Tradisi Memohon Ramalan Hidup, Mulai Karier, Jodoh hingga Kesehatan
Melihat Warga Tionghoa Melakukan Tradisi Ciam Si Saat Imlek di Kelenteng Kong Co Bio Tabanan
Terdapat beberapa bangunan suci di dalam kompleks Vihara Dharma Cattra (Kelenteng Kong Co Bio) Tabanan, salah satunya Palinggih Ratu Sedahan Karang
TABANAN, NusaBali
Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili tidak hanya dirayakan dengan persembahyangan di kelenteng. Tidak lupa, warga Tionghoa juga menyempatkan diri melakukan ciam si seperti yang dilakukan di Kelenteng Kong Co Bio, Jalan Melati Nomor 18, Delod Peken, Tabanan.
Ciam si merupakan tradisi Tionghoa untuk memohon petunjuk atau ramalan hidup. Petunjuk dan ramalan ini bisa berupa karier, jodoh, kesehatan, dan lain-lain sesuai pertanyaan yang diajukan umat kepada Yang Mulia Kong Co Tan Hu Cin Jin yang berstana di kelenteng di dalam kompleks Vihara Dharma Cattra ini. Kata Liem Adi Putra, Laocu Kelenteng Kong Co Bio, memang tidak semua umat yang datang untuk sembahyang sekalian melakukan ciam si. Ritual memohon petunjuk hidup ini biasanya kebanyakan dilakukan umat dari kalangan tua.
“Yang muda bukannya tidak percaya, kadang mereka takut kepikiran kalau hasil ciam si itu dianggap jelek,” ujar Adi yang mengetuai kelompok pelayanan Kong Co Bio (laocu) periode 2024/2025 saat ditemui, Rabu (29/1/2025). Laocu adalah sebutan untuk pelayan dewa-dewi. Hanya ada sepasang laocu di Kelenteng Kong Co Bio, yakni sepasang suami istri (pasutri). Laocu dibantu beberapa orang yang disebut taoke yang juga pasutri. Laocu dan taoke bertugas selama satu tahun saja.
Salah satu umat yang ditemui NusaBali sedang melakukan ciam si di Kong Co Bio adalah Rayhan, seorang dokter muda yang baru berusia 24 tahun. Dia bukan umat tetap Kong Co Bio, tetapi warga Tionghoa asal Malang, Jawa Timur yang baru saja ditugaskan di Tabanan.
“Saya mau bertanya kepada YM Kong Co dan leluhur, apakah sudah benar atau tidak jalannya (hidup) yang saya pilih,” beber Rayhan ketika ditemui usai melakukan ciam si. Kata Rayhan, jawaban yang dia dapat cukup netral. Rayhan diminta untuk berhati-hati ketika membuat keputusan dan apa yang sudah dipilih agar dijalankan dengan sepenuh hati, mengikuti prosesnya, serta tidak boleh berpikiran instan.
Sebelum memperoleh jawaban ini, Rayhan harus melakukan beberapa tahapan. Langkah pertama diawali dengan memohon izin kepada YM Kong Co apakah diperkenankan mengajukan pertanyaan atau melakukan ciam si. “Memohon izin dulu sambil perkenalan diri juga, nama, usia, tanggal lahir, asal dari mana,” imbuh Rayhan. Media yang dipakai untuk memohon izin adalah puapwe, disebut juga siao poi, seng poi, dan lain-lain. Di Kelenteng Kong Co Bio, puapwe ini terbuat dari kayu yang berbentuk mirip kacang mete berwarna merah kehitaman. Puapwe terdiri dari dua bagian yakni ‘sebiji kacang mete’ yang terbelah dua.
Palinggih Ratu Sedahan Karang tampak di sisi kanan di dalam kompleks Vihara Dharma Cattra, Tabanan. –NGURAH RATNADI
Sembari berdoa memohon izin di hadapan YM Kong Co, Rahyan memegang puapwe. Setelah memohon secara khusyuk, puapwe lantas dilempar ke lantai. Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, kedua belah puapwe sama-sama tertutup yang artinya belum diizinkan. Kedua, sama-sama terbuka yang maknanya ‘tertawa’ atau antara boleh atau tidak. Ketiga, salah satu belah puapwe tertutup dan satu lagi terbuka yang artinya YM Kong Co berkenan menerima pertanyaan umat. Begitu diizinkan, taoke (pembantu laocu) akan memberikan wadah berisi puluhan sampai ratusan stik bambu.
Masing-masing stik bambu ini bertuliskan nomor jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Sambil digoyangkan agar satu stik bambu jatuh, ucapkan pertanyaan atau petunjuk yang diinginkan. “Kalau sudah ada satu yang keluar, ditanyakan lagi kepada YM Kong Co apakah benar itu jawaban dari pertanyaan yang diajukan,” ujar Theresia, salah satu taoke di Kelenteng Kong Co Bio yang menuntun Rayhan melakukan ciam si.
Konfirmasi terhadap keabsahan jawaban ini ditanyakan lagi melalui puapwe. Jika benar bahwa stik bambu yang jatuh adalah jawaban atas pertanyaan/petunjuk yang dimohonkan, maka akan ditarik satu lembar ciam si yang berisi jawaban sesuai nomor yang tertera pada stik bambu. “Ciam si ini ada yang perlu waktu untuk melakukannya, ada yang cepat. Kalau yang tadi (Rayhan) itu cukup lama karena mengulang beberapa kali, mungkin karena masih ragu-ragu,” jelas Theresia. Laocu Kong Co Bio Liem Adi Putra menuturkan bahwa kelenteng terbesar di Kota Tabanan ini memiliki umat sebanyak 600 kepala keluarga (KK). Ribuan umat Kong Co Bio berakar dari beberapa daerah di Kabupaten Tabanan seperti Kecamatan Marga, Pupuan, dan Penebel.
“Karena banyak yang sudah merantau, umat yang datang ada yang dari Denpasar sampai Surabaya,” beber Adi ketika ditemui di kelenteng, Rabu siang. Kata Adi, laocu asal Desa Dauh Peken, Kota Tabanan ini, Kelenteng Kong Co Bio sudah dipadati umat sejak, Selasa (28/1/2025). Mereka yang datang sehari sebelum Tahun Baru Imlek, melakukan persembahyangan tutup tahun. Uniknya, warga Tionghoa khususnya yang menganut ajaran Tri Dharma, melakukan persembahyangan di beberapa bangunan suci berbeda di dalam kompleks Vihara Dharma Cattra. Selain kelenteng, di dalam kompleks vihara terdapat Palinggih Ratu Sedahan Karang, Pagoda Dewi Kwan Im, dan Dharmasala.
Akulturasi budaya Hindu Bali, Buddha, dan Tionghoa memang sudah terlihat dari pintu masuk kompleks Vihara Dharma Cattra. Pintu masuk kompleks vihara ini menggunakan candi kurung tiga pintu. Candi kurung seperti ini biasanya jadi pintu masuk ke utama mandala pura. Di samping itu, ornamen pada atap candi kurung kompleks Vihara Dharma Cattra berhiaskan stupa Candi Borobudur. Pada ukiran candi kurung juga terdapat sentuhan budaya Tionghoa.
Begitu memasuki kompleks vihara, di sisi kanan terdapat Palinggih Ratu Sedahan Karang, di beberapa daerah disebut pula Panunggun Karang. Kata Adi selaku Laocu Kelenteng Kong Co Bio, palinggih ini jadi urutan pertama bagi umat yang sembahyang ke kelenteng. “Pertama, Ratu Sedahan Karang karena di sini campur Siwa-Buddha. Hampir 30 persen warga Tionghoa di sini memiliki nenek yang asli orang Bali,” tutur Adi yang memiliki nama Tionghoa, Liem Ren Min ini. Pantauan di lokasi, Rabu siang, umat yang berdoa di Palinggih Ratu Sedahan Karang ini ada yang memakai prosesi Hindu Bali seperti menggunakan canang sari. Ada pula yang melaksanakan dengan tradisi Tri Dharma, yakni menggunakan dupa. Kemudian, persembahyangan berpindah ke dalam Kelenteng Kong Co Bio yang arsitektur bangunannya sangat kental budaya Tionghoa, seperti warna merah emas dan patung naga.
“Yang berstana di kelenteng ini adalah Yang Mulia Kong Co Tan Hu Cin Jin,” beber Adi. Dalam bahasa Mandarin, YM Tan Hu Cin Jin dikenal sebagai Chen Fu Zhen Ren yang merupakan dewa pelindung umat. Di Kong Co Bio, penyebutannya dalam bahasa Hokkian. Sebab, warga Tionghoa naungan Yayasan Kertha Yasa yang mengelola kompleks Vihara Dharma Cattra ini leluhurnya berasal dari Fujian, Tiongkok.
Setelah itu, persembahyangan bergeser ke altar Dewi Kwan Im di bangunan pagoda yang terkesan terampung. Bagian bawah pagoda memiliki ornamen bunga teratai, kemudian posisinya berada di tengah-tengah kolam. Altar dewi cinta kasih ini menjadi tempat persembahyangan kedua bagi umat Kong Co Bio. Terakhir, persembahyangan dilakukan di dharmasala yang lokasinya bersebelahan dengan Kelenteng Kong Co Bio. Di dalam dharmasala Vihara Dharma Cattra ini terdapat altar arca emas Buddha Gautama. Kata Adi, Vihara Dharma Cattra merupakan vihara beraliran Theravada.
“Sebelum Vihara Dharma Cattra ada, Kelenteng Kong Co Bio yang pertama ada di sini. Mungkin sudah diketahui khalayak umum. Waktu Orde Baru, baru kemudian didirikan vihara. Mirip seperti di Kuta (Vihara Dharmayana), ada kelenteng, ada juga viharanya,” ungkap Adi. Itulah keempat bangunan suci bagi umat Tri Dharma yang bersembahyang di dalam kompleks Vihara Dharma Cattra. Praktik persembahyangan seperti ini biasanya dilaksanakan pada hari-hari besar Konghucu seperti Imlek, meskipun dalam praktiknya kembali lagi ke masing-masing individu. 7 ol1
Komentar