Buat 365 Kredit Fiktif Senilai Rp 325 Miliar
Petinggi BPR Terancam 15 Tahun Penjara
Dari total kredit fiktif senilai Rp 325,47 miliar, sebagian dana digunakan untuk kepentingan pribadi. Toni Astawa diketahui menerima dana sebesar Rp 8,61 miliar, sementara I Nengah Sujana menggunakan Rp 170 juta.
DENPASAR, NusaBali
Dua petinggi PT BPR Bali Artha Anugrah, yakni Ida Bagus Toni Astawa, 55, yang menjabat sebagai Direktur Utama dan I Nengah Sujana, 63, selaku Direktur Operasional menjalani sidang perdana di PN Denpasar, Kamis (30/1). Kedua terdakwa didakwa melakukan tindak pidana perbankan yaitu 635 kredit fiktif dengan kerugian Rp 325 miliar.
Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Oka Bhismaning dkk, menyatakan atas perbuatannya, kedua terdakwa didakwa melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, atau Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dengan ancaman hukuman maksimal hingga 15 tahun penjara dan denda Rp 200 miliar.
Dijelaskan JPU, dalam kurun waktu 23 Februari 2017 hingga 27 Juni 2023, terdakwa Ida Bagus Toni Astawa dan terdakwa I Nengah Sujana, bersama dengan saksi I Gede Dodi Artawan selaku Kepala Bagian Kredit, melakukan manipulasi data kredit di BPR yang terletak di Jalan Diponegoro No. 171, Dauh Puri Kelod, Denpasar Barat.
Mereka menciptakan fasilitas kredit fiktif total sebanyak 635 fasilitas kredit menggunakan 151 nama debitur, dengan total plafon mencapai Rp 325,47 miliar. Kredit fiktif ini digunakan untuk menutupi tingginya Non-Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah di bank tersebut agar tetap berada di bawah 3%. “Dengan demikian, laporan keuangan seolah-olah menunjukkan kondisi keuangan bank yang sehat,” ungkap JPU.
Proses rekayasa ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggunakan data debitur lama yang telah melunasi pinjamannya atau debitur yang sedang menunggak sebagai pemohon kredit baru. Mereka juga menggunakan agunan yang sama untuk beberapa kredit berbeda atau bahkan menentukan sendiri agunan tanpa verifikasi.
Saat saksi I Gede Dodi Artawan masih menjabat Account Officer, dia membuat kredit fiktif dengan membuat memorandum usulan kredit, analisa keuangan, analisa kredit yang hanya formalitas saja karena tidak sesuai dengan faktanya (palsu).
“Dodi tidak melakukan survey lokasi debitur, jaminan debitur, survey usaha ataupun penghasilan debitur, tapi setelah berkas kredit lengkap, diserahkanlah kepada komite kredit yaitu terdakwa Toni Astawa selaku Direktur Utama,” beber JPU.
Setelah saksi Dodi menjabat Kabag Kredit pada tahun 2018, ia dapat lebih lihai melakukan pembuatan kredit fiktif dengan mengisi analisa kredit, memorandum kredit, permohonan kredit, perjanjian kredit yang tidak sesuai fakta atau dengan cara memalsukan data dan selanjutnya menandatangani berkas kredit sebagai komite kredit. Dalam sistem perbankan, mereka juga mengubah catatan agar transaksi seolah-olah tampak sah.
Setiap akhir bulan, apabila nilai NPL BPR Bali Artha Anugrah melebihi 5%, Toni Astawa memerintahkan pencairan kredit fiktif guna membayar tunggakan angsuran pokok dan bunga dari debitur yang bermasalah. “Dana pencairan tersebut tidak benar-benar diserahkan kepada debitur, melainkan langsung digunakan untuk membayar tunggakan,” katanya.
Dari total kredit fiktif senilai Rp 325,47 miliar, sebagian dana digunakan untuk kepentingan pribadi. Toni Astawa diketahui menerima dana sebesar Rp 8,61 miliar, sementara I Nengah Sujana menggunakan Rp 170 juta yang digunakanya untuk membeli kendaraan. Selain itu, dana juga digunakan untuk menutupi biaya administrasi pencairan kredit fiktif, provisi, dan materai. Manipulasi ini akhirnya terungkap setelah audit keuangan menemukan ketidaksesuaian laporan serta agunan kredit yang tidak valid. cr79
Komentar