MUTIARA WEDA: Politik, Kotor atau Bersih?
Om Bhūr Bhuvaḥ Swāha Tat Savitur Vāreṇyaṃ Bhargo Devasya Dhīmahi Dhiyo Yo Nāḥ Prachodayāt (Rigveda 3.62.10)
Suara kosmik suci yang berada dalam dimensi fisik, mental, dan spiritual, terpujilah cahaya ilahi yang berasal dari Savitar (dewa matahari), kami merenungkan kemuliaan Tuhan yang murni, semoga cahaya ilahi ini membimbing pikiran kami.
DALAM sebuah kegiatan Mahasabha waktu ini, ada dua pemikiran yang saling bertentangan muncul dari para pemateri. Pertama, pemikiran bahwa politik itu sepenuhnya kotor, orang yang berkecimpung di dalamnya tidak akan pernah bisa sepenuhnya dalam kebenaran, karena sistem politik itu tidak mengizinkannya. Sistem politik adalah kekotoran itu sendiri.
Mereka yang terlibat di dalamnya akan secara otomatis terkontaminasi, dan alat yang paling efektif untuk mengekspresikan ambisinya atas kekuasaan dan kekayaan. Politik itu sepenuhnya kepentingan, utamanya adalah untuk kepentingan pribadi yang dibalut dengan jargon kepentingan masyarakat. Sementara, yang lainnya, yang diikuti oleh sebagian besar audience, sepakat bahwa untuk menegakkan kebenaran, justru politik adalah salah satu media/alat yang paling kuat. Kebenaran tidak mungkin dimenangkan tanpa keterlibatan dalam politik. Mereka mengatakan bahwa kejahatan merajalela oleh karena orang baik tidak bersuara. Agar suara orang-orang baik itu didengar, maka politiklah kendaraan yang paling tepat.
Dari kedua pemikiran tersebut, yang mana ‘yang benar’ atau ‘yang lebih benar’? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita minta pertimbangan dari teks Rigveda di atas. Pertama, Tat Savitur Vāreṇyaṃ. Ada kemuliaan, yang terpuji, yang luar biasa yang muncul dari ufuk timur. Cahaya yang tiba-tiba menerobos kegelapan malam. Kegelapan pekat tiba-tiba sirna atas kehadiran-Nya, Savitar. Kedua, Bhargo Devasya Dhīmahi. Oleh karena itu, kita mesti berkontemplasi pada sinar Ilahi tersebut. Kita harus membawa kejadian tersebut ke dalam, sebab di dalam diri, kepekatan (avidya) yang sama menyelimuti pikiran. Savitar (sinar) mesti hadir di dalam pikiran agar kegelapan yang selama ini membekukan kehidupan terkelupas. Ketiga, Dhiyo Yo Nāḥ Prachodayāt. Seperti itulah nature dari cahaya, tidak menyisakan sedikitpun gelap. Hanya dengan kehadirannya saja, gelap mendadak kehilangan kekuatannya. Hanya dengan kehadiran cahaya pengetahuan saja, avidya mendadak paralyzed.
Dari pesan teks di atas dapan dilihat bahwa ada 2 kekuatan yang saling berseberangan: terang dan gelap. Sejatinya hanya ada 1 kekuatan, yakni terang saja. Sebab, gelap memiliki kekuatan hanya ketika terang tidak hadir. Jadi, pemikiran pertama yang menyatakan bahwa politik itu sepenuhnya kotor adalah cara pandang pesimistik, stand point-nya berada pada kekuatan gelap. Oleh karena politik itu sejalan dengan maya (materi) dan orang yang berkendara di atasnya juga diliputi oleh maya (kegelapan, avidya), makanya dengan melepaskan kendaraannya adalah salah satu cara untuk melemahkan kekuatan gelap itu. Bahkan orang yang sudah terang pun, ketika mengendarai kendaraan maya, tendensi untuk terseret sangat besar, apalagi orang yang masih berada dalam kegelapan dan mengendarai kendaraan yang juga gelap, dipastikan patikaplug. Jadi, orang yang berupaya menemukan cahaya dengan stand point ini (dengan pendekatan pesimistik) akan selalu menghindari berbagai hal yang dipikir sebagai maya (seperti politik, kekayaan, kenikmatan duniawi, dan yang lainnya). Begitulah drama mereka.
Sementara itu, pemikiran kedua, bahwa orang yang telah terang mesti aktif melawan kegelapan dengan cara bersuara lantang melalui media politik. Ini adalah pendekatan optimistik. Politik hanya alat kendaraan. Alat boleh bengkok boleh lurus, tidak masalah itu maya. Untuk mencapai cahaya, maya mesti kita gunakan. Kaum optimistik berpendapat bahwa kegelapan tidak akan mampu menghilangkan kegelapan dalam rangka memperoleh terang. Maya (tubuh dan pikiran) ini mesti digunakan agar terang itu hadir. Berada di panggung politik adalah salah satu lakon drama kehidupan. Jika kemudian politik itu menggilasnya, maka itulah samsara. Lakonnya seperti itu saja. Jika kemudian drama itu bisa diselesaikan dengan baik, maka lakon itu pun selesai. Yang ada kemudian hanya sang diri sejati yang tidak sedang berada dalam lakon. Maka inilah cahaya. Politik itu hanya lakon kehidupan, dan biarlah itu dalam gelap, sebab yang diperjuangkan pun hanya sebatas fisik. Sejatinya kita sendiri adalah cahaya itu. 7
1
Komentar