MUTIARA WEDA: Antara Instink dan Kecerdasan
Tan mātā parthivī́ tat pitar dyáuḥ (Sukla Yajurveda XXV)
“Ibu (mātā) adalah bumi (parthivī́), ayah (pitar) adalah langit (dyáuḥ).”
DALAM sebuah diskusi yang dilaksanakan oleh CDS pada 17 Januari 2025 di Wartam mengemuka bahwa persoalan sampah di Bali belum selesai dan bahkan kondisinya semakin memburuk. Termasuk yang menjadi sorotan adalah sampah plastik karena tidak bisa terurai dan sangat mencemari lingkungan.
Sampah bersumber baik dari domestik maupun sampah upakara. Dalam diskusi dinyatakan bahwa penggunaan plastik tidak bisa dihindarkan sebab kepraktisannya sangat meringankan pekerjaan masyarakat baik di rumah tangga maupun dalam kegiatan upacara agama. Oleh karena itu pengurangan penggunaan plastik menjadi kunci, sebab dari semua jenis sampah plastik, hanya 9 persen yang bisa di-recycle. Namun, apakah pengurangan ini bisa dijadikan tolak ukur untuk kelestarian lingkungan, pollution free secara menyeluruh? Penggunaan plastik hanya salah satu ekspresi dari attitude manusia. Utamanya adalah persoalan kesadaran.
Bagaimana kesadaran manusia terhadap lingkungan hidupnya secara makro? Kita bisa mengacu pada teks di atas. Teks menyajikan hal yang sangat holistic dan humanis dalam menyelesaikan persoalan. Dikatakan bahwa bumi dan langit itu adalah orangtua kita, ibu dan bapak. Alam menjadi sedekat itu. Namun, saat masuk kesadaran manusia, teks memiliki dua makna yang konsekuensinya berbeda. Nilai pertama, alam sekitar adalah ayah dan ibu, keberadaannya sangat dekat, oleh karena itu, sudah menjadi tugas alam untuk menyediakan segala kebutuhan semua makhluk yang ada di atas bumi di bawah langit. Karena alam telah menyediakan, maka kita bisa menggunakannya untuk semua kebutuhan dan keinginan kita. Resource yang ada sepenuhnya untuk kebutuhan kita.
Nilai kedua, oleh karena alam ini adalah ayah dan ibu, maka kita tidak bisa menyakitinya. Kita harus tetap menjaga ibu dan bapak dengan penuh kasih sayang, jangan sampai terluka. Mengeksploitasi-nya secara berlebih berarti membuatnya luka. Tindakan demikian tidak benar. Mengambil kekayaan secara berlebih dari alam sama dengan memperkosa orangtua sendiri. Seperti halnya kita harus menyayangi kedua orangtua, memperkosa alam secara moral menjadi tidak benar.
Dari kedua nilai tersebut, konsekuensinya jelas. Nilai pertama akan menimbulkan kehancuran, sementara kedua menjadikan alam tetap lestari. Persoalannya, yang dipraktikkan hanya nilai pertama, sementara nilai kedua didiskusikan. Semua orang tahu kedua nilai ini beserta konsekuensinya. Namun tetap, secara praktik, nilai nomor dua selalu sepi peminat. Mengapa demikian? By design, secara insting keberadaan manusia dirancang untuk egois, serakah, eksploitatif, manipulatif, dan mementingkan diri sendiri. Manusia sebagian besar digerakkan oleh instingnya dan sebagian kecil oleh kecerdasannya. Kalaupun kecerdasan bekerja, kemampuannya hanya sebatas mendiskusikan hal-hal yang baik. Ketika mengarah ke praktik, kecerdasan digantikan sepenuhnya oleh insting itu.
Contoh: Bali memiliki konsep kosmologi luar biasa, Tri Hita Karana, ajaran sad kerti, tat tvam asi, dan yang lainnya yang berhubungan dengan sustainability ekosistem. Konsep tersebut diajarkan secara sistematis di sekolah, dijadikan bahan acuan seminar, menjadi jargon para pemimpin, dan menjadi kebanggaan dalam setiap diskusi. Lalu apa? Hutan menipis, danau tercemar, lahan sawah berkurang, subak menipis, sampah berserakan, sungai kotor, pantai terjual. Artinya apa? Nilai kedua itu selalu diperbincangkan, diajarkan, dijadikan acuan, dan bahkan diperjuangkan. Namun ketika praktik, nilai pertamalah yang jalan. Antara kecerdasan dan insting selalu ‘matungkas’, tidak pernah sinkron. Ketika kebutuhan dihadapkan dengan idealitas, need selalu didahulukan.
Lalu bagaimana? Bagi mereka yang optimistis, kerusakan bisa dihindarkan dengan mempraktikkan nilai-nilai tersebut. Mereka berkata, “belum terlambat, masih ada waktu untuk memperbaiki diri, melakukan perbaikan”. Namun, mereka yang pesimistis berkata, “jika insting selalu merecoki tindakan manusia, mustahil rasanya kecerdasan berkuasa, semakin didiskusikan, semakin meluas kerusakannya”. Pessimist melihat tidak ada ruang untuk solusi, karena solusi itu milik kecerdasan, bukan insting. Teks di atas akan dipraktikkan secara insting sehingga kehancuran hanya persoalan waktu. Mungkin inilah yang dinyatakan oleh purana, bahwa pralina itu terjadi berulang kali untuk mengawali yuga baru. 7
Komentar