nusabali

Suguhkan Kesederhanaan Bali Zaman Ilu

Pameran Duatmika dan Suastama di Santrian, Sanur

  • www.nusabali.com-suguhkan-kesederhanaan-bali-zaman-ilu
  • www.nusabali.com-suguhkan-kesederhanaan-bali-zaman-ilu

Kayu-kayu yang besar penahan air sudah berkurang. Dulu air di sungai ketika hujan empat hari air masih besar mengalir. Kalau sekarang kan banjir, air mengalir terlalu cepat dan bisa menghasilkan erosi.

DENPASAR, NusaBali 
Dua pelukis kawakan Bali, Made Duatmika, 54, dan Wayan Suastama,53, menjadi saksi perubahan yang terjadi di tanah kelahirannya. Lewat karya lukis, mereka membawa kita kepada memori indah tentang kesederhanaan. Kedua seniman potret rasa dan kerinduan terhadap zaman ilu (dulu).

Pameran bertajuk Path of Time, a Returning di Santrian Art Gallery, Sanur, menghadirkan masing-masing 16 karya dari pelukis yang telah malang melintang melakukan pameran di dalam maupun luar negeri. Pameran digelar 10 Januari hingga 28 Februari 2025 dibuka oleh pelukis senior Bali I Made Djirna,67. Pameran karya-karya Made Duatmika dan Wayan Suastama berbagi kerinduan akan kenangan kenangan masa kecil, dengan hal-hal yang tidak lagi sama seperti masa kanak-kanak mereka.

Duatmika dan Suastama, dua sahabat yang telah terlibat dalam lingkaran seni yang sama sejak muda, berbagi kenangan-kenangan dari latar belakang kehidupan di desa. Duatmika berasal dari Desa Mendoyo Dangin Tukad, Kecamatan, Mendoyo, Jembrana, dan Suastama dari Desa Selabih, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan, masing-masing dengan budaya lokal yang sama meskipun dengan karakter berbeda. 

Kedua seniman merasakan kerinduan terhadap ‘tempoe doeloe’ bukan hanya rumah tinggal yang merupakan tempat fisik, tetapi sebagai masa, kenangan akan rumah masa kecil yang kini terasa berbeda. Kerinduan ini menjadi benang merah dalam karya mereka.

Duatmika yang akrab disapa Bodrek mengungkapkan kenangan masa kecilnya dengan warna dan emosi yang sangat ekspresif, dengan fokus pada kerbau air, sebuah simbol budaya Jembrana. Karyanya memadukan kesederhanaan memori-memori yang sangat polos dengan teknik warna dan tekstur yang matang. 

Dalam pameran Path of Time, a Returning, dia mengomunikasikan kenangan masa lalu dengan humor dan kehangatan, menciptakan karya yang penuh dengan keceriaan dan nostalgia. 

“Karya saya lebih dominan menggambarkan kerbau dan burung. Dalam karya ini kerbau merupakan simbol saya bekerja, itu simbol saya semangat dan burung juga simbol kebebasan saya berimajinasi,” ujarnya ditemui di sela pembukaan pameran, Jumat (10/1) malam. 

Pelukis yang pernah berpameran di India hingga Korea Selatan ini mengaku tertegun melihat perubahan yang begitu cepat di Bali khususnya di desa tempat kelahirannya. 

Alumnus ISI Denpasar ini tak memungkiri banyak kemajuan telah terjadi. Namun, ada juga hal-hal sederhana yang kini hanya ada dalam ingatannya. 

“Perbedaannya sangat jauh. Kalau dulu kami hidup tanpa Listrik, jalannya masih becek karena belum beraspal, tidak ada lampu. Tapi, kami merasa senang sekali karena merasa menyatu dengan alam. Dibandingkan dengan sekarang serba mudah,” ucapnya. 

Menurutnya, kemajuan yang diraih saat ini perlahan telah memutus hubungan manusia dengan alamnya. Tak jarang, anak-anak zaman sekarang kagok bukan main berhadapan dengan hal-hal sederhana, seperti lumpur di sawah. 

“Menurut saya anak zaman sekarang dengan dulu itu tidak mengerti dengan suasana alam. Anak sekarang kurang peka tentang dimana harus berpijak. Umpamanya, jalannya becek dia tidak tidak tahu lmpur, jalan di pematang sawah saja dia tidak bisa,” kata Duatmika. 

Setali tiga uang, Suastama juga merasakan perbedaan yang dialaminya ketika kanak-kanak dengan masa sekarang. Perupa yang juga alumnus ISI Denpasar ini masih ingat bagaimana takutnya dia masuk hutan karena terkesan ‘angker’ dengan banyaknya pepohonan besar di dalamnya. Namun, kini orang dengan mudahnya keluar masuk hutan setiap hari. Karena hutan sudah berubah menjadi kebun untuk menanam tanaman pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 

“Kayu-kayu yang besar penahan air sudah berkurang. Dulu air di sungai ketika hujan empat hari air masih besar mengalir. Kalau sekarang kan banjir, air mengalir terlalu cepat dan bisa menghasilkan erosi,” ujarnya. 

Karya-karya Suastama terinspirasi oleh filosofi Hulu dan Teben, menggabungkan elemen tradisional dengan eksplorasi imajinatif yang bebas. Karya-karyanya menunjukkan keseimbangan antara manusia, alam, dan hewan. Kemungkinan bisa diterjemahkan simbol-simbol seperti harimau sebagai lambang kekuatan dan keseimbangan ekosistem yang kini rapuh. Emas dalam karyanya berkesan nilai kehidupan yang berharga dan hubungan spiritual antara semua makhluk hidup. 

Salah satu karyanya berjudul Ibu dan Bapak menggambarkan dengan jelas bagaimana pohon-pohon sebagai orangtua yang memberikan penghidupan bagi anak-anaknya. 

“Karya ini menceritakan tentang nostalgia waktu saya masih di kampung masa kecil sering ke alam. Hutan ini kan memberikan pelindungan, rahim bagi kehidupan. Khususnya di Tabanan hutan memberikan sebuah kekuatan air untuk ke teben (pertanian),” ungkap Suastama.7adi 

Komentar