Gerimis Iringi Pengabenan Nyoman Gunarsa
Mantan Murid Datang dengan Kursi Roda
SEMARAPURA, NusaBali
Upacara ngaben sang maestro lukis Nyoman Gunarsa, 73, berlangsung di Setra Banjar/Desa Pakraman Banda, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, pada Saniscara Pon Wuku Gumbreg, Sabtu (30/9) siang. Pengabenan menggunakan sarana Bade tigang anda dan Lembu Cemeng atau lembu berwarna Ungu.
Prosesi upacara ngaben dimulai pukul 12.00 Wita, ditandai dengan menaikkan jenazah ke atas wadah Bade tigang anda. Selanjutnya Bade diarak di pertigaan Desa Pakraman Banda keliling sebanyak tiga kali. Sementara Lembu Cemeng yang mengiringi hanya diarak dalam perjalanan saja, dan tidak ikut diarak keliling pertigaan tersebut.
Ketika Bade dan Lembu memasuki Setra Desa Pakraman Banda, yang tepat berada di sebelah timur Museum Nyoman Gunarsa, tiba-tiba turun hujan gerimis di tengah langit cerah atau dikenal dengan hujan raja. Selanjutnya jenazah Gunarsa dimasukkan ke dalam sarana Lembu Cemeng untuk dibakar. Sarana berupa alat dan bahan melukis seperti kanvas putih, cat, kuas, dan lainnya juga turut dibakar untuk mengiringi kepergian Gunarsa ke alam fana.
Uniknya saat api dinyalakan untuk pembakaran Lembu Cemeng, tiba-tiba hujan mulai reda. Kemudian pada saat api berkobar juga diisi demonstrasi melukis langsung di Setra Desa Pakraman Banda yang dilakukan oleh Sanggar Dewata Indonesia. Dengan melukis objek saat prosesi pembakaran Lembu Cemeng. Hal ini sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa-jasa Nyoman Gunarsa dalam di bidang seni lukis.
Setelah pembakaran jenazah selesai dilanjutkan nganyut ke Segara (Pantai) Lepang, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung sore itu juga. Dalam kesempatan itu hadir sejumlah pejabat, di antaranya anggota DPR RI Putu Supadma Rudana, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta, kalangan seniman, dan lainnya termasuk krama setempat.
Keponakan almarhum Nyoman Gunarsa, yakni Kadek Topan Adi Wijaya, mengatakan, rangkaian prosesi ini sudah dilakukan sejak Jumat (21/9) diawali membuat lembu dan bade. Kemudian, Jumat (29/9) mabersih, dan Sabtu kemarin ngaben. Tiga hari kemudian, Selasa (3/10) akan digelar upacara ngetelunin, mapegat, dan prosesi lainnya.
“Untuk sarana Lembu Cemeng ini kami buat langsung di sini (museum), di samping karena permintaan beliau (Gunarsa) juga memang ada kerabat yang bisa membuat,” katanya.
Topan menjelaskan, penggunaan lembu warna ungu ini memang sudah menjadi keinginan dari mendiang saat saat ibundanya meninggal pada 2006 silam. Karena secara trah keturunan keluarga Nyoman Gunarsa juga berasal dari Warih Dalem Sri Ajie Kresna Kepakisan. Penggunaan Lembu Cemeng ini juga sudah dikoordinasikan kepada Panglingsir Puri Agung Klungkung di waktu silam. “Kalau dari segi warna memang seperti ini ciri khasnya,” ujarnya. Diakui untuk mencari bahan kain beludru warna ungu memang agak sulit di pasaran.
Sementara, adik Nyoman Gunarsa, Nyoman Sedawa, 65, menceritakan sejak kecil Gunarsa memang sudah menunjukkan bakat dalam seni lukis dan memiliki intelektualitas yang tinggi. Seiring berjalannya waktu, Nyoman Gunarsa yang merupakan anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Ketut Rigeg dan Ni Made Suntu, ini prestasinya kian terasah hingga karya-karyanya mendunia. “Beliau memang berbakat sejak kecil,” kenangnya.
Bendesa Pakraman Banda I Wayan Suamba juga merasakan kehilangan akan seorang tokoh besar yang berpengaruh. Sebelum meninggal, Gunarsa sempat menyampaikan gagasannya untuk membuat pasar dan sudah menyiapkan lahan untuk masyarakat. Sampai jualannya pun sudah terbayang yakni menjual dagangan seperti tipat santok, klepon, dan sejenisnya. “Gagasan beliau itu ingin agar bisa mendukung desa wisata maupun desa budaya, serta masyarakat bisa semakin maju,” katanya.
Sebelumnya, sang maestro lukis kelahiran tahun 1944 asal Banjar Banda, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, ini menghembuskan napas terakhir di Wing Amerta Kamar Nomor 112 RS Sanglah, Denpasar, Minggu (10/9) siang pukul 11.15 Wita. Setelah empat hari dirawat sejak 7 September 2017 akibat komplikasi. Menurut Kasubbag Humas RS Sanglah, I Dewa Ketut Kresna, almarhum Nyoman Gunarsa menjalani rawat inap sejak 7 September 2017.
Awalnya, seniman-akademisi ini datang ke RS Sangkah dengan keluhan panas tinggi. Almarhum selama ini diketahui memiliki riwayat stroke, sakit jantung, dan ginjal. “Beliau (Gunarsa) juga punya riwayat jantung dan ginjal, selain stroke. Makanya beliau dirawat tiga dokter spesialis, yaitu spesialis jantung, ginjal, dan interna,” jelas Dewa Kresna saat dikonfirmasi NusaBali di RS Sanglah.
Almarhum Nyoman Gunarsa berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Indrawati, 3 anak (Luh Astiti Andrawati, Gede Artison Andarawatta, Komang Artisti Sekar Linuih) dan 7 cucu.
Sementara itu, di antara krama yang menghadiri pengabenan Nyoman Gunarsa, tampak seorang anak didiknya, yakni Made Kedol, 67, seniman lukis asal Banjar Teges, Kelurahan Gianyar, Kecamatan/Kabupaten Gianyar. Ketika kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta pada 1973 – 1978 dia sempat dididik oleh Gunarsa. Bahkan sempat menjadi pembimbing saat dirinya ujian skripsi.
“Beliau adalah sosok yang luar biasa, terlebih saat tangannya melukis,” ujar Made Kedol saat ditemui di upacara pengabenan Nyoman Gunarsa, Sabtu (30/9).
Banyak pelajaran dan pengalaman yang dia dapatkan dari Sang Maestro. Sehingga pada saat upacara ngaben gurunya itu, Made Kedol menyempatkan diri untuk mengikuti serangkaian prosesinya. Dia hadir meskipun dalam kondisi dirinya duduk di atas kursi roda.
Bagitupula saat hujan gerimis turun, Made Kedol sedikit pun tak berpaling dan tetap membiarkan dirinya kehujanan di atas kursi roda. Karena dia yakin bahwa hujan yang turun sesaat itu adalah pertanda yang positif dari alam. *wa
Prosesi upacara ngaben dimulai pukul 12.00 Wita, ditandai dengan menaikkan jenazah ke atas wadah Bade tigang anda. Selanjutnya Bade diarak di pertigaan Desa Pakraman Banda keliling sebanyak tiga kali. Sementara Lembu Cemeng yang mengiringi hanya diarak dalam perjalanan saja, dan tidak ikut diarak keliling pertigaan tersebut.
Ketika Bade dan Lembu memasuki Setra Desa Pakraman Banda, yang tepat berada di sebelah timur Museum Nyoman Gunarsa, tiba-tiba turun hujan gerimis di tengah langit cerah atau dikenal dengan hujan raja. Selanjutnya jenazah Gunarsa dimasukkan ke dalam sarana Lembu Cemeng untuk dibakar. Sarana berupa alat dan bahan melukis seperti kanvas putih, cat, kuas, dan lainnya juga turut dibakar untuk mengiringi kepergian Gunarsa ke alam fana.
Uniknya saat api dinyalakan untuk pembakaran Lembu Cemeng, tiba-tiba hujan mulai reda. Kemudian pada saat api berkobar juga diisi demonstrasi melukis langsung di Setra Desa Pakraman Banda yang dilakukan oleh Sanggar Dewata Indonesia. Dengan melukis objek saat prosesi pembakaran Lembu Cemeng. Hal ini sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa-jasa Nyoman Gunarsa dalam di bidang seni lukis.
Setelah pembakaran jenazah selesai dilanjutkan nganyut ke Segara (Pantai) Lepang, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung sore itu juga. Dalam kesempatan itu hadir sejumlah pejabat, di antaranya anggota DPR RI Putu Supadma Rudana, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta, kalangan seniman, dan lainnya termasuk krama setempat.
Keponakan almarhum Nyoman Gunarsa, yakni Kadek Topan Adi Wijaya, mengatakan, rangkaian prosesi ini sudah dilakukan sejak Jumat (21/9) diawali membuat lembu dan bade. Kemudian, Jumat (29/9) mabersih, dan Sabtu kemarin ngaben. Tiga hari kemudian, Selasa (3/10) akan digelar upacara ngetelunin, mapegat, dan prosesi lainnya.
“Untuk sarana Lembu Cemeng ini kami buat langsung di sini (museum), di samping karena permintaan beliau (Gunarsa) juga memang ada kerabat yang bisa membuat,” katanya.
Topan menjelaskan, penggunaan lembu warna ungu ini memang sudah menjadi keinginan dari mendiang saat saat ibundanya meninggal pada 2006 silam. Karena secara trah keturunan keluarga Nyoman Gunarsa juga berasal dari Warih Dalem Sri Ajie Kresna Kepakisan. Penggunaan Lembu Cemeng ini juga sudah dikoordinasikan kepada Panglingsir Puri Agung Klungkung di waktu silam. “Kalau dari segi warna memang seperti ini ciri khasnya,” ujarnya. Diakui untuk mencari bahan kain beludru warna ungu memang agak sulit di pasaran.
Sementara, adik Nyoman Gunarsa, Nyoman Sedawa, 65, menceritakan sejak kecil Gunarsa memang sudah menunjukkan bakat dalam seni lukis dan memiliki intelektualitas yang tinggi. Seiring berjalannya waktu, Nyoman Gunarsa yang merupakan anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Ketut Rigeg dan Ni Made Suntu, ini prestasinya kian terasah hingga karya-karyanya mendunia. “Beliau memang berbakat sejak kecil,” kenangnya.
Bendesa Pakraman Banda I Wayan Suamba juga merasakan kehilangan akan seorang tokoh besar yang berpengaruh. Sebelum meninggal, Gunarsa sempat menyampaikan gagasannya untuk membuat pasar dan sudah menyiapkan lahan untuk masyarakat. Sampai jualannya pun sudah terbayang yakni menjual dagangan seperti tipat santok, klepon, dan sejenisnya. “Gagasan beliau itu ingin agar bisa mendukung desa wisata maupun desa budaya, serta masyarakat bisa semakin maju,” katanya.
Sebelumnya, sang maestro lukis kelahiran tahun 1944 asal Banjar Banda, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, ini menghembuskan napas terakhir di Wing Amerta Kamar Nomor 112 RS Sanglah, Denpasar, Minggu (10/9) siang pukul 11.15 Wita. Setelah empat hari dirawat sejak 7 September 2017 akibat komplikasi. Menurut Kasubbag Humas RS Sanglah, I Dewa Ketut Kresna, almarhum Nyoman Gunarsa menjalani rawat inap sejak 7 September 2017.
Awalnya, seniman-akademisi ini datang ke RS Sangkah dengan keluhan panas tinggi. Almarhum selama ini diketahui memiliki riwayat stroke, sakit jantung, dan ginjal. “Beliau (Gunarsa) juga punya riwayat jantung dan ginjal, selain stroke. Makanya beliau dirawat tiga dokter spesialis, yaitu spesialis jantung, ginjal, dan interna,” jelas Dewa Kresna saat dikonfirmasi NusaBali di RS Sanglah.
Almarhum Nyoman Gunarsa berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Indrawati, 3 anak (Luh Astiti Andrawati, Gede Artison Andarawatta, Komang Artisti Sekar Linuih) dan 7 cucu.
Sementara itu, di antara krama yang menghadiri pengabenan Nyoman Gunarsa, tampak seorang anak didiknya, yakni Made Kedol, 67, seniman lukis asal Banjar Teges, Kelurahan Gianyar, Kecamatan/Kabupaten Gianyar. Ketika kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta pada 1973 – 1978 dia sempat dididik oleh Gunarsa. Bahkan sempat menjadi pembimbing saat dirinya ujian skripsi.
“Beliau adalah sosok yang luar biasa, terlebih saat tangannya melukis,” ujar Made Kedol saat ditemui di upacara pengabenan Nyoman Gunarsa, Sabtu (30/9).
Banyak pelajaran dan pengalaman yang dia dapatkan dari Sang Maestro. Sehingga pada saat upacara ngaben gurunya itu, Made Kedol menyempatkan diri untuk mengikuti serangkaian prosesinya. Dia hadir meskipun dalam kondisi dirinya duduk di atas kursi roda.
Bagitupula saat hujan gerimis turun, Made Kedol sedikit pun tak berpaling dan tetap membiarkan dirinya kehujanan di atas kursi roda. Karena dia yakin bahwa hujan yang turun sesaat itu adalah pertanda yang positif dari alam. *wa
Komentar