Dorong Bentuk Forum, Panggil Pihak PT BTID
DENPASAR, NusaBali - Ketua Fraksi PDIP sekaligus Anggota Komisi I DPRD Bali, I Made Suparta mendorong pembentukan forum sekaligus mengagendakan pemanggilan terhadap PT BTID (Bali Turtle Island Development) sebagai pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura Bali di Pulau Serangan, Denpasar Selatan. Hal ini terkait dengan gaduh tentang informasi penyematan nama Pantai dan pembatasan akses warga di Pulau Serangan.
“Sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk melaksanakan instrumen pengawasan, DPRD Provinsi Bali dirasa perlu untuk membentuk forum dengan melakukan pemanggilan kepada Manajemen PT BTID, meminta klarifikasi dan menjelaskan kepada masyarakat Bali terkait persoalan yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat. Sehingga tidak menimbulkan prasangka maupun dugaan bertindak secara melawan hukum dan/atau tidak sesuai dengan norma hukum yang ada,” ujar Suparta di Denpasar, Jumat (30/1).
Politisi asal Desa Dajan Peken, Kecamatan/Kabupaten Tabanan ini menegaskan pembentukan forum dan pemanggilan pihak PT BTID tidak saja diperuntukkan sebagai format klarifikasi. Namun kata dia, DPRD Provinsi Bali juga perlu dan memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan dan evaluasi. “Sudut pandang analisis hukum bahwa kedudukan DPRD Provinsi Bali perlu menjadikan perhatian utama adalah potensi pelanggaran hukum dalam bentuk aktivitas yang memiliki dampak merugikan terhadap kekayaan negara, serta sumber daya alam yang dilindungi oleh undang-undang,” tegas advokat senior ini.
Dibeber Suparta, klarifikasi dan penjelasan kepada masyarakat Bali oleh pihak Manajemen PT BTID perlu dilakukan dengan tanpa beban yang perlu diperhitungkan, apabila pada prinsipnya pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah oleh Manajemen PT BTID dilaksanakan sesuai dengan mekanisme perizinan dan izin operasional yang telah ditetapkan. “Hal tersebut juga merupakan suatu wujud dari pelaksanaan marwah NKRI, negara yang berasaskan atas hukum, sehingga suatu pelaksanaan aktivitas sesuai dengan mekanisme perizinan dan izin operasional yang telah ditetapkan,” ujar Suparta.
“Termasuk suatu narasi tentang sesuatu juga tentu harus didasarkan atas aturan hukum terkait, sehingga dapat ditemukan unsur-unsur dari kegiatan yang dilakukan apakah memenuhi standar yang sudah ditetapkan atau telah terjadi pelanggaran hukum,” imbuh fungsionaris DPD PDIP Bali ini.
Menurut Suparta, jika menelisik secara normatif terhadap praktek-praktek yang dilakukan di atas laut dan pesisir merupakan aktivitas yang memenuhi unsur melanggar ketentuan yang kemudian wajib ditempuh melalui jalur hukum. Hal tersebut telah lama ternarasikan sejak Tahun 2010 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 sebagai putusan yang menguji ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kata dia, jika dicermati, bahwa putusan ini telah mengabulkan sebagian permohonan terutama perihal opini Mahkamah Konstitusi dalam uraian putusan yang menarasikan bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menempatkan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai hak kebendaan dan tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tersebut sangat mencermati penegasan dalam UUD NRI 1945 yang telah merujuk pada frase kalimat ‘dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. “Maka menurut Mahkamah Konstitusi bahwa makna sebesar-besar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,” tandas Suparta.
Di samping itu, menurut Suparta, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain. Sementara dari sudut pandang politis pascapersoalan yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat, terkait persoalan di Pulau Serangan, dijelaskan Suparta bahwa merujuk pada marwah pembagian kekuasaan pemerintah yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya yang secara tegas telah menetapkan berbagai kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
“Sebagai penyambung lidah masyarakat kami DPRD Provinsi hanya ingin memastikan kemudian atas potensi utama yang dapat dirasakan masyarakat terutama tidak hilangnya akses dan keleluasaan dan/atauhilangnya pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat terutama yang bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah di perairan pesisir,” imbuh Suparta. 7 nat
1
Komentar