Badung Kaji Penggunaan Vaksin DBD
Vaksin DBD harus diberikan tiga kali dalam setahun. Sasaran vaksin adalah anak usia 9–15 tahun.
MANGUPURA, NusaBali
Berbagai upaya sedang dilakukan Pemkab Badung untuk mencegah mewabahnya Demam Berdarah Dengue (DBD). Selain melakukan fogging rutin di seluruh wilayah Gumi Keris, Dinas Kesehatan dan Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kabupaten Badung tengah mengkaji penggunaan vaksin DBD.
Vaksin untuk virus DBD yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti ini oleh WHO mulai disosialisasikan tahun 2016. Vaksin dimaksud adalah Dengvaxia, yang memang ditujukan daerah endemik DBD seperti Indonesia. Program yang dirancang segera direalisasikan ini menyasar anak-anak usia 9–15 tahun, karena pada usia tersebut kerja vaksin akan optimal. Target pemerintah sekitar 60-an ribu anak tervaksin. Pemerintah berharap dengan melakukan vaksin massal dapat mencegah penyakit berbahaya ini mewabah.
“Ini baru tahap kajian. Mudah-mudahan segera terealisasi. Karena program ini tergolong baru, jadi pemerintah pusat menyerahkan sesuai kemampuan daerah,” kata Kadiskes Badung dr Gede Putra Suteja, Minggu (10/9). Apakah tahun 2018 akan terealiasasi? “Semakin cepat semakin baik tentunya. Tapi kami sekarang fokus melakukan kajian dulu,” tegasnya.
Diakui dr Suteja, keberadaan vaksin DBD di Indonesia masih terbatas. Selain itu, harganya pun tergolong cukup mahal. Kisaran Rp 1,1 juta untuk sekali suntik. Padahal vaksinasi DBD harus dilakukan tiga kali suntik. “Harganya lumayan mahal, apalagi dalam satu tahun setiap orang harus melakukan tiga kali suntikan,” ungkapnya. Meski harganya lumayan mahal, pemkab tetap akan merealiasikan program ini. Sebab ini demi mencegah penyakit DBD merebak.
Setelah tiga kali disuntik vaksin DBD, menurutnya, anak-anak bakal memiliki kekebalan seumur hidup. Sehingga orangtua tidak perlu waswas lagi terhadap penyakit yang kerap merebak saat pancaroba ini. “Jadi manfaatnya seumur hidup. Kami berharap dengan program ini akan mengurangi risiko kematian,” tegasnya.
Berapa anggaran yang dipersiapkan untuk program vaksinasi DBD? “Belum, kami fokus dulu lakukan kajian. Belum sampai menyinggung soal pos anggaran,” aku dr Suteja.
Disinggung apakah daerah lainnya sudah ada yang menerapkan program ini, dr Suteja mengaku tak mengetahuinya. Apakah di Bali, Badung yang pertama kali punya inisiatif? “Saya kurang tahu di daerah lain seperti apa. Yang jelas kami di Badung sedang melakukan kajian vaksinasi DBD,” tandasnya.
Di Badung, Abiansemal tergolong daerah daerah rawan endemik DBD. Sementara daerah yang lain sifatnya hanya sporadis, terkadang muncul kasus, kemudian kembali hilang. “Tahun 2016 ada hampir 4.000 kasus DBD di Badung dengan korban meninggal 10 orang. Namun tahun ini cenderung menurun,” tuturnya. Dalam kurung waktu Januari–Juni 2017 tercatat sudah ada 613 kasus, dimana 1 orang meninggal dunia. *asa
Vaksin untuk virus DBD yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti ini oleh WHO mulai disosialisasikan tahun 2016. Vaksin dimaksud adalah Dengvaxia, yang memang ditujukan daerah endemik DBD seperti Indonesia. Program yang dirancang segera direalisasikan ini menyasar anak-anak usia 9–15 tahun, karena pada usia tersebut kerja vaksin akan optimal. Target pemerintah sekitar 60-an ribu anak tervaksin. Pemerintah berharap dengan melakukan vaksin massal dapat mencegah penyakit berbahaya ini mewabah.
“Ini baru tahap kajian. Mudah-mudahan segera terealisasi. Karena program ini tergolong baru, jadi pemerintah pusat menyerahkan sesuai kemampuan daerah,” kata Kadiskes Badung dr Gede Putra Suteja, Minggu (10/9). Apakah tahun 2018 akan terealiasasi? “Semakin cepat semakin baik tentunya. Tapi kami sekarang fokus melakukan kajian dulu,” tegasnya.
Diakui dr Suteja, keberadaan vaksin DBD di Indonesia masih terbatas. Selain itu, harganya pun tergolong cukup mahal. Kisaran Rp 1,1 juta untuk sekali suntik. Padahal vaksinasi DBD harus dilakukan tiga kali suntik. “Harganya lumayan mahal, apalagi dalam satu tahun setiap orang harus melakukan tiga kali suntikan,” ungkapnya. Meski harganya lumayan mahal, pemkab tetap akan merealiasikan program ini. Sebab ini demi mencegah penyakit DBD merebak.
Setelah tiga kali disuntik vaksin DBD, menurutnya, anak-anak bakal memiliki kekebalan seumur hidup. Sehingga orangtua tidak perlu waswas lagi terhadap penyakit yang kerap merebak saat pancaroba ini. “Jadi manfaatnya seumur hidup. Kami berharap dengan program ini akan mengurangi risiko kematian,” tegasnya.
Berapa anggaran yang dipersiapkan untuk program vaksinasi DBD? “Belum, kami fokus dulu lakukan kajian. Belum sampai menyinggung soal pos anggaran,” aku dr Suteja.
Disinggung apakah daerah lainnya sudah ada yang menerapkan program ini, dr Suteja mengaku tak mengetahuinya. Apakah di Bali, Badung yang pertama kali punya inisiatif? “Saya kurang tahu di daerah lain seperti apa. Yang jelas kami di Badung sedang melakukan kajian vaksinasi DBD,” tandasnya.
Di Badung, Abiansemal tergolong daerah daerah rawan endemik DBD. Sementara daerah yang lain sifatnya hanya sporadis, terkadang muncul kasus, kemudian kembali hilang. “Tahun 2016 ada hampir 4.000 kasus DBD di Badung dengan korban meninggal 10 orang. Namun tahun ini cenderung menurun,” tuturnya. Dalam kurung waktu Januari–Juni 2017 tercatat sudah ada 613 kasus, dimana 1 orang meninggal dunia. *asa
Komentar