nusabali

Bali Mimpikan Transportasi Publik Terintegrasi

  • www.nusabali.com-bali-mimpikan-transportasi-publik-terintegrasi

Pengembangan transportasi massal di Bali harus menjadi salah satu prioritas pemerintah saat ini. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, kemacetan yang ada saat ini akan semakin membesar jika tidak dicarikan solusi cepat.

DENPASAR, NusaBali
Penghentian operasi layanan bus Trans Metro Dewata (TMD) per 1 Januari 2025 menuai kontroversi di tengah masyarakat (krama) Bali. Banyak pihak menyayangkan karena layanan transportasi publik di kawasan metro Denpasar atau Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) itu hilang. 

Namun, tidak sedikit pula yang menyebutkan hal berbeda. Selama empat tahun beroperasi bus berkelir merah belum optimal mengajak masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Apa pun itu, kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan Bali selatan nyatanya sudah banyak yang mengeluhkan. Bukan saja wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan Bali, namun juga warga lokal sendiri yang mulai gerah dengan perubahan Bali yang begitu cepat. 

Ketua Masyarakat Transportasi (MTI) Bali Dr Ir I Made Rai Ridartha, ATD, MEng.Sc, DiplUG ATU mengatakan, adanya layanan transportasi massal di wilayah perkotaan merupakan keniscayaan. Tidak ada kota besar di dunia yang tidak mengembangkan sistem transportasi massal dalam tata kelola perkotaannya. Sistem transportasi yang terpadu menjadi bagian dari layanan publik dan strategi mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang menyebabkan kemacetan parah. 

Oleh karena itu, dari sisi regulasi, termasuk di Indonesia, pemerintah diwajibkan menyediakan layanan transportasi umum sebagai pelayanan terhadap publik. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 139 mewajibkan, baik pemerintah (pusat), pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, menyediakan angkutan umum sebagai jasa angkutan orang dan atau barang. Dalam hal ini pemerintah pusat berkewajiban menyelenggarakan angkutan umum lintas provinsi, pemerintah provinsi menyediakan angkutan umum antarkota dalam provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota menyediakan angkutan umum dalam wilayah masing-masing. 

”Dengan baiknya layanan transportasi publik berarti kemacetan bisa dikurangi karena orang sudah bepergian menggunakan layanan transportasi publik,” ujar Rai Ridartha kepada Nusa Bali, Sabtu (25/1).

Rai Ridartha menyebutkan masyarakat Bali terlalu lama dimanjakan dengan transportasi pribadi khususnya sepeda motor. Padahal naik bemo dan bus sempat lazim bagi masyarakat perkotaan Bali. Fleksibilitas sepeda motor yang mampu membawa sampai ke tempat tujuan dan fasilitas kredit murah untuk membeli sepeda motor jadi tantangan yang membuat masyarakat enggan beralih ke transportasi umum. Hal itu ditambah layanan transportasi umum yang disediakan pemerintah masih jauh dari kata sempurna. Bus TMD (Trans Metro Dewata) bahkan kalah saing dengan layanan transportasi online baik sepeda motor maupun mobil. 

Foto: Bus Trans Metro Dewata –SURYADI

Belum tersedianya layanan feeder (pengumpan) atau shuttle bus menjadikan masyarakat kesulitan mengakses tempat-tempat yang jauh dari stasiun pemberhentian atau halte bus. Rai Ridartha mengatakan, keberadaan TMD yang merupakan bantuan pemerintah pusat sejak 2020, sebetulnya bisa jadi pemantik pemerintah daerah mengembangkan layanan publik terintegrasi. Melayani 6 koridor, TMD menjangkau wilayah empat kabupaten/kota. 

Sayangnya, layanan feeder atau shuttle bus di masing-masing wilayah, jika mengacu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 merupakan kewajiban pemerintah kabupaten/kota, tidak pernah terealisasi hingga saat ini.  

Kawasan wisata rawan kemacetan, seperti Kuta, Canggu, Nusa Dua, Ubud, Sanur, dan pusat Kota Denpasar, sudah sepantasnya memiliki layanan transportasi umum (shuttle bus) di dalamnya. Jika layanan shuttle bus ini terintegrasi dengan layanan transportasi antarkota seperti TMD, maka antusiasme masyarakat menggunakan transportasi publik yakin akan jauh meningkat.

”Feeder ini yang menyebabkan load factor (keterisian) TMD  itu menjadi agak rendah sekitar 25 persen. Jadi sebetulnya orang bisa memanfaatkan TMD ini, tapi karena agak jauh (dari halte) dia tidak mau malas berjalan,” ungkap Rai Ridartha.

Menurut Rai Ridartha, TMD didesain untuk melayani masyarakat dalam radius 500 meter dari halte. Dengan perhitungan demikian, tingkat load factor bus TMD seharusnya bisa lebih dari 40 persen. Di sisi lain, dia juga menyayangkan rendahnya budaya jalan kaki di Bali. Padahal berjalan kaki 500 meter sudah masuk standar dunia untuk mengakses stasiun atau halte angkutan umum. ” Orang sekarang 50 meter saja tidak mau jalan padahal di depan rumahnya ada sebenarnya bus. Tapi, karena harus berjalan dulu keluar rumah malas dia,” keluhnya.   

Rai Ridartha mendorong kolaborasi pemerintah daerah di Bali khususnya di wilayah Sarbagita untuk mulai membangun jaringan transportasi massal. Menurutnya alasan anggaran tidak sepantasnya dipakai untuk menangguhkan salah satu layanan publik. Apalagi, amanat undang-undang memerintahkan pemerintah menyediakan layanan angkutan umum. Kata Rai Ridartha, sudah sepatutnya pemerintah daerah menyisihkan anggaran yang tentunya juga disesuaikan dengan kekuatan fiskal yang dimiliki. 

”Sekecil apapun uang pemerintah itu tetap harus ada porsi wajib untuk menyiapkan transportasi publik. Kabupaten Badung misalnya, uangnya kan besar. Masak sih nggak ada uang untuk transportasi publik. Kenyataannya Badung sendiri kan tidak punya transportasi publik sampai sekarang, satu pun tidak punya,” kritik Rai Ridartha. 

Foto: Bus Trans Sarbagita –SURYADI 

Rai Ridartha menegaskan, pengembangan transportasi massal di Bali harus menjadi salah satu prioritas pemerintah saat ini. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, kemacetan yang ada saat ini akan semakin membesar jika tidak dicarikan solusi cepat. Proyek mercusuar kereta LRT bawah tanah, sebutnya, mungkin dapat menjadi solusi jangka panjang, namun masyarakat Bali juga perlu solusi yang lebih cepat. Toh, pada akhirnya jika benar-benar terealisasi kereta LRT juga akan terintegrasi dengan layanan transportasi massal lainnya. 

Rai Ridartha mengatakan layanan transportasi massal lintas kota seperti TMD harus dikembalikan keberadaannya. Masyarakat yang selama ini menggunakan layanan tersebut merupakan modal awal menumbuhkan budaya penggunaan transportasi massal di tengah masyarakat Bali. Sembari mempersiapkan layanan feeder atau shuttle yang dibangun pemerintah kabupaten/kota di sentra-sentra bisnis di wilayah masing-masing. 

”Kita sudah usulkan ada Kuta Circular (layanan shuttle bus), kemarin dihitung oleh konsultan perlu Rp 58 miliar per tahun, kalau tidak salah. Itu dari Sentral Parkir Kuta-Bandara Ngurai Rai-Canggu muter-muter. Kita sedang dorong juga Gianyar untuk Ubud biar agak lengang bangun sentral parkir di luar Ubud, jangan di tengah-tengah Ubud. Kalau itu sudah dibangun kita bisa stop orang yang datang, kita siapkan shuttle,” tandas Rai Ridartha. 

Sementara di Kota Denpasar saat ini tengah dibangun layanan shuttle bus di kawasan wisata Sanur. Kepala Dinas Perhubungan Kota Denpasar I Ketut Sriawan mengatakan tahun 2025 ini Pemkot Denpasar akan mengoperasikan layanan shuttle bus di kawasan Jalan Danau Tamblingan. Sementara itu untuk di tengah kota, Pemerintah Kota Denpasar menyiapkan layanan bus sekolah dan bus wisata untuk menekan kemacetan di pusat kota. ”Di Sanur enam unit shuttle bahkan kami siapkan bus listrik,” ujar Sriawan. 

Kolaborasi antarpemerintah daerah mengembangkan layanan transportasi publik sudah diwacanakan Gubernur Bali terpilih Wayan Koster. Dalam beberapa kesempatan, Koster meyakinkan masyarakat Bali bahwa TMD akan dikembalikan keberadaannya bersanding dengan Trans Sarbagita yang juga dikelola Pemerintah Provinsi Bali. 

Koster yang meresmikan TMD saat menjabat Gubernur Bali periode 2028-2023 menegaskan, TMD harus dilanjutkan, namun dengan pengelolaan lebih baik dan efisien untuk melayani masyarakat di kawasan Sarbagita. Koster menilai upaya bersama perlu dilakukan untuk mengembalikan TMD, khususnya terkait penganggaran. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait perlu duduk bersama untuk membahas anggaran yang mencapai sekitar Rp80 miliar per tahun.

“Sesungguhnya layanan transportasi publik ini untuk warga Bali, seharusnya menjadi beban bersama Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah KabupatenKota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan atau wilayah Sarbagita. Karena ini kan program untuk wilayah Sarbagita,” ujar Koster.7adi

Komentar