Dua Sejoli Nikah di Pengungsian
Pasangan kekasih korban bencana Gunung Agung terpaksa melaksanakan upacara pawiwahan (pernikahan) di lokasi pengungsian kawasan Banjar Sangging, Desa Kamasan, Kecamatan Klungkung pada Saniscara Umanis Tolu, Sabtu (23/9).
SEMARAPURA, NusaBali
Mereka adalah I Gusti Bagus Krisna Dipayana, 29 (asal Desa Pakraman Padangaji, Desa Peringsari, Kecamatan Selat, Karangasem) dan Ni Putu Angga Swari, 25 (asal Desa Riang Gede, kecamatan Tabanan).
Rencana semula, berdasarkan dewasa ayu (hari baik) yang diberikan pihak sulinggih, pasangan kekasuh IGB Krisna Dwipayana dan Putu Angga Swari baru akan melaksanakan upacara pawiwahan sekaligus resepsi pernikahan pada Saniscara Pon Gumbreg, Sabtu (30/9) besok. Mereka pun sudah menyebarkan 150 kartu undangan untuk menghadiri acaranya.
Namun, karena dalam kondisi darurat mengingat mempelai pria mengungsi akibat bencana Gunung Agung, upacara pawiwahan terpaksa diajukan sepekan menjadi 23 September 2017. Padahal, rencana semula, 23 September itu hanya untuk prosesi memadik (ngidih) ke rumah mempelai perempuan di Tabanan. Nah, karena situasi mendesak, maka setelah prosesi memadik hari itu langsung digelar upacara pawiwahan di lokasi pengungsian Banjar Sangging, Desa Kamasan.
Namanya juga menikah di lokasi pengungsian, prosesi upacara mereka tentu saja berlangsung secara sederhana. Upacara pawiwahan digelar di rumah kerabatnya di Banjar sangging, Desa Kamasan yang sekaligus jadi lokasi pengungsian. “Syukurlah, pernikahan keponakan saya semua berjalan aman dan lancar. Pihak keluarga dari mempelai perempuan juga sudah memklumi kondisi ini,” ungkap paman dari mempelai pria Krisna Dipayana, I Gusti Bagus Arta Arnawa, saat ditemui NusaBali di lokasi pengungsian, Kamis (28/9).
IGB Arta Arnawa menyebutkan, meskipun berlangsung sederhana, namun semua unsur dalam prosesi pawiwahan keponakannya di lokasi pengungsian sudah terpenuhi. Yang belum dilakukan saat ini hanya matur piuning ke pura. Pasalnya, berdasarkan pararem, krama yang menikah ke luar tidak diharuskan matur piunung ke pura. “Tapi, kalau kondisinya sudah kondusif nanti, tetap akan matur piuning,” tandas Arta Arnawa yang juga menjabat sebagai Kelian Desa Pakraman Padangaji, Kecamatan Selat.
Arta Arnawa mengisahkan, keluarganya termasuk sang keponakan yang menikah, Krisna Dipayana, mengungsi ke Banjar Sangging, Desa Kamasan, Klungkung sejak Jumat (22/9) malam, setelah status Gunung Agung naik ke level VI (awas). Beberapa jam sebelum mengungsi, krama sebanjar sempat ngopin (metetulung) di rumah mempelai pria di Desa Pakraman Padangaji.
Namun, malam itu sekitar pukul 22.00 Wita tiba-tiba terdengar kulkul bulus (suara kentongan adat bertalu pertanda situasi bahaya), terkait penetapan status awas Gunung Agung. Begitu mendengar kulkul bulus, warga sekampung langsung lari tunggang langgang alias mengungsi ke tempat aman. Suasana malam itu sangat mencekam, krama yang ngopin berlarian hingga sejumlah anggota keluarga sempat menangis.
Keluarga Krisna Dipayani sendiri pilih mengungsi ke rumah kerabatnya di Desa Kamasan. Kendati mengungsi dalam situasi panik, menurut Arta Arnawa, keluarganya masih sempat membawa perlengkapan upakara untuk upacara pawiwahan pasangan Krisna Dipayana-Putu Angga Swari.
“Sebelum berangkat ke Klungkung, kami sempat istirahat sejenak pada salah satu bale banjar di wilayah Karangasem. Berselang 2 jam kemudian, barulah kami meneruskan perjalanan men gungsi ke sini (Desa Kamasan, Klungkung),” terang Arta Arnawa.
Sementara itu, Krisna Dipayana juga mengaku sangat bersyukur semua prosesi upacara pawiwahan ini bisa berjalan lancar, meskin digelar di lokasi pengungsian. Menurut Krisna Dipayana, hal ini memberikan kesan tersendiri. “Perasaan saya waktu itu campur aduk,” cerita Krisna Dipayana saat dihubungi NusaBali per telepon, Kamis kemarin.
Krisna Dipayana mengatakan, perasaannya kala itu campur aduk antara memikirkan nasib keluarga dan upacara pawiwahannya. Kini, setelah menjalani upacara pawiwahan di lokasi pengungsian, pasangan pengantin baru Krisna Dipayana-Putu Angga Swari memilih kos di kawasan Kota Denpasar, karena mereka harus melanjutklan hidup dengan bekerja alias cari nafkah.
Krisna Dwipayana sendiri saat ini bekerja sebagai karyawan di salah satu hotel kawasan Denpasar. Sedangkan istrinya, Putu Angga Swari, saat ini bekerja sebagai perawat di RS Puri Raharja Denpasar. *wa
Rencana semula, berdasarkan dewasa ayu (hari baik) yang diberikan pihak sulinggih, pasangan kekasuh IGB Krisna Dwipayana dan Putu Angga Swari baru akan melaksanakan upacara pawiwahan sekaligus resepsi pernikahan pada Saniscara Pon Gumbreg, Sabtu (30/9) besok. Mereka pun sudah menyebarkan 150 kartu undangan untuk menghadiri acaranya.
Namun, karena dalam kondisi darurat mengingat mempelai pria mengungsi akibat bencana Gunung Agung, upacara pawiwahan terpaksa diajukan sepekan menjadi 23 September 2017. Padahal, rencana semula, 23 September itu hanya untuk prosesi memadik (ngidih) ke rumah mempelai perempuan di Tabanan. Nah, karena situasi mendesak, maka setelah prosesi memadik hari itu langsung digelar upacara pawiwahan di lokasi pengungsian Banjar Sangging, Desa Kamasan.
Namanya juga menikah di lokasi pengungsian, prosesi upacara mereka tentu saja berlangsung secara sederhana. Upacara pawiwahan digelar di rumah kerabatnya di Banjar sangging, Desa Kamasan yang sekaligus jadi lokasi pengungsian. “Syukurlah, pernikahan keponakan saya semua berjalan aman dan lancar. Pihak keluarga dari mempelai perempuan juga sudah memklumi kondisi ini,” ungkap paman dari mempelai pria Krisna Dipayana, I Gusti Bagus Arta Arnawa, saat ditemui NusaBali di lokasi pengungsian, Kamis (28/9).
IGB Arta Arnawa menyebutkan, meskipun berlangsung sederhana, namun semua unsur dalam prosesi pawiwahan keponakannya di lokasi pengungsian sudah terpenuhi. Yang belum dilakukan saat ini hanya matur piuning ke pura. Pasalnya, berdasarkan pararem, krama yang menikah ke luar tidak diharuskan matur piunung ke pura. “Tapi, kalau kondisinya sudah kondusif nanti, tetap akan matur piuning,” tandas Arta Arnawa yang juga menjabat sebagai Kelian Desa Pakraman Padangaji, Kecamatan Selat.
Arta Arnawa mengisahkan, keluarganya termasuk sang keponakan yang menikah, Krisna Dipayana, mengungsi ke Banjar Sangging, Desa Kamasan, Klungkung sejak Jumat (22/9) malam, setelah status Gunung Agung naik ke level VI (awas). Beberapa jam sebelum mengungsi, krama sebanjar sempat ngopin (metetulung) di rumah mempelai pria di Desa Pakraman Padangaji.
Namun, malam itu sekitar pukul 22.00 Wita tiba-tiba terdengar kulkul bulus (suara kentongan adat bertalu pertanda situasi bahaya), terkait penetapan status awas Gunung Agung. Begitu mendengar kulkul bulus, warga sekampung langsung lari tunggang langgang alias mengungsi ke tempat aman. Suasana malam itu sangat mencekam, krama yang ngopin berlarian hingga sejumlah anggota keluarga sempat menangis.
Keluarga Krisna Dipayani sendiri pilih mengungsi ke rumah kerabatnya di Desa Kamasan. Kendati mengungsi dalam situasi panik, menurut Arta Arnawa, keluarganya masih sempat membawa perlengkapan upakara untuk upacara pawiwahan pasangan Krisna Dipayana-Putu Angga Swari.
“Sebelum berangkat ke Klungkung, kami sempat istirahat sejenak pada salah satu bale banjar di wilayah Karangasem. Berselang 2 jam kemudian, barulah kami meneruskan perjalanan men gungsi ke sini (Desa Kamasan, Klungkung),” terang Arta Arnawa.
Sementara itu, Krisna Dipayana juga mengaku sangat bersyukur semua prosesi upacara pawiwahan ini bisa berjalan lancar, meskin digelar di lokasi pengungsian. Menurut Krisna Dipayana, hal ini memberikan kesan tersendiri. “Perasaan saya waktu itu campur aduk,” cerita Krisna Dipayana saat dihubungi NusaBali per telepon, Kamis kemarin.
Krisna Dipayana mengatakan, perasaannya kala itu campur aduk antara memikirkan nasib keluarga dan upacara pawiwahannya. Kini, setelah menjalani upacara pawiwahan di lokasi pengungsian, pasangan pengantin baru Krisna Dipayana-Putu Angga Swari memilih kos di kawasan Kota Denpasar, karena mereka harus melanjutklan hidup dengan bekerja alias cari nafkah.
Krisna Dwipayana sendiri saat ini bekerja sebagai karyawan di salah satu hotel kawasan Denpasar. Sedangkan istrinya, Putu Angga Swari, saat ini bekerja sebagai perawat di RS Puri Raharja Denpasar. *wa
1
Komentar