Polisi Bongkar Pengedar Video Dewasa Gay Anak
Konten dewasa dijual belikan Rp 10 juta per bulan
JAKARTA, NusaBali
Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya kembali membongkar kasus pelecehan anak di bawah umur. Para pelaku mengedarkan konten dewasa di media sosial dengan objek anak-anak gay. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan, kasus ini terbongkar setelah pihaknya menerima informasi masyarakat terkait maraknya konten pelecehan anak di bawah umur di media sosial Twitter.
"Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Metro Jaya kemudian membentuk Satgas khusus dengan melaksanakan Operasi Nataya III untuk menindak lanjuti informasi tersebut," ujar Argo saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (16/9).
pelecehan terhadap anak di bawah umur ini ditawarkan dalam tiga akun Twitter yakni @VGKSale, @febrifebri745 dan @freeVGK69. Ketiga akun Twitter ini dioperasikan oleh tiga tersangka yakni YUL (19), HER alias UHER (30) dan IK (30). "Tiga pelaku yang merupakan admin sudah ditangkap dan kasusnya masih dalam pengembangan terus," imbuh Argo seperti dilansir detik.
Dalam kesempatan yang sama, Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Adi Deriyan mengatakan, Operasi Nataya III ini merupakan operasi lanjutan dari Operasi Candy I dan Candy II dengan sasaran operasi adalah pelecehan anak yang marak terjadi di media sosial.
Polda Metro Jaya juga bekerja sama dengan Federal Bureau Investigation (FBI) dan juga Homeland Security. "Dari join investigation itu kami mendapatkan informasi ada aplikasi yang menawarkan gambar VGK (Video Gay Kids). Jadi dalam akun itu ditampilkan baik video maupun konten image hubungan seksual antara laki-laki dengan anak laki-laki," jelas Adi.
Dari hasil penyelidikan dan kerja sama yang intens tersebut, penyidik akhirnya menangkap ketiga tersangka di tiga lokasi berbeda di Purworejo, Jawa Tengah, Garut dan Bogor, Jawa Barat. Para pelaku memperjual-belikan konten pelecehan anak melalui akun Twitter tersebut dan kemudian menerima bayaran dari pembeli dengan cara transfer melalui rekening.
"Dari ketiga pelaku ini mereka kerap bertransaksi gunakan Twitter dalam komunikasi dan menawarkan, apabila ada yang tertarik orang tersebut transfer atau berikan pulsa ke pelaku," tutur Adi.
Sindikat penyebar video gay anak di bawah umur mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil penjualan konten pelecehan melalui media sosial. Sekurangnya Rp 10 juta per bulan didapat para pelaku dari hasil memperjual-belikan konten porno tersebut.
"Nilai Rp 10 juta ini dari seorang pelaku. Ini didapat dari keterangan dan data transaksi terhadap 150 orang (member)," kata Adi Deriyan. Untuk paket 20-50 image dijual Rp 100 ribu."Pembayaran bisa dilakukan dengan cara transfer atau dikirim pulsa," imbuh Adi.
Setelah mendapatkan bayaran dari pembeli atau member, mereka mengirimkan VGK tersebut melalui aplikasi Telegram atau WhatsApp. Para member ini telah bergabung dengan grup Telegram dan WhatssApp yang juga dibuat oleh para tersangka.
"Dari tiga pelaku, masing-masing punya follower 1.000 orang. Maka satu informasi berkaitan dengan VGK, maka akan tersebar ke 1.000 orang tersebut," lanjutnya. Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya di bawah pimpinan AKBP Roberto Pasaribu masih mengembangkan kasus ini. Polisi masih menelusuri pelaku lainnya yang berkaitan dengan jaringan tersebut. "Kita kejar pelaku lain yang berkaitan dengan pelaku ini," tandasnya.
Jaringan pengedar video gay anak (VGK) memiliki jaringan dengan kelompok pedofilia internasional. Mereka bahkan tergabung dalam grup komunitas pedofil yang tersebar di 49 negara. Member grup tersebut ada di 49 negara antara lain Argentina, Indonesia, Bolivia, Irak, Israel, Chile, Kolonbuq, Costa Rica, El-savador, Papua New Guinea, Panama, Rusia, Arab Saudi, Sri Lanka, Afrika Selatan, Vietnam, Yaman, Taiwan, Sudan, Turki, Uganda, Amerika Serikat, Malaysia, Marono, Nikaraguay, Oman, Pakistan dan beberapa negara lain dari belahan Afrika, Eropa, Asia dan Amerika.
Ketiga tersangka diciduk di tiga lokasi berbeda yakni di Purworejo, Garut dan Bogor pada medio September 2017. Ketiga tersangka ditahan dan dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 dan Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 30 UU RI No 44 Tahun 2008 tentang pelecehan serta UU RI No 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. *
Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya kembali membongkar kasus pelecehan anak di bawah umur. Para pelaku mengedarkan konten dewasa di media sosial dengan objek anak-anak gay. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan, kasus ini terbongkar setelah pihaknya menerima informasi masyarakat terkait maraknya konten pelecehan anak di bawah umur di media sosial Twitter.
"Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Metro Jaya kemudian membentuk Satgas khusus dengan melaksanakan Operasi Nataya III untuk menindak lanjuti informasi tersebut," ujar Argo saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (16/9).
pelecehan terhadap anak di bawah umur ini ditawarkan dalam tiga akun Twitter yakni @VGKSale, @febrifebri745 dan @freeVGK69. Ketiga akun Twitter ini dioperasikan oleh tiga tersangka yakni YUL (19), HER alias UHER (30) dan IK (30). "Tiga pelaku yang merupakan admin sudah ditangkap dan kasusnya masih dalam pengembangan terus," imbuh Argo seperti dilansir detik.
Dalam kesempatan yang sama, Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Adi Deriyan mengatakan, Operasi Nataya III ini merupakan operasi lanjutan dari Operasi Candy I dan Candy II dengan sasaran operasi adalah pelecehan anak yang marak terjadi di media sosial.
Polda Metro Jaya juga bekerja sama dengan Federal Bureau Investigation (FBI) dan juga Homeland Security. "Dari join investigation itu kami mendapatkan informasi ada aplikasi yang menawarkan gambar VGK (Video Gay Kids). Jadi dalam akun itu ditampilkan baik video maupun konten image hubungan seksual antara laki-laki dengan anak laki-laki," jelas Adi.
Dari hasil penyelidikan dan kerja sama yang intens tersebut, penyidik akhirnya menangkap ketiga tersangka di tiga lokasi berbeda di Purworejo, Jawa Tengah, Garut dan Bogor, Jawa Barat. Para pelaku memperjual-belikan konten pelecehan anak melalui akun Twitter tersebut dan kemudian menerima bayaran dari pembeli dengan cara transfer melalui rekening.
"Dari ketiga pelaku ini mereka kerap bertransaksi gunakan Twitter dalam komunikasi dan menawarkan, apabila ada yang tertarik orang tersebut transfer atau berikan pulsa ke pelaku," tutur Adi.
Sindikat penyebar video gay anak di bawah umur mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil penjualan konten pelecehan melalui media sosial. Sekurangnya Rp 10 juta per bulan didapat para pelaku dari hasil memperjual-belikan konten porno tersebut.
"Nilai Rp 10 juta ini dari seorang pelaku. Ini didapat dari keterangan dan data transaksi terhadap 150 orang (member)," kata Adi Deriyan. Untuk paket 20-50 image dijual Rp 100 ribu."Pembayaran bisa dilakukan dengan cara transfer atau dikirim pulsa," imbuh Adi.
Setelah mendapatkan bayaran dari pembeli atau member, mereka mengirimkan VGK tersebut melalui aplikasi Telegram atau WhatsApp. Para member ini telah bergabung dengan grup Telegram dan WhatssApp yang juga dibuat oleh para tersangka.
"Dari tiga pelaku, masing-masing punya follower 1.000 orang. Maka satu informasi berkaitan dengan VGK, maka akan tersebar ke 1.000 orang tersebut," lanjutnya. Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya di bawah pimpinan AKBP Roberto Pasaribu masih mengembangkan kasus ini. Polisi masih menelusuri pelaku lainnya yang berkaitan dengan jaringan tersebut. "Kita kejar pelaku lain yang berkaitan dengan pelaku ini," tandasnya.
Jaringan pengedar video gay anak (VGK) memiliki jaringan dengan kelompok pedofilia internasional. Mereka bahkan tergabung dalam grup komunitas pedofil yang tersebar di 49 negara. Member grup tersebut ada di 49 negara antara lain Argentina, Indonesia, Bolivia, Irak, Israel, Chile, Kolonbuq, Costa Rica, El-savador, Papua New Guinea, Panama, Rusia, Arab Saudi, Sri Lanka, Afrika Selatan, Vietnam, Yaman, Taiwan, Sudan, Turki, Uganda, Amerika Serikat, Malaysia, Marono, Nikaraguay, Oman, Pakistan dan beberapa negara lain dari belahan Afrika, Eropa, Asia dan Amerika.
Ketiga tersangka diciduk di tiga lokasi berbeda yakni di Purworejo, Garut dan Bogor pada medio September 2017. Ketiga tersangka ditahan dan dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 dan Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 30 UU RI No 44 Tahun 2008 tentang pelecehan serta UU RI No 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. *
1
Komentar