Setupuk Ironi di Bypass Prof Dr Ida Bagus Mantra
PROF Dr Ida Bagus Mantra adalah salah seorang putra terbaik Bali yang sangat berpengaruh. Selain sukses menjabat Gubernur Bali ke-6, dua periode (1978-1983 dan 1983-1988), Ida Bagus Mantra merupakan salah seorang budayawan Bali yang gagasan-gagasannya sangat cermerlang hingga diakui banyak kalangan. Dia intens nindihin (berjuang dan mempertahankan) agar budaya, adat, dan agama Hindu Bali, kuat menghadapi gempuran budaya global.
Pemerintah Bali mengenang dan menghormati nama besar Gubernur Bali kelahiran 8 Mei 1928 di Griya Kedaton, Denpasar, Bali, ini. Salah satunya dengan mematri namanya menjadi nama jalan raya ‘Jalan Bypass Prof Dr Ida Bagus Mantra’. Apa yang terjadi kemudian pada jalan Bypass Mantra, jurusaan Tohpati, Kota Denpasar – Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung ini?
Jalan Bypass Mantra, panjang 26,2 km dan lebar 40 meter, menyambungkan wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Klungkung. Proyek jalan ini menelan lahan puluhan hektare tanah sawah dan ladang. Bypass ini memperpendek jarak tempuh di jalur utama tiga kota/kabupaten tersebut yang sebelumnya sekitar 70 km. Peresmian penggunaan jalan ditandai gelaran upacara Pacaruan yang bermakna pembersihan secara sekala dan niskala, sesuai tradisi Hindu Bali, Rabu, 31 Agustus 2005.
Tahun 1996 - 1997, sosialisasi proyek bypass ini disambut riang masyarakat, terutama masyarakat yang desanya kena proyek jalan. Sejumlah alasan masyarakat sekitar mendukung proyek ini, antara lain, karena ganti rugi tanah untuk proyek jalan ini berubah menjadi ‘ganti untung’. Kebanyakan pemilik lahan mendapatkan nilai penganti lebih mahal dibandingkan harga pasaran tanah saat itu. Tak sedikit pemilik lahan dapat nilai pengganti melebihi harga pasaran tanah, dengan dalil bahwa pihak lain, dalam hal ini pemerintah, pihak yang membutuhkan tanah untuk proyek jalan. Bukan sebaliknya, masyarakat menginginkan pemerintah membuka jalan tersebut.
Sebagai perbandingan, harga tanah sawah sebelum kena patok untuk rencana proyek bypass, di jalur Banjar Lepang, Desa Takmung – Banjar Tegalbesar, Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, tahun 1994/1995 sekitar Rp 1 juta – Rp 1,5 juta/are. Harga ini naik hampir jadi Rp 2 juta/are pada tahun 1997/1998. Selanjutnya, pemerintah ‘mengganti untung’ tanah kena proyek jalan itu dengan harga merata, Rp 10 juta/are.
Masyarakat sekitar juga amat sadar tentang asas kemanfaatan ke depan terhadap kawasan bypass itu, terutama dalam bidang ekonomi. Sebagaimana terbukti, bypass memicu keramaian orang, pelbagai arus baran, dan jasa. Pertumbuhan ekonomi pun melonjak dahsyat. Tak hanya masyarakat sekitar bypass, masyarakat luar pasti mendukung proyek prestisius ini, terutama masyarakat yang rajin bepergian dalam lintas Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, Klungkung, dan seterusnya. Dalam perspektif transportasi, kehadiran bypass akan sangat mempermudah mobilitas masyarakat, termasuk dari arah Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, NTT, dan sebaliknya.
Lambat laun warga di jalur bypass ini makin tertantang untuk berinovasi. Target utamanya yakni melipatgandakan nilai lahan, terutama di pinggir bahu jalan. Bagi mereka yang tak mahir berbisnis, cukup menyewakan lahan dan terima urang beres. Para penyewa ini tak selalu pebisnis kelas kakap. Tak sedikit dari mereka merupakan kalangan pendukung pendatang (duktang) luar desa dan luar Bali. Mereka tak semua berbekal skill memadai. Mereka mencoba-coba peruntungan, antara lain jadi pedagang kaki lima, buka warung makan, kafe, tukang pijat, bengkel, buruh bangunan, tukang traktor sawah, dan lain-lain. Bypass jadi ladang subur untuk cari makan.
Tak sedikit pula pemilik tanah tak kuat menahan hasrat dan hayalan hidup tenang bergelimang uang. Mereka berkeputusan menjual lahan, tak terkecuali tanah warisan. Memang, menjual adalah sebuah strategi efektif dan masuk akal. Tak perlu tuyuh (sibuk) bekerja. Karena tanah yang sebelum rencana proyek bypass, hanya laku dijual kurang dari Rp 2 juta/are (tahun 1997). Namun seiring berjalannya proyek bypass ini harga tanah naik jadi Rp 20 juta/are, dan terus naik dari tahun ke tahun, hingga tembus mulai Rp 200 juta/are - Rp 800 juta/are. Bahkan pada awal-awal tahun 2020, saat pandemi Covid-19 belum merajam Bali, tanah di pinggiran jalan Bypass Mantra, misal di Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, dan sekitar, tembus Rp 800 juta – Rp 1 miliar/are. Padahal sekitar tahun 2003/2004, harga tanah di sebuah sudut strategis perempatan bypass Desa Lebih, termahal hanya Rp 100 juta. Harga tanah akan naik jika letaknya di sudut simpang empat jalan raya. Formula harga tanah ini melahirkan ‘hukum posisi tanah’. Makin ke tengah letak tanah, maka harga jualnya makin turun, meski tak berarti dapat murah. Sebaliknya, makin di pinggir/sisi bahu jalan bypass, maka harga tanah makin membubung tinggi.
Dibandingkan jalur bypass lain di Bali dan luar Bali, Bypass Mantra tak kalah menggoda kalangan pebisnis atau orang - orang yang ingin mengadu peruntungan. Karena jalur ini termasuk kawasan pariwisata yang berdampingan dengan bentang pantai nan indah. Mulai dari Pantai Tangtu, Desa Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, sampai Pantai Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung. Masyarakat luar makin tertarik tinggal di kawasan ini, karena relatif nyaman, dekat pusat kota provinsi di Denpasar. Waktu tempuh normal kendaraan roda empat dari bypass Desa Lebih, Gianyar, menuju kawasan Sanur, Denpasar, hanya 15 menit.
Ada satu fenomena menarik setelah kehadiran Bypass Mantra. Simpul keramaian masyarakat desa yang sebelumnya di Catus Pata (perempatan) jalan desa, biasanya berdampingan dengan pasar, berpindah ke selatan di bypass. Maka area bypass yang dulunya sawah dan ladang atau pantatnya desa, kini berubah jadi muka atau wajahnya desa. Desa-desa yang wajah desanya bergeser ke Bypass Mantra, antara lain, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, yang sebelumya berwajah di Banjar Takmung, kini bergeser ke Banjar Lepang. Pusat kota Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, juga berpindah ke Banjar Lebih Beten Kelod, Desa Lebih. Keramaian masyarakat paling kentara di titik tersebut karena di bypass Lebih ini jadi pusaran bisnis kuliner ikan laut Kabupaten Gianyar. Desa Lebih juga sangat berkembang pesat karena topangan desa wisata bahari.
Demikian pula, pergeseran wajah desa terjadi di Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar, dari sebelumnya di tengah, kini berpindah ke selatan. Setidaknya bypass ini menjadikan keramaian landscape desa makin merata. Tak lagi berpusaran di Catus Pata (perempatan) jalan desa.
Implikasi pertumbuhan ekonomi yang sedemikian pesat tentu tak selalu positip untuk keseimbangan ruang kosmo Bypass Mantra. Jalur ini bak gula kental hingga terus menerus dirubung semut. Para pebisnis baik usaha mikro, kecil, menengah, dan besar, makin tergiur mengeksplorasi segala ruang untuk pelonjakan modal. Pedagang kaki lima tak kalah gerak. Tak terkecuali sejumlah warung makanan dan minuman menyuguhkan komoditas bermenu ‘plus-plus’ hingga disebut warung esek-esek. Jalur ini pun menjadi arena empuk bagi pedagang narkoba meraup untung. Rumah-rumah kos bahkan penginapan tak jarang dihuni oleh pasangan tak sah. Bupati Klungkung Nyoman Suwirta saat sidak (inspeksi mendadak) untuk ketertiban administrasi kependudukan di Bypass Mantra, wilayah Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, menggeledah seluruh isi ruangan dan kamar di sebuah warung. Penggeledahan itu menemukan sekotak kondom yang masih berisi beberapa buah kondom baru. Dengan bukti kondom itu, karyawan warung itu tidak bisa mengelak, bahwa dia juga melayani praktik sahwat kepada pelanggan. (NusaBali, 16/02/2019).
Dari sisi lingkungan, tampak makin banyak bentang huma kehausan karena tak sedikit saluran irigasi subak tersumpal sampah. Sumbatan-sumbatan akibat dampak pembangunan fisik yang tak taat aturan. Sampah-sampah, terutama sampah plastik dan anorganik lain, makin meluber. Dampaknya, banyak lahan pertanian tak tergarap dan terkapar jadi ‘bangkai-bangkai’ atas rajaman pembangunan yang tak berpihak pada sektor pertanian.
Pemandangan profan seperti itu menjadi terbalik karena kawasan arteri Bypass Mantra di sisi kiri dan kanan, bertengger sejumlah pura, baik pura swagina (kerja subak) dan pura yang diempon (dirawat dan disucikan) oleh krama atau warga desa adat. Maka desakralisasi pura dan kawasan makin tak terhindarkan. Demikian pula, area dan zona kawasan makin terkacaukan oleh kepentingan antar pihak. Karena batasan antara kawasan suci, zona pariwisata, zona bisnis nonpariwisata, lokasi pabrik beton, perbengkelan/metal, pertanian/budi daya hayati, makin gabeng (tak jelas). Kondisi ini kian parah jika para pejabat pemerintah di pelbagai jenjang kelembagaan terus mengobral izin lokasi usaha, tanpa mempertimbangkan dampak ke depan.
Akibatnya, Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2002 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Jalan Arteri Tohpati – Kusamba (bypass Mantra), selalu jadi ajang tawar-menawar berdalih kebijakan paling up date. Dampak amat mencolok yakni daya dan semangat untuk mempertahankan lahan sawah dan subak yang jadi kebanggaan orang Bali, hanya sekadar basa-basi. Alihfungsi lahan pertanian produktif ke nonpertanian merajalela. Kalau toh, ada cutak-cutak sawah tersisa, kenyataannya amat sulit dapat air untuk bercocok tanam.
Jika kawasan ini terbiarkan karena keliaran ambisi pendulang uang, maka dapat dipastikan ke depan, jalur Bypass Mantra akan ikut menyumbang kebenaran stigma bahwa 'Bali telah mengidap sakit kelumpuhan taksu'. Maka menghormati tokoh besar Bali sekaliber Ida Bagus Mantra dengan cara memakai namanya untuk nama jalan bypass ini, hanya tujuan palsu. Hanya saja, patut perlu disyukuri karena belum ada rezim yang berani dan berhasrat untuk mengganti nama jalan ini dengan nama lain.*
Komentar