Satpol PP Segel Kafe di Kawasan Terminal Mengwi
Pemilik kafe mengaku tiap bulan bayar Rp 2,5 juta ke Desa Adat Mengwitani. Pihak desa adat menyebut itu uang punia, bukan pungutan.
MANGUPURA, NusaBali
Tim Yustisi Pemkab Badung menyegel sejumlah tempat hiburan malam (kafe) di kawasan Terminal Mengwi, Rabu (4/10) siang. Penyegelan ini mendapat pengawalan aparat kepolisian dan Desa Adat Mengwitani. Penyegelan berlangsung tertib dan lancar, karena para pemilik kafe sebelumnya telah bersedia mengikuti arahan dari pemerintah dengan menutup sendiri tempat usahanya.
Penyegelan berlangsung sekitar pukul 10.30 Wita. Sedianya penyegelan bakal dipimpin Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta. Namun karena bupati berhalangan, penyegelan dipimpin Kepala Satpol PP Badung IGAK Suryanegara.
Suryanegara menyatakan ada tujuh kafe yang disegel berdasarkan surat perintah bupati. Dasarnya, sesuai keinginan masyarakat setempat yang menyatakan resah dengan keberadaan tempat hiburan malam di seputaran Terminal Mengwi. “Intinya mereka tidak ingin ada kafe di wilayah Mengwitani,” katanya pada wartawan.
Tak hanya menyatakan secara lisan, sebagai bentuk keresahan warga dilakukanlah paruman dan menghasilkan kesepakatan Desa Adat Mengwitani bebas kafe.
“Awalnya kami sudah layangkan surat peringatan, karena setelah dilakukan tindak lanjut atau melayangkan Surat Peringatan (SP) I, II, III tak juga diindahkan, akhirnya kami lakukan penyegelan,” jelas Suryanegara.
Menurut Suryanegara, total ada 10 kafe yang kemarin disegel. “Yang besar-besar ada tujuh, tapi yang kecil ada tiga. Kami khawatirkan (kafe yang kecil) nanti menjadi besar, jadi kami tutup juga hari ini (kemarin),” tegasnya.
Ditemui di lokasi, Putu Surawan, salah seorang pemilik kafe yang kena segel, menyatakan menghormati keputusan yang diambil oleh pemerintah. Tetapi pria asal Lukluk, Mengwi, itu menyayangkan sikap pihak desa adat yang belum pernah mengajak berkoordinasi ataupun berkomunikasi. “Minimal, jika ada yang seperti ini (penyegelan) pemilik dipanggil dulu dan diajak duduk bersama (dengan desa adat),” katanya.
Di samping itu, Surawan mengaku dalam kurun waktu 1,5 tahun membayar sejumlah uang kepada desa adat. Adapun besaran uang yang dibayarkan berjumlah Rp 2,5 juta per bulan. “Selama 1,5 tahun saya bayar Rp 2,5 juta per bulan ke salah satu yang mengaku dari pihak desa adat,” ungkapnya.
Bendesa Adat Mengwitani Putu Wendra secara terpisah membantah bila uang yang diserahkan salah satu pemilik kafe ke desa adat adalah uang pungutan desa. Menurutnya uang yang diterima adalah uang punia. “Kami tidak mewajibkan memberikan kontribusi. Kalau mereka mau mapunia, ya silakan. Itu masuk ke kas desa adat. Jadi kami garis bawahi, tidak ada kewajiban atau pungutan, tapi hanya mapunia. Itu dasarnya,” tandasnya.
Terkait penyegelan yang dilakukan, menurutnya sudah berdasarkan kesepakatan masyarakat. Dalam sebuah paruman, menurutnya, masyarakat meminta agar Desa Mengwitani ini bebas dari kafe remang-remang. “Setelah kami lakukan paruman, kemudian menghasilkan kesepakatan, masyarakat ingin Mengwitani bebas kafe,” tegas Wendra. Hasil paruman itu kemudian diteruskannya kepada Tim Yustisi Pemkab Badung. *asa
Penyegelan berlangsung sekitar pukul 10.30 Wita. Sedianya penyegelan bakal dipimpin Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta. Namun karena bupati berhalangan, penyegelan dipimpin Kepala Satpol PP Badung IGAK Suryanegara.
Suryanegara menyatakan ada tujuh kafe yang disegel berdasarkan surat perintah bupati. Dasarnya, sesuai keinginan masyarakat setempat yang menyatakan resah dengan keberadaan tempat hiburan malam di seputaran Terminal Mengwi. “Intinya mereka tidak ingin ada kafe di wilayah Mengwitani,” katanya pada wartawan.
Tak hanya menyatakan secara lisan, sebagai bentuk keresahan warga dilakukanlah paruman dan menghasilkan kesepakatan Desa Adat Mengwitani bebas kafe.
“Awalnya kami sudah layangkan surat peringatan, karena setelah dilakukan tindak lanjut atau melayangkan Surat Peringatan (SP) I, II, III tak juga diindahkan, akhirnya kami lakukan penyegelan,” jelas Suryanegara.
Menurut Suryanegara, total ada 10 kafe yang kemarin disegel. “Yang besar-besar ada tujuh, tapi yang kecil ada tiga. Kami khawatirkan (kafe yang kecil) nanti menjadi besar, jadi kami tutup juga hari ini (kemarin),” tegasnya.
Ditemui di lokasi, Putu Surawan, salah seorang pemilik kafe yang kena segel, menyatakan menghormati keputusan yang diambil oleh pemerintah. Tetapi pria asal Lukluk, Mengwi, itu menyayangkan sikap pihak desa adat yang belum pernah mengajak berkoordinasi ataupun berkomunikasi. “Minimal, jika ada yang seperti ini (penyegelan) pemilik dipanggil dulu dan diajak duduk bersama (dengan desa adat),” katanya.
Di samping itu, Surawan mengaku dalam kurun waktu 1,5 tahun membayar sejumlah uang kepada desa adat. Adapun besaran uang yang dibayarkan berjumlah Rp 2,5 juta per bulan. “Selama 1,5 tahun saya bayar Rp 2,5 juta per bulan ke salah satu yang mengaku dari pihak desa adat,” ungkapnya.
Bendesa Adat Mengwitani Putu Wendra secara terpisah membantah bila uang yang diserahkan salah satu pemilik kafe ke desa adat adalah uang pungutan desa. Menurutnya uang yang diterima adalah uang punia. “Kami tidak mewajibkan memberikan kontribusi. Kalau mereka mau mapunia, ya silakan. Itu masuk ke kas desa adat. Jadi kami garis bawahi, tidak ada kewajiban atau pungutan, tapi hanya mapunia. Itu dasarnya,” tandasnya.
Terkait penyegelan yang dilakukan, menurutnya sudah berdasarkan kesepakatan masyarakat. Dalam sebuah paruman, menurutnya, masyarakat meminta agar Desa Mengwitani ini bebas dari kafe remang-remang. “Setelah kami lakukan paruman, kemudian menghasilkan kesepakatan, masyarakat ingin Mengwitani bebas kafe,” tegas Wendra. Hasil paruman itu kemudian diteruskannya kepada Tim Yustisi Pemkab Badung. *asa
Komentar