Bencana Melanda Bali
HAMPIR sepanjang Desember tahun lalu hujan lebat mengguyur Bali, sepanjang hari. Banjir di mana-mana, memberi tahu warga: banyak selokan, sungai, mampet karena warga buang sampah sesuka hati ke saluran irigasi.
Hingga Januari tahun ini banyak tanah longsor, bukit-bukit runtuh, pagar roboh, sawah tergenang air, jalan-jalan tergerus, air meluber di tempat-tempat ramai dan sibuk.
Segera kita tahu: Bali dikepung bencana alam. Kesedihan makin mencekam karena puluhan orang tewas dalam bencana alam itu. NusaBali melaporkan berhari-hari daerah-daerah yang dilanda bencana, di seluruh Bali. Banyak yang menyadari betapa rentan pulau ini oleh bencana dan malapetaka.
Bali, seperti juga Jawa, Sumatera, London, Papua, Amerika, Ethiopia, India, sudah berkali-kali ditimpa bencana. Wujud bencana itu bisa sama, seperti banjir, wabah, gempa, pembunuhan massal, dan juga ledakan bom. Bencana menimpa Bali tentu sudah berkali-kali. Gunung Agung meletus tahun 1963 menewaskan ribuan orang. Bencana lain seperti banjir, lava meleleh, awan panas, tebing runtuh, menyebabkan kerusakan harta benda dan jiwa melayang.
Tahun 1965 ribuan orang Bali tewas ditebas kelewang, dibunuh oleh rekan dan kerabat sendiri. Ketika itu orang Bali membunuh orang Bali, membakar rumah mereka sambil bersorak girang. Mereka menganggap menggasak musuh, menumpas kezaliman. Dan yang disebut zalim waktu itu adalah PKI, komunisme. Itulah bencana berdarah yang tak pernah lekang dari ingatan, terutama bagi mereka berusia 8 tahun ke atas ketika rantaian pembunuhan sistematis itu terjadi.
Bencana dahsyat kembali mengguncang Bali, Sabtu, 12/10/2002, menjelang tengah malam, ketika bom diledakkan di Legian. Ratusan orang tewas, ratusan lain luka-luka, puluhan sekarat meregang nyawa. Korban bencana Bali kali ini sebagian besar orang asing, mereka yang sedang bahagia menikmati malam Minggu sembari berdisko di pub.
Berbagai istilah dilontarkan untuk tragedi berdarah itu: Sabtu Hitam, Tragedi Bali, Tragedi Kuta, Tragedi Sabtu, Bom Bali, Malam Minggu Kelabu, atau Sabtu Kelabu. Istilah apa pun yang mereka pergunakan untuk bencana itu, selalu saja sebuah pertanyaan besar muncul: kenapa yang dipilih Bali?
Ketika orang sibuk menganalisis, evakuasi korban, meningkatkan keamanan, Bali kembali menghadirkan sosoknya yang unik, dalam balutan bencana sekali pun. Seperti ketika terjadi bencana alam gunung meletus, banjir, tanah longsor, orang Bali dengan sigap menghaturkan sesaji. Mereka mohon ampun kepada Hyang Widhi karena yakin pasti ada yang keliru sehingga bencana-bencana itu terjadi. Ketika Bali dilanda banjir dan diguncang tanah longsor berkali-kali, orang-orang Bali menghaturkan sesaji guru piduka. Ketika sawah kering oleh kemarau, atau hama seperti walang sangit dan tikus merajalela, mereka juga menghaturkan sesaji mohon maaf.
Ketika bom menggelegar di Legian, mereka juga menghaturkan sesaji. Selalu saja orang Bali menganalisis bencana-bencana itu dalam wacana dan gerak vertikal. Mohon ampun pada Tuhan adalah tindakan pertama yang mereka lakukan. Mereka yakin, jika Hyang Widhi tak menghendaki pasti bencana tak terjadi.
Tak ada bencana alam atau malapetaka yang direkayasa tanpa peringatan dini. Karena terlena, tak peka lagi kita membaca tanda-tanda itu. Kita kemudian cuma bisa menghibur diri dengan mengatakan semua itu takdir. Ya, serahkan kembali ke atas, dengan doa. Begitulah cara orang Bali menghadapi masalah.
Tanpa disadari, bencana-bencana itu karena ulah kita sendiri juga. Kita mengundang bencana itu datang karena tak becus merawat alam. Beberapa kali tanah longsor menimpa, atau bangunan terperosok, karena orang-orang teledor, membangun tanpa mengindahkan tata ruang. Misalnya, dulu di tanah tergerus dan menghanyutkan bangunan itu adalah jalur sungai, kemudian dijual buat perumahan.
Pariwisata bisa dijadikan contoh bagaimana Bali tanpa disadari mengundang malapetaka, jika turisme tidak diurus dengan baik. Sudah banyak keluhan tentang pelancong berbuat gaduh, pendatang bertingkah bikin onar, demi kebebasan dan gaya hidup yang mereka nikmati. Banyak orang berpendapat, begitulah risikonya menjadi wilayah yang terbuka.
Semoga pendapat ini tidak berarti Bali bakal semakin sering ditimpa bencana dan malapetaka. Menggelar upacara dan melantunkan doa-doa tentu tidak cukup, harus ada langkah nyata untuk mengatasinya. 7
Komentar