Godok UU Sapu Jagat tentang Politik
DPR Sebut Putusan ‘Parliamentary Threshold’ Jadi Bahan Revisi
DPR akan melakukan kajian terkait putusan MK terhadap sistem politik tersebut karena MK pun membuka ruang untuk DPR menyusun norma baru
JAKARTA, NusaBali
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan revisi Undang-Undang (UU) atau penyusunan Undang-Undang Sapu Jagat (Omnibus Law) tentang politik akan segera masuk pembahasan. Dasco mengatakan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) soal ambang batas parlemen atau parliamentary threshold juga akan menjadi bahan pembahasan ketika revisi dan penyusunan UU Sapu Jagat tersebut.
Sejauh ini, Dasco mengatakan bahwa DPR belum memutuskan bahwa poin-poin dari putusan MK itu, baik presidential threshold maupun parliamentary threshold, akan dibahas menjadi UU atau Omnibus Law karena menunggu masa reses selesai pada 15 Januari. Namun, putusan MK itu bersifat final dan mengikat yang wajib ditaati. “Nah bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang di-omnibus-kan itu nanti belum kita putuskan,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/1).
Menurut dia, DPR akan melakukan kajian terkait putusan MK terhadap sistem politik tersebut karena MK pun membuka ruang untuk DPR menyusun norma baru. Kajian itu pun, kata dia, akan membahas agar produk undang-undang tak menyalahi aturan yang ada. “Dan juga ada keinginan MK juga bahwa jangan sampai calon presiden terlalu banyak atau juga terlalu sedikit,” kata dia.
Pada Kamis (2/1), MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ketentuan itu, capres-cawapres hanya bisa diusung partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI, atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada Pemilu Legislatif sebelumnya. Pada 29 Februari 2024, MK juga telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem untuk menghapus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK menilai kebijakan ambang batas parlemen telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika calon yang dipilih mendapatkan suara lebih banyak, namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
Sementara pengamat politik dari Universitas Brawijaya Andhyka Muttaqin menyatakan keputusan MK terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) meminimalkan terjadinya politik transaksional. “Dengan dihapusnya PT setiap partai politik berpeluang maju sendiri tanpa harus 'menyewa' dukungan partai lain. Artinya, politik transaksional berkurang,” kata Andhyka di Kota Malang, Selasa.
Dia menjelaskan selama menggunakan sistem PT, partai politik yang tak memiliki perolehan suara minimal 20 persen harus membangun koalisi agar bisa memenuhi syarat pencalonan. Kondisi tersebut disebutnya kerap memicu munculnya politik transaksional di balik layar atau dengan kata lain keputusan politik lebih berorientasi pada bagi-bagi kekuasaan dibanding kepentingan rakyat. “Dihapuskannya PT juga membuat kontestasi politik bisa lebih sehat karena fokus pada adu gagasan, bukan sekadar lobi politik,” ujarnya.
Andhyka menyatakan tanpa adanya ambang batas pencalonan, setiap partai politik sudah tidak perlu lagi membentuk koalisi besar untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu). Hal itu dinilainya mampu membuka peluang bagi lebih banyak calon tampil di panggung politik. “Implikasinya masyarakat memiliki lebih banyak pilihan pemimpin. Ini tentu selaras dengan semangat demokrasi yang mengedepankan keterbukaan,” ucap dia.n ant
Komentar