Uang Penikelan Tinggi, Anggota Subak Keberatan
Seorang anggota subak harus membayar uang penikelan sebesar Rp 6 juta. Jumlah tersebut karena yang bersangkutan beberapa kali nunggak uang penikelan sebesar Rp 300 ribu per enam bulan.
BANGLI, NusaBali
Salah seorang anggota Subak Tegalalang, Kelurahan Kawan, Kecamatan/Kabupaten Bangli, Pande Komang Junirta mengungkapkan keberatannya, terkait besarnya biasa penikelan (dana pengganti ketika anggota subak tidak bisa mengikuti kegiatan sosial subak). Uang penikelan sebesar Rp 300 ribu per enam bulan. Namun karena Komang Junirta beberapa kali telat bayar, jumlahnya berlipat menjadi Rp 6 juta.
Komang Junirta yang ditemui pada Minggu (17/9), menyatakan, dia mempertanyakan aturan besaran nilai tikelan tersebut. Dia menilai jumlah tersebut terlalu tinggi, sedangkan lahan pertanian tidak menghasilkan. “Bagaimana bisa membayar, sedangkan tanah saya tidak bisa menghasilkan, air saja tidak ada,” ucapnya.
Awalnya penikelan sebesar Rp 150 ribu, kini menjadi Rp 300 ribu per enam bulan. Karena telat membayar dikenakan penikel atau kelipatannya hingga total yang harus dibayarkannya sebesar Rp 6 juta.
Menurutnya, lahan miliknya sempat digarap orang lain, dan hasil yang diterima 25 kilogram beras saat panen. “Hasil tidak seberapa maka saya memilih untuk mengontrakkan lahan tersebut. Tapi biaya di subak tetap saya nilai terlalu tinggi,” imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kelian Subak Tegalalang Sang Ketut Rencana menjelaskan, besaran penikelan sudah sesuai kesepakatan krama subak dalam paruman. Berdasarkan awig-awig, tertuang apabila anggota atau krama subak tidak bisa melaksanakan kegiatan sosial, bisa digantikan dengan dana.
“Dalam awig sudah tertulis. Dalam awig memang tidak tertulis besarannya, maka dilakukan paruman untuk menetapkan besaran nilai tikelan,” kata Ketut Rencana, Senin (18/9).
Besaran nilai tekelan tentu berbeda untuk masing-masing subak, tergantung kesepakatan krama. Krama subak memiliki kewajiban untuk ikut dalam kegiatan sosial, seperti melakukan perbaikan saluran irigasi, gotong royong, nuduk suinih (memungut upeti berupa padi yang dipanen anggota subak, 10 are lahan kena suinih 7 kilogram), serta kegiatan ngayah saat piodalan. “Sementara anggota Subak Tegalalang sebanyak 50 orang, yang melakukan penikelan 11 orang,” ungkapnya.
Menurutnya, nilai Rp 6 juta yang harus dibayar oleh Komang Junirta, nilai tersebut akibat nikel. “Ini karena nikel, coba saja yang bersangkutan bayar secara rutin, tentu tidak perlu membayar sebanyak ini,” kata Ketut Rencana.
Selain itu penikelan dilakukan sebanyak tiga kali, dan saat sudah jatuh tempo tidak juga membayar. Dan, pada periode yang baru Komang Junirta dikatakan tetap tidak membayar.
Dijelaskannya, anggota subak yang tidak mengikuti kegiatan biasa kena sanksi berupa denda. Tidak ikut satu kali kegiatan dikenakan Rp 20 ribu. Ditegaskannya, kenapa nilai denda cukup tinggi, tujuannya tidak lain agar anggota mau ikut kegiatan sosial. “Dulu denda Rp 1.000, malah membuat anggota tidak ikut kegiatan, memilih untuk membayar denda tersebut. Kalau seperti itu semua, siapa yang diajak bekerja. Kalau denda besar tentu anggota subak berfikir untuk tidak hadir. Ini demi kepentingan semua, contoh saja kalau saluran irigasi bagus tentu air bisa lancar,” tuturnya. *e
Komang Junirta yang ditemui pada Minggu (17/9), menyatakan, dia mempertanyakan aturan besaran nilai tikelan tersebut. Dia menilai jumlah tersebut terlalu tinggi, sedangkan lahan pertanian tidak menghasilkan. “Bagaimana bisa membayar, sedangkan tanah saya tidak bisa menghasilkan, air saja tidak ada,” ucapnya.
Awalnya penikelan sebesar Rp 150 ribu, kini menjadi Rp 300 ribu per enam bulan. Karena telat membayar dikenakan penikel atau kelipatannya hingga total yang harus dibayarkannya sebesar Rp 6 juta.
Menurutnya, lahan miliknya sempat digarap orang lain, dan hasil yang diterima 25 kilogram beras saat panen. “Hasil tidak seberapa maka saya memilih untuk mengontrakkan lahan tersebut. Tapi biaya di subak tetap saya nilai terlalu tinggi,” imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kelian Subak Tegalalang Sang Ketut Rencana menjelaskan, besaran penikelan sudah sesuai kesepakatan krama subak dalam paruman. Berdasarkan awig-awig, tertuang apabila anggota atau krama subak tidak bisa melaksanakan kegiatan sosial, bisa digantikan dengan dana.
“Dalam awig sudah tertulis. Dalam awig memang tidak tertulis besarannya, maka dilakukan paruman untuk menetapkan besaran nilai tikelan,” kata Ketut Rencana, Senin (18/9).
Besaran nilai tekelan tentu berbeda untuk masing-masing subak, tergantung kesepakatan krama. Krama subak memiliki kewajiban untuk ikut dalam kegiatan sosial, seperti melakukan perbaikan saluran irigasi, gotong royong, nuduk suinih (memungut upeti berupa padi yang dipanen anggota subak, 10 are lahan kena suinih 7 kilogram), serta kegiatan ngayah saat piodalan. “Sementara anggota Subak Tegalalang sebanyak 50 orang, yang melakukan penikelan 11 orang,” ungkapnya.
Menurutnya, nilai Rp 6 juta yang harus dibayar oleh Komang Junirta, nilai tersebut akibat nikel. “Ini karena nikel, coba saja yang bersangkutan bayar secara rutin, tentu tidak perlu membayar sebanyak ini,” kata Ketut Rencana.
Selain itu penikelan dilakukan sebanyak tiga kali, dan saat sudah jatuh tempo tidak juga membayar. Dan, pada periode yang baru Komang Junirta dikatakan tetap tidak membayar.
Dijelaskannya, anggota subak yang tidak mengikuti kegiatan biasa kena sanksi berupa denda. Tidak ikut satu kali kegiatan dikenakan Rp 20 ribu. Ditegaskannya, kenapa nilai denda cukup tinggi, tujuannya tidak lain agar anggota mau ikut kegiatan sosial. “Dulu denda Rp 1.000, malah membuat anggota tidak ikut kegiatan, memilih untuk membayar denda tersebut. Kalau seperti itu semua, siapa yang diajak bekerja. Kalau denda besar tentu anggota subak berfikir untuk tidak hadir. Ini demi kepentingan semua, contoh saja kalau saluran irigasi bagus tentu air bisa lancar,” tuturnya. *e
1
Komentar