha,” imbuh Mangku Raka yang leluhurnya turun temurun menjadi pamangku di Pura Wulakan/Dang Kahyangan Tamansari ini.
Jero Mangku Raka menegaskan bahwa dirinya hanyalah perantara pamedek dengan Ida Bhatara-Bhatari yang berstana di Pura Wulakan. Sekiranya pamedek hendak memohon kesembuhan, keturunan, dan lain-lain diarahkan melakukan secara mandiri ketika bersembahyang di hadapan niskala. Pamedek juga diminta membawa pejati sebagai perantara menunjukkan keinginan hendak melukat, matamba, dan lain-lain, termasuk meminta air dari wulakan untuk dibawa pulang. Diingatkan Mangku Raka, air dari wulakan hanya diperkenankan untuk nyampuh tirta atau melukat secara mandiri di rumah. 7 ol1
Komentar