nusabali

Miskin Gak Miskin yang Penting Festival

  • www.nusabali.com-miskin-gak-miskin-yang-penting-festival

Umar Kayam (1932-2002) dikenal sebagai sosiolog dan budayawan penting di Tanah Air. Dia pernah menjabat Dirjen Radio dan Televisi, cerpenis dan novelis yang prima, juga aktor yang mumpuni.

Aryantha Soethama

Pengarang

Dalam film kontroversial 'Pengkhianatan G30S/PKI' (1984) besutan Arifin C Noer, ia memerankan tokoh Bung Karno dengan gemilang. Cerpennya 'Seribu Kunang-kunang di Manhattan' dikenal sebagai master piece yang dikaji banyak pemerhati prosa, selain 'Sri Sumarah' dan 'Bawuk'.

Selain menulis fiksi, Umar Kayam juga dikenal menulis sketsa-sketsa sosial dengan latar budaya Jawa (terutama Jogjakarta) yang kental. Sketsa-sketsa itu dihimpun dalam buku ‘Mangan Ora Mangan Kumpul’, diterbitkan pertama kali tahun 1984 oleh Grafiti Pers. Judul buku ini menyampaikan perilaku orang Jawa yang sangat mengutamakan kebersamaan, berkumpul jadi satu, kendati miskin dan tidak makan. Miskin boleh saja, tidak makan tidak apa-apa, yang penting ngumpul.

Kemiskinan sering menjadi alat dalam propaganda politik. Jika dimanfaatkan dengan lihai, kemiskinan bisa menjadi cara hebat mendulang massa, karena tak seorang pun suka miskin. Agar rakyat tidak miskin, kemiskinan acap diteliti, ditelaah, diseminarkan. Pembahasannya dilakukan di hotel berbintang. Para ahli, peneliti, berbincang tentang kemiskinan dengan makanan lezat dan tidur di kamar mewah, sementara yang miskin tetap saja miskin. Kemiskinan menjadi sebuah ironi.

Mungkin karena kemiskinan kerap menjadi ironi, membuat Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengingatkan keadaan di Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Ujaran Mangku Pastika ini merujuk pada festival Buleleng yang diselenggarakan Agustus lalu. Gubernur mengingatkan agar Buleleng memberi perhatian lebih serius pada kemiskinan yang terjadi di Bali Utara. Jangan perhatian besar dalam gelar festival seni budaya menyebabkan perhatian pada kemiskinan terabaikan. “Dana penyelenggaraan yang cukup besar bersumber dari APBD harus dipastikan berkontribusi signifikan bagi pengentasan kemiskinan,” kata Pastika saat menyampaikan sambutan pada pelantikan Bupati dan Wabup Buleleng masa jabatan 2017–2022, di Denpasar, Minggu (27/8), seperti dikutip Antara.

Bupati Buleleng Agus Suradnyana, tentu tak serta merta menerima tudingan Mangku. “Dengan biaya Rp 500 juta, kami bisa membuat Buleleng Festival, dibandingkan festival lain dengan biaya lebih besar. Ini kan dilihat meriahnya nya saja, padahal kami banyak pakai sponsor. Buleleng mengembangkan pariwisata, harus ada atraksi,” kilahnya. Agus tak menampik ada yang tidak suka atas penyelenggaraan berbagai festival di Buleleng. Menurut Agus yang tak suka itu cuma segelintir, memandang masalah secara subjektif dan politik saja, tidak dari sisi positif.

Bali memang pulau festival. Sejak zaman dulu, ketika sebagian besar orang Bali hidup bertani, dan buta huruf, mereka sudah terlibat dalam ajang festival kesenian. Dalam brosur-brosur wisata, buku-buku antropologi, atau buku catatan perjalanan, odalan di pura dijelaskan sebagai festival. Ada ribuan pura di Bali, berarti ada ribuan festival digelar saban tahun. Penyelenggara festival itu tentu banyak kaum miskin. Mereka merayakan odalan begitu suntuk, berharap dewa-dewa senang, dan memberi berkah dengan penuh suka cita.

Karena itu dari dulu hingga kini Bali selalu berlumur festival. Bedanya, dulu festival itu khusyuk, wujud spiritualisme, kini nyaris selalu berarti hiburan. Dulu, petani-petani Bali berfestival untuk menunjukkan bakti kepada Hyang Widhi lewat persembahan dan pementasan seni, sekarang banyak yang menggelar untuk unjuk gigi, betapa ruang publik harus terus menerus dipasok dengan bermacam hiburan, agar rakyat terlena, lupa pada kesulitan hidup sehari-hari.

Tentu tidak hebat jika festival-festival itu cuma menyuguhkan hiburan. Maka festival harus membawa-bawa wacana kreativitas. Agar festival itu sah, ditunggu-tunggu, dihargai, dan merupakan refleksi dari gerakan intelektual, lomba kreativitas pun harus digelar. Festival-festival itu kemudian menjadi wahana meningkatkan harkat hidup. Yang hebat dihargai, yang kalah dipacu, yang kurang mampu dibantu untuk menemukan kehebatannya. Dalam festival selalu dirancang masa depan. Kalaupun yang digelar idiom-idiom masa lalu, harus dicari-cari dan diupayakan, semua itu untuk hari nanti, buat perbaikan hidup anak-cucu, untuk mengubah nasib.

Banyak orang Bali yakin, perubahan nasib bisa dipetik dari penyelenggaraan festival. Mereka menyelenggarakan festival di pura, berdoa ketika odalan, adalah satu upaya mohon perbaikan nasib, selain mohon keselamatan. Karena orang Bali doyan berkesenian, mereka pun terus menerus berfestival. Kalau dicermati, orang Bali itu bekerja, bekerja, bekerja, dengan berfestival.

Suka atau tidak suka, Bali memang kaya dengan festival. Miskin atau tidak miskin, orang Bali memang saban hari berfestival. Kota-kota di Bali berlomba-lomba menggelar festival, menyuguhkan atraksi yang meriah, dan selalu diupayakan untuk meraih rekor. Kota-kota di Bali menggelar festival dengan suguhan penari terbanyak, misalnya, tak lagi peduli seperti apa mutu pertunjukan yang disuguhkan. Yang penting ramai, meriah, wah, penuh tawa, dan membuat orang terheran-heran. Festival-festival itu akhirnya menimbulkan kesan, betapa semua itu untuk hiburan.

Di Bali, falsafah Jawa mangan ora mangan ngumpul (makan tidak makan yang penting kumpul), berbiak menjadi miskin atau tidak miskin, yang penting berfestival. *

Komentar