Benarkah Tidak Boleh Keramas Sehari jelang Tumpek Wayang?
Tumpek Wayang
Kala Tattwa
Ida Pandita Kebayan
Dharma Wacana
Hindu Bali
Sulinggih
Melukat
Bhatara Kala
Niskala
Mistis
DENPASAR, NusaBali.com - Menjadi perbincangan di masyarakat Hindu Bali bahwa setiap Sukra Wage Wayang atau satu hari sebelum Tumpek Wayang, pantang bagi seseorang untuk berkeramas. Benarkah demikian dan apa dasar sastranya?
Jumat (17/1/2025) ini bertepatan dengan H-1 hari suci Saniscara Kliwon Wayang alias Tumpek Wayang. Sebagian tetua di rumah pasti ada yang sudah memperingati anak cucunya agar tidak berkeramas, meski tidak dijelaskan lebih lanjut mengapa seperti itu.
Ida Pandita Sri Rastra Shiwananda memberikan penjelasan mengenai pantangan ini. Sulinggih yang akrab disapa Ida Pandita Kebayan ini memang kerap menyampaikan pencerahan dharmanya dan berinteraksi dengan umat melalui media sosial.
Melalui unggahan di Facebook, Selasa (14/1/2025), Ida Pandita menuturkan bahwa pantangan membersihkan kepala baik berkeramas dan melukat sehari jelang Tumpek Wayang berkaitan dengan kisah kelahiran Bhatara Kala. Hal ini berdasarkan sastra lontar Kala Tattwa.
“Pada wuku Wayang terjadi pertarungan antara Dewa Siwa dan Bhatara Kala dan pada hari Jumat wuku ini, kekuatan Bhatara Kala mamurti dan bahkan mengungguli Dewa Siwa,” tutur Ida Pandita Kebayan.
Lanjut Ida Pandita asal Geria Tapowana Pujung Sari, Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan ini, energi Bhatara Kala yang mamurti (memadat) menyusupi air. Oleh karena itu, air di hari kulminasi energi Kala ini dianggap leteh (tercemar).
Sementara itu, menurut lontar Kala Tattwa, Bhatara Kala lahir dari air mani Dewa Siwa yang jatuh di tengah lautan. Air mani itu mengguncang samudera.
Berkat yoga Dewa Brahma dan Wisnu, air mani itu menyatu dan melahirkan wujud raksasa yang ‘besar dan luar biasa.’
Raksasa itu lantas mengguncang semesta untuk mencari tahu siapa ayah dan ibunya. Para dewata pun turun tangan, namun tidak mampu menandingi kekuatan sang raksasa yang sejatinya tidak ingin berperang tetapi hanya ingin mengetahui sosok orangtuanya.
Para dewata lantas mengadu kepada Dewa Siwa. Kemudian, terjadi pertempuran dahsyat antara Dewa Siwa dan sang raksasa. Namun, Dewa Siwa sekalipun tidak mampu mengalahkan raksasa itu yang merupakan perwujudannya sendiri yakni putranya.
Singkat cerita, akhirnya diketahui bahwa raksasa itu adalah putra Dewa Siwa sendiri. Sang raksasa lantas dianugerahi Dewa Siwa dan mendapat gelar Sang Hyang Kala. Dari sisi ibu, Dewi Uma memberi gelar Bhatara Durga (di Pura Dalem) dan Jutisrana (di Bale Agung).
Lantas, apakah artinya setiap aktivitas yang berkaitan dengan air menjadi pantang? Ida Pandita mempertegas bahwa pantangan ini dalam konteks membersihkan kepala seperti melukat, berkeramas, dan lainnya. Sebab, kepala dianggap sebagai pusat citta (pikiran).
“(Air) berkeramas itu mengenai kepala. Kekuatan Kala akan sangat mempengaruhi pikiran, ketenangan dan kesucian dari pikiran tersebut,” beber Ida Pandita Kebayan yang madwijati di Hari Suci Saraswati tahun 2022 silam.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang hari lahirnya di Sukra Wage Wayang, Jumat ini? Ida Pandita yang saat walaka bernama dr I Putu Budi Wibawa Supartika SpPD ini menjelaskan bahwa melukat sebagai bagian dari upacara pabayuhan oton sangat boleh dan dianjurkan.
Di sisi lain, sehari jelang Tumpek Wayang, umat Hindu di Bali juga memasang seselat, biasanya berupa daun pandan berduri yang dilukis tapak dara (palang) dengan cairan pamor (kapur laut). Seselat ini dipasang di pintu masuk rumah, kamar, dan lain-lain sebagai penangkal bala. *rat
Ida Pandita Sri Rastra Shiwananda memberikan penjelasan mengenai pantangan ini. Sulinggih yang akrab disapa Ida Pandita Kebayan ini memang kerap menyampaikan pencerahan dharmanya dan berinteraksi dengan umat melalui media sosial.
Melalui unggahan di Facebook, Selasa (14/1/2025), Ida Pandita menuturkan bahwa pantangan membersihkan kepala baik berkeramas dan melukat sehari jelang Tumpek Wayang berkaitan dengan kisah kelahiran Bhatara Kala. Hal ini berdasarkan sastra lontar Kala Tattwa.
“Pada wuku Wayang terjadi pertarungan antara Dewa Siwa dan Bhatara Kala dan pada hari Jumat wuku ini, kekuatan Bhatara Kala mamurti dan bahkan mengungguli Dewa Siwa,” tutur Ida Pandita Kebayan.
Lanjut Ida Pandita asal Geria Tapowana Pujung Sari, Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan ini, energi Bhatara Kala yang mamurti (memadat) menyusupi air. Oleh karena itu, air di hari kulminasi energi Kala ini dianggap leteh (tercemar).
Sementara itu, menurut lontar Kala Tattwa, Bhatara Kala lahir dari air mani Dewa Siwa yang jatuh di tengah lautan. Air mani itu mengguncang samudera.
Berkat yoga Dewa Brahma dan Wisnu, air mani itu menyatu dan melahirkan wujud raksasa yang ‘besar dan luar biasa.’
Raksasa itu lantas mengguncang semesta untuk mencari tahu siapa ayah dan ibunya. Para dewata pun turun tangan, namun tidak mampu menandingi kekuatan sang raksasa yang sejatinya tidak ingin berperang tetapi hanya ingin mengetahui sosok orangtuanya.
Para dewata lantas mengadu kepada Dewa Siwa. Kemudian, terjadi pertempuran dahsyat antara Dewa Siwa dan sang raksasa. Namun, Dewa Siwa sekalipun tidak mampu mengalahkan raksasa itu yang merupakan perwujudannya sendiri yakni putranya.
Singkat cerita, akhirnya diketahui bahwa raksasa itu adalah putra Dewa Siwa sendiri. Sang raksasa lantas dianugerahi Dewa Siwa dan mendapat gelar Sang Hyang Kala. Dari sisi ibu, Dewi Uma memberi gelar Bhatara Durga (di Pura Dalem) dan Jutisrana (di Bale Agung).
Lantas, apakah artinya setiap aktivitas yang berkaitan dengan air menjadi pantang? Ida Pandita mempertegas bahwa pantangan ini dalam konteks membersihkan kepala seperti melukat, berkeramas, dan lainnya. Sebab, kepala dianggap sebagai pusat citta (pikiran).
“(Air) berkeramas itu mengenai kepala. Kekuatan Kala akan sangat mempengaruhi pikiran, ketenangan dan kesucian dari pikiran tersebut,” beber Ida Pandita Kebayan yang madwijati di Hari Suci Saraswati tahun 2022 silam.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang hari lahirnya di Sukra Wage Wayang, Jumat ini? Ida Pandita yang saat walaka bernama dr I Putu Budi Wibawa Supartika SpPD ini menjelaskan bahwa melukat sebagai bagian dari upacara pabayuhan oton sangat boleh dan dianjurkan.
Di sisi lain, sehari jelang Tumpek Wayang, umat Hindu di Bali juga memasang seselat, biasanya berupa daun pandan berduri yang dilukis tapak dara (palang) dengan cairan pamor (kapur laut). Seselat ini dipasang di pintu masuk rumah, kamar, dan lain-lain sebagai penangkal bala. *rat
Komentar